Pencitraan sering identik dengan konotasi negatif dalam ruang publik kita hari ini. Hal itu tidak terlepas dari kegeraman masyarakat yang merasa ‘ditipu’ oleh personal branding politikus tertentu dalam membungkus identitasnya untuk meraup margin elektoral atau pun margin elektabilitas.
Sebenarnya secara konseptual, asal kata dari pencitraan yakni citra, merupakan sebuah konteks positif yang merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh politikus, untuk membungkus ide dan gagasan yang ditawarkan agar ‘dibeli’ oleh masyarakat secara keseluruhan.
Politik citra Cak Imin misalnya, yang selalu membungkus identitas nyentrik terkait dengan perjuangan penyerapan aspirasi muslim, merupakan sebuah fakta konkret bahwa masyarakat hari ini hanya tinggal melihat figur tertentu, sudah mengenal personal branding apa yang kemudian dijual. Hal tersebut lumrah dan sangat dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan partai politik tertentu dalam pengetahuan publik.
Saking dianggap lumrah, dan dibutuhkan oleh politikus. Persoalan citra ini akhirnya kebablasan, prioritas politikus hari ini adalah terkait dengan membangun identitas citra diri yang hendak dijual.
Subtansi terkait dengan entitas program kesejahteraan yang ditawarkan terhadap publik luput ditelan oleh kepentingan personifikasi politik. Hal ini terjadi karena kecenderungan pemilih lebih melihat ‘sosok’ tertentu untuk dijadikan referensi pilihan politik.
Selaras dengan realitas sosial tersebut, Haryatmoko dalam buku Y.A Pilliang (2005) sudah menyatakan bahwa momen kebenaran telah tergantikan oleh momen citra. Politik terperangkap dalam permainan bebas citra dan teks, sehingga politik kehilangan fondasinya.
Pencitraan dan manipulasi teks demi kekuasaan, murni akan menghasilkan hal-hal tersembunyi dalam kebenaran itu sendiri. Akibatnya masyarakat terperangkap dalam pilihan politik identitas, mana yang lebih islam dan tidak.
Bukan lagi pada subtansi murni terkait dengan entitas program kerja yang ditawarkan. Personifikasi kebablasan yang dimainkan oleh politikus hari ini telah menghadirkan fanatisme kuat yang mengakar dalam kehidupan politik masyarkat, kebenaran tidak dihiraukan data dan fakta tidak lagi jadi preferensi pemilih
Fanatisme Politik
“Bangsa-bangsa tertentu tidak mengajarkan right or wrong, bangsa-bangsa tertentu mengajarkan win or lose. Yang penting kau menang bagaimana caranya.” Kata Prabowo dalam pidatonya di Rakernas Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Pondok Pesantren Minhajurrosyidin, Jakarta, Kamis 11 Oktober 2018.
Sedikitnya pidato Prabowo terkait dengan sikap berpolitiknya mengundang banyak perhatian. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa tidak penting nilai kebaikan atau keburukan, yang terpenting dalam perjalanan kontestasi pemilihan umum, calon kandidat memikirkan bagaimana caranya untuk menang, hal lain yang menganggu proses pemenangan harus disingkirkan.
Nampaknya pernyataan tersebut telah terkonfirmasi oleh dialektika kontestasi pilpres 2019 yang masih meninjau kekuatan identitas personal sebagai entitas kuat untuk menggerus elektabilitas dan margin elektoral.
Persoalan citra identitas yang dibangun oleh kedua kandidat sangat-lah melunturkan subtansi terkait dengan tawaran program konkret yang dibahas dalam ruang publik.
Akhirnya derajat pengetahuan publik terperangkap dalam pengetahuan ‘ke-tokohan’ atau figur kandidat saja. Hal tersebut menghilangkan aspek-aspek subtansial yang harusnya hadir dalam proses analisis pemilih dalam menggunakan hak suaranya.
Ditambah lagi persoalan citra diri menghilangkan sense of objectivity dari setiap pemilih. Jika Prabowo mengatakan dirinya anti-asing maka hal tersebut tidak perlu lagi ditelaah kembali oleh pendukungnya, karena sudah menjadi keyakinan mutlak, pun sama halnya dengan pendukung Jokowi.
Pada taraf pembahasan isu tertentu, akhirnya masyarakat menilai kebenaran berdasarkan dari perkataan figur politik yang didukungnya. Jokowi dan Prabowo menjadi The Light Of God (sebagai sumber referensi tentang keputusan kebenaran) bagi pendukungnya.
Akhirnya kekurangan calon kandidat yang di dukung hilang, yang terjadi adalah kebenaran mutlak dan hakiki. Tidak ada celah untuk mengoreksi, apapun yang dikatakan, dikerjakan, dan ditawarkan oleh Prabowo atau Jokowi adalah kebenaran mutlak bagi para pendukungnya masing-masing.
Hal tersebut memunculkan fanatisme politik yang sangat mengagungkan figur politik tertentu, dan hal tersebut hadir karena politikus menjadikan pembungkusan citra politik yang kebablasan menjadi prioritas utama.