Minggu, Juli 7, 2024

Politik Uni Eropa dalam Penentuan Embargo Minyak Sawit Indonesia

Fadhil Fianda
Fadhil Fianda
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas

Kelapa Sawit datang ke Indonesia pada 1848 setelah Dr. D. T. Pryce membawa biji kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam dan tumbuh subur di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya penanaman kelapa sawit menyebar keseluruh antero nusantara dan menjadi komoditas unggul yang dimonopoli langsung oleh perusahaan Belanda begitupun pasca kemerdekaan, dimana perusahaan Belanda masih memegang beberapa perusahaan sawit di Indonesia. Barulah pada 1970-1980an pemerintah Indonesia memegang kendali penuh atas perusahaan dan produksi kelapa sawit.

Bantuan intensif dan kredit digelontorkan kepada petani sawit oleh pemerintah membuat perkembangan kelapa sawit di Indonesia sangat pesat sehingga Indonesia menjadi negara dengan produksi terbesar di dunia saat itu. Dengan perkembangan yang begitu pesat, produksi kelapa sawit di Indonesia menimbulkan dampak lingkungan yang memprihatikan sejak dulu dan masih belum terselesaikan. Perluasan lahan dilakukan dengan menghalalkan segala cara, pembakaran lahan gambut, penebangan hutan, dan penggunaan pestisida telah mengakibatkan rusaknya lingkungan dan menghilangkan habitat satwa liar.

Uni Eropa merupakan importir kelapa sawit terbesar nomor dua setelah India bagi Indonesia. Pada 2019, Indonesia mengekspor 8,6 juta ton kelapa sawit nya ke Uni Eropaa, ,, namun dengan adanya dampak embargo pada 2023 Indonesia hanya mengekspor 3,6 juta ton kelapa sawit nya ke Uni Eropa. Uni Eropa mengembargo Indonesia bukan tanpa sebab, dampak lingkungan adalah faktor utama kenapa Uni Eropa memberikan hukuman kepada Indonesia.

Embargo terhadap Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor internal di negara-negara Uni Eropa sendiri. Beberapa parlemen negara Uni Eropa diduduki oleh partai Hijau seperti Die Grünen di Jerman, Europe Ecology – The Greens (EELV) di Prancis, dan Green Party di Inggris. yang secara tegas berfokus pada isu-isu lingkungan dan juga partai Kiri seperti La France Insoumise di Prancis, Die Linke di Jerman, dan Podemos di Spanyol. yang memperjuangkan keadilan sosial. Banyak partai Hijau dan Kiri mendukung inisiatif seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang mendukung produksi sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Terutama partai Hijau memiliki agenda kawasan berupa European Green Party di Uni Eropa memiliki agenda kuat dalam pelestarian lingkungan dan oleh karena itu partai ini turut serta mengkampanyekan gerakan penolakan minyak sawit karena dikaitkan dengan isu deforestasi dan perusakan habitat.

EGP berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, mendorong penggunaan energi terbarukan, dan meningkatkan efisiensi energi. Perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi hutan juga menjadi bagian penting dari agenda mereka.

Penolakan terhadap minyak sawit oleh EGP didasarkan pada dampak negatif yang ditimbulkan industri ini terhadap lingkungan, termasuk pembukaan lahan yang menyebabkan penebangan hutan hujan tropis, yang mengancam ekosistem dan keanekaragaman hayati, serta perusakan habitat alami bagi banyak spesies yang terancam punah. Mereka mengkampanyekan pelarangan impor minyak sawit yang tidak bersertifikat berkelanjutan ke Uni Eropa dan menggunakan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif dari minyak sawit.

Sebaliknya, kelompok lain yang memiliki kepentingan, seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit, berusaha mendorong Parlemen Uni Eropa untuk mempertahankan pasar mereka dengan mendukung konsep minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Perusahaan-perusahaan ini berpendapat bahwa, sambil menekankan manfaat ekonomi industri kelapa sawit—termasuk penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di negara-negara produsen—minyak sawit berkelanjutan dapat membantu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Parlemen UE menghadapi kesulitan untuk membuat kebijakan yang adil dan efektif karena ada perbedaan kepentingan antara EGP, yang berfokus pada pelestarian lingkungan, dan perusahaan kelapa sawit, yang berfokus pada keuntungan ekonomi. Implementasi dan pengawasan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan masih menjadi tantangan, dan ada laporan pelanggaran standar RSPO yang mengurangi kepercayaan terhadap sertifikasi.

Industri di Eropa sangat tergantung pada minyak sawit, terutama dalam hal biaya produksi dan stabilitas rantai pasok. Minyak sawit adalah salah satu minyak nabati yang paling murah dan efisien untuk diproduksi, dan banyak digunakan dalam berbagai industri seperti biofuel, makanan, dan kosmetik.

Banyak perusahaan di Eropa bergantung pada minyak sawit karena karakteristiknya yang serbaguna, seperti titik leleh yang tepat untuk produk makanan dan stabilitas oksidatif yang baik untuk kosmetik. Minyak sawit juga memiliki sifat pengawetan yang baik, yang membuatnya sempurna untuk produk makanan olahan yang memerlukan umur simpan yang panjang.

Penggantian minyak sawit dengan minyak nabati lain yang lebih mahal, bagaimanapun, dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi, yang pada akhirnya dapat berdampak pada harga produk akhir. Barang kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan kosmetik dapat menjadi lebih mahal jika harga produksi naik.

Ketika beralih dari minyak sawit ke alternatif lain, beberapa perusahaan mungkin menghadapi kesulitan untuk menyesuaikan formulasi produk mereka, yang dapat berdampak pada kualitas dan preferensi pelanggan. Industri makanan dan kosmetik menggunakan minyak nabati alternatif, seperti minyak biji bunga matahari, minyak kelapa, dan minyak kedelai, tetapi masing-masing memiliki batasan ketersediaan dan biaya produksi yang lebih tinggi.

Meskipun masih dalam tahap pengembangan dan belum tersedia secara luas dengan harga yang kompetitif, minyak alga dianggap sebagai alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Mengurangi ketergantungan pada minyak sawit dapat mengganggu rantai pasokan yang sudah mapan, dan memerlukan waktu dan dana untuk beralih ke alternatif yang lebih berkelanjutan.

Namun, peningkatan sertifikasi berkelanjutan melalui inisiatif seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dapat memastikan bahwa minyak sawit yang digunakan memenuhi standar lingkungan dan sosial yang lebih tinggi. Perusahaan harus menemukan sumber minyak nabati tambahan untuk memenuhi permintaan yang besar sambil mempertahankan kualitas produk.

Fadhil Fianda
Fadhil Fianda
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.