Oleh
Fanny S Alam
Koordinator lembaga Bhinneka Nusantara Region Bandung
Pribumi Non-Pribumi. Istilah yang akhir-akhir ini muncul kembali karena masifnya berita tentang aksi di ibu kota yang menentang keberadaan petahana gubernur DKI Jakarta beberapa saat lalu. Lalu, beberapa hari lalu gubernur DKI terpilih, Anies Baswedan menyelipkan kata “pribumi” dalam pidatonya sehingga langsung menimbulkan kontroversi serta menyebabkan pro-kontra panjang dari para netizen dalam berbagai media. Sedemikian bencikah masyarakat kepada kelompok yang dianggap Non-Pribumi? Seberapa jauh dampaknya pemikiran masyarakat tersebut terhadap prinsip kebhinekaan yang menjadi pilar pendirian bangsa dan negara ini? Ataukah benar negara sedang berada dalam keadaan darurat persatuan sehingga pada akhirnya segregasi pribumi non-pribumi akan terus melebar ke arah perpecahan? Quo vadis Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang dahulu dielu-elukan pada masa kemerdekaan dan masa pertama pemerintahan negara kita?
Pemilihan kepala daerah dan walikota di banyak daerah akan segera dimulai tahun depan. Kekhawatiran tentang politisasi isu pribumi non-pribumi merebak dalam setiap periode pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang biasanya sarat akan isu SARA. Meskipun sudah diperingatkan untuk melakukan kampanye bersih dan sehat, para penggiat kampanye politik sepertinya sudah paham bahwa isu sektarian yang berhubungan dengan suku, etnis, dan agama adalah isu yang sangat menarik perhatian calon pemilih dan bisa menggiring mereka untuk memilih kandidat pemimpin dengan hanya mempertimbangkan kesukuan atau identitas kepercayaan. Faktor-faktor lain, seperti kapasitas kepemimpinan, pendidikan, kemampuan tata kelola pemerintahan yang bersih, seolah-olah diabaikan secara kasat mata.
Munculnya Istilah Pribumi Non-Pribumi
Istilah pribumi non-pribumi muncul di masa penjajahan Belanda ketika saat itu pemerintah kolonial Belanda membagi masyarakat yang tinggal di daerah jajahan Hindia Belanda dalam tiga kategori, yaitu urutan stratifikasi teratas masyarakat yang didominasi masyarakat Eropa, lalu stratifikasi kedua yaitu masyarakat Cina, Arab, dan India yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang yang diberikan status khusus oleh pemerintah kolonial Belanda, serta masyarakat pribumi yang tinggal sejak lama di daerah-daerah penjajahan Belanda. Mereka adalah penduduk setempat asli . Mereka berada pada stratifikasi terendah karena mereka adalah objek langsung dari penindasan sebagai dampak dari penjajahan kolonial.
Para kaum intelektual pada masa penjajahan Belanda bersama elemen-elemen masyarakat lainnya sadar bahwa penjajahan kolonial Belanda ini menimbulkan penderitaan dan kebodohan karena selain mereka menghisap sumber daya alam daerah yang sangat kaya, penduduk asli yang sudah lebih lama tinggal tetap ditindas dan miskin sehingga mereka bersatu padu dalam Sumpah Pemuda, yang dianggap sebagai tonggak penting dalam kemajuan berpikir untuk saling bersatu mengusir dan mengarah kepada kemerdekaan lepas dari pemerintah kolonial Belanda tanpa melihat suku dan agama dari elemen-elemen tersebut. Setelah merdeka dan berdiri negara berdaulat Indonesia, presiden pertama RI, Soekarno, mengingatkan bahwa negara kita bukan satu adat istiadat, kita ini bukan dari satu agama. Bhinneka tunggal Ika, berbeda tetapi satu, demikianlah tertulis di lambang negara kita.
Sejarah kemerdekaan dan pendirian Indonesia merupakan hasil perjuangan tanpa memandang suku dan agama dari para pejuangnya karena mereka memiliki satu semangat, yaitu lepas dari tangan penjajah untuk merdeka serta menentukan sendiri masa depan bangsa bersama. Kebersamaan dalam perbedaan ini yang sebenarnya menyatukan kita sebagai Indonesia. Lalu mengapa beberapa puluh tahun setelah kemerdekaan kita kembali mundur kepada pengistilahan pribumi non-pribumi?
Isu pribumi-non pribumi kembali dipolitisasi demi menjaring suara dan kemenangan para petahana, ditambah panasnya situasi mendekati periode pemilihan kepala daerah nanti dimana isu untuk memilih kepala daerah yang berasal dari daerah asal atau pribumi meningkat. Sangat disesalkan hal ini menjadi tonggak perkembangan rasisme terhadap kelompok etnis tertentu walaupun alasan dasarnya lebih kepada alasan politik. Namun, imbas dari kejadian tersebut bukan tidak mungkin menggiring masyarakat secara umum untuk mengembangkan pemikiran kebencian terhadap kelompok etnis tertentu, apalagi penyebarannya sekarang sudah bisa berkembang lebih luas melalui jalur media sosial.
Mengingatkan Kembali Indonesia Kita
Ekslusivitas pemikiran tentang kebangsaan akan menjadi usang dengan melihat fakta bahwa Indonesia memang menjadi “melting pot” , tempat berbaurnya masyarakat dari beragam adat istiadat dan suku. Dominasi penduduk yang disebut “asli” karena telah menetap lebih lama di sana bukan berarti menjadikan timbulnya pemikiran untuk mendiskriminasikan kelompok-kelompok masyarakat pendatang maupun minoritas yang dianggap berbeda dari pandangan secara agama dan etnis. Secara prinsip kenegaraan, pemerintah republik Indonesia menyatakan dalam pasal 26 UUD 1945 ayat 1 yang menyatakan bahwa yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara serta ayat 2 yaitu penduduk salah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Hal ini berarti bahwa pemerintah Indonesia mengakui WNI adalah orang-orang dan orang-orang asing yang tinggal di Indonesia yang diatur undang-undang sebagai warga negara dan memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia tanpa melihat etnis dan agama.
Penegasan tentang penghapusan penggunaan istilah pribumi non-pribumi bahkan digarisbawahi dalam Instruksi Presiden no 26 tahun 1998 Presiden Republik Indonesia, yang menyatakan penghentian istilah pribumi non-pribumi dalam semua perumusan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah, serta memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan, serta meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat, serta tingkatan kepada warga negara, baik atas dasar suku, agama, ras, maupun asal usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut.
Ketika pemerintah kita sudah menghilangkan ekslusivitas pemikiran kebangsaan karena sadar betapa perbedaan yang dimiliki seharusnya bisa menjadi potensi kekuatan dan pembangunan negara yang berkelanjutan, lalu mengapa kita sebagai warga negara malah kembali terperosok ke masa penjajahan kolonial Belanda yang masih membagi masyarakat dalam stratifikasi yang justru merendahkan serta pengistilahan pribumi non-pribumi yang berpotensi memecah belah negara ini? Akankah kita belajar kembali mengenai sejarah negara kita atau menjadi mundur kembali?