Selasa, Maret 4, 2025

Post-Truth dan Ilusi Kebebasan Berpendapat

Totianus Totianus
Totianus Totianus
Tian Rahmat, S.Fil.Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-isu strategis
- Advertisement -

“Di tengah samudra kepalsuan yang meluas, menyuarakan kebenaran bukan sekadar keberanian ia adalah revolusi dalam setiap kata.” – George Orwell

Demokrasi yang sehat bergantung pada kebebasan berpendapat dan pertukaran gagasan yang jujur. Namun, di era post-truth, di mana kebohongan yang emosional lebih dipercaya daripada fakta, demokrasi menghadapi ujian berat.

Istilah post-truth mulai populer setelah Oxford Dictionaries menobatkannya sebagai Word of the Year 2016. Ini menggambarkan situasi ketika fakta objektif tidak lagi menjadi dasar opini publik karena dikalahkan oleh emosi dan keyakinan subjektif (Oxford Dictionaries, 2016). Di Indonesia, fenomena ini semakin nyata sejak maraknya penyebaran hoaks dalam politik, terutama saat Pemilu 2019 dan menjelang Pemilu 2024.

Masyarakat kini lebih mudah percaya pada narasi yang sesuai dengan preferensi mereka, tanpa peduli apakah itu benar atau tidak. Hoaks politik, ujaran kebencian, dan disinformasi telah menjadi senjata utama dalam pertempuran opini di media sosial. Lantas, apakah kebebasan berpendapat di era post-truth masih menjadi fondasi demokrasi, atau justru telah berubah menjadi alat manipulasi?

Post-Truth dan Kebebasan Berpendapat: Pilar Demokrasi yang Rapuh

Kebebasan berpendapat adalah hak fundamental dalam demokrasi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat. Namun, di era post-truth, kebebasan ini menghadapi ancaman serius.

  1. Hoaks dan Polarisasi Politik di Indonesia

Di Indonesia, hoaks bukan sekadar gangguan informasi—ia telah menjadi senjata politik. Laporan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) 2023 mencatat bahwa 80% hoaks yang beredar di Indonesia berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Hoaks ini sering digunakan untuk menciptakan kebencian dan membangun citra palsu bagi kelompok tertentu.

Fenomena ini menciptakan polarisasi politik ekstrem. Publik terbagi dalam “kubu” informasi yang hanya mempercayai narasi yang mendukung pandangan mereka. Menurut Dr. Ade Armando, pakar komunikasi Universitas Indonesia, algoritma media sosial memperburuk polarisasi ini dengan membentuk echo chamber—di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan mereka (Armando, 2022).

Akibatnya, debat demokratis berubah menjadi perang opini yang berbasis emosi, bukan rasionalitas. Diskusi publik yang sehat semakin sulit terjadi karena masyarakat cenderung menolak fakta yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka.

2. Erosi Kepercayaan terhadap Media dan Lembaga Publik

Kepercayaan publik terhadap media arus utama semakin merosot. Survei Edelman Trust Barometer 2023 menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media hanya mencapai 45%, turun signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh anggapan bahwa media memiliki bias politik tertentu.

- Advertisement -

Sementara itu, pemerintah juga menghadapi tantangan dalam melawan disinformasi. Kasus hoaks tentang Covid-19, UU Cipta Kerja, hingga isu politik Pemilu menunjukkan bagaimana informasi yang salah dapat menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi.

Studi MIT Media Lab menemukan bahwa berita bohong menyebar 70% lebih cepat dibandingkan berita benar (Vosoughi et al., 2018). Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, di mana hoaks politik dapat mencapai jutaan orang dalam hitungan jam.

3. Buzzer Politik dan Manipulasi Opini Publik

Di Indonesia, buzzer politik memainkan peran besar dalam menyebarkan post-truth. Mereka bukan sekadar individu yang berpendapat, tetapi bagian dari mesin propaganda digital yang sistematis. Menurut laporan Oxford Internet Institute (2022), Indonesia masuk dalam 10 negara dengan operasi disinformasi digital terbesar di dunia.

Buzzer sering kali membentuk narasi tertentu untuk mendukung kandidat atau kebijakan tertentu, bahkan dengan memanipulasi data dan menyebarkan hoaks. Profesor Ariel Heryanto dari Australian National University menyebut fenomena ini sebagai “kontrol opini melalui digitalisasi propaganda” (Heryanto, 2022).

Bagaimana Menyelamatkan Demokrasi dari Post-Truth?

Untuk memastikan kebebasan berpendapat tetap berfungsi sebagai pilar demokrasi yang sehat, diperlukan langkah-langkah strategis:

1.Literasi Digital sebagai Pertahanan Utama

Masyarakat harus dilatih untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Pendidikan literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan kampanye publik. Seperti yang dikatakan oleh Daniel Levitin dalam “Weaponized Lies” (2016), memahami cara kerja propaganda adalah langkah pertama dalam melawan misinformasi.

Di Indonesia, program seperti CekFakta yang digagas MAFINDO dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah membantu meningkatkan kesadaran publik. Namun, upaya ini masih perlu diperluas ke pelosok daerah yang lebih rentan terhadap hoaks.

2. Regulasi yang Seimbang antara Kebebasan dan Keamanan

Pemerintah harus membuat regulasi yang menindak penyebaran hoaks tanpa mengancam kebebasan berpendapat. Model seperti Digital Services Act (DSA) di Uni Eropa, yang mewajibkan platform digital untuk bertanggung jawab atas konten yang mereka sebarkan, bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia.

Namun, regulasi ini harus transparan dan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Seperti yang diingatkan oleh Levitsky & Ziblatt dalam “How Democracies Die” (2018), demokrasi mati bukan hanya karena represi langsung, tetapi juga melalui regulasi yang membatasi kritik secara halus.

3. Media Harus Tetap Independen

Media arus utama harus menjaga independensinya dan tidak tunduk pada tekanan politik atau ekonomi. Noam Chomsky dalam “Manufacturing Consent” (1988) menyoroti bagaimana media yang dikendalikan oleh elite akan selalu menguntungkan pihak tertentu.

Di Indonesia, media alternatif seperti Narasi, Tirto, dan Project Multatuli menunjukkan bahwa jurnalisme investigatif yang berbasis fakta masih bisa bertahan meskipun menghadapi tekanan besar.

Demokrasi atau Ilusi?

Era post-truth telah mengubah kebebasan berpendapat menjadi senjata politik yang dapat merusak demokrasi itu sendiri. Jika tidak ada upaya serius untuk meningkatkan literasi digital, memperbaiki regulasi, dan menjaga independensi media, maka demokrasi yang kita banggakan hanyalah ilusi belaka.

Seperti yang dikatakan George Orwell, “Kebebasan adalah hak untuk mengatakan bahwa dua tambah dua sama dengan empat.” Jika kita kehilangan kemampuan untuk membedakan fakta dari fiksi, maka kita bukan lagi warga negara yang merdeka, melainkan sekadar pion dalam permainan informasi yang dikendalikan oleh elite kekuasaan.

Totianus Totianus
Totianus Totianus
Tian Rahmat, S.Fil.Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-isu strategis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.