Minggu, April 28, 2024

Politik Pencitraan di Indonesia: Drama Politik atau Sandiwara?

Reza Fauzi Nazar
Reza Fauzi Nazar
Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Sempat mondok di Pesantren Lirboyo Kota Kediri.

“Anda tak bisa mengubah orangnya sesuai narasi. Anda hanya bisa mengubah narasi sesuai orangnya.” Perkataan yang kuat dari ‘Calamity’ Jane (Sandra Bullock) mencerminkan pemikiran mendalam tentang kekuatan dan batasan narasi dalam konteks politik. Pernyataan ini mengingatkan kita akan kompleksitas upaya membentuk citra politik, semua mata yang menyorot panggung menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia.

Ucapan itu terambil dari kisah Pedro Castillo dalam film satir-fiksi “Our Brand Is Crisis” (2015), politik pencitraan menjadi salah satu elemen krusial dalam membentuk identitas kandidat dan memanipulasi persepsi masyarakat.

Film itu berlatar di Bolivia pada tahun 2002, Jane Bodine, seorang konsultan politik, dihadapkan pada tugas untuk membangun “Personal Branding” bagi kandidat Presiden, Pedro Castillo. Meskipun Castillo memiliki popularitas rendah, Jane berhasil memanfaatkan pencitraan untuk mengubah persepsi masyarakat melalui media dan kampanye.

Paralel dengan realitas Indonesia, politik pencitraan semakin menjadi fokus utama dalam perhelatan Pilpres 2024, menciptakan drama yang memicu emosi dan meningkatkan sentimen yang terkadang dibangun di atas kepalsuan, menghasilkan dampak yang mungkin saja abai atas kesejahteraan rakyat.

Seiring berkembangnya teknologi, praktik politik pencitraan semakin terlihat melalui pemanfaatan media sosial, video pendek, foto meme, dan pesan propaganda. Dalam konteks ini, pertanyaan muncul: apakah praktik ini murni hasil strategi lawan politik, ataukah sekadar jebakan untuk merugikan popularitas pesaing?

Perdebatan politik di ruang publik semakin intens, saling serang pasca debat kandidat Capres-Cawapres yang sudah 4 kali digelar, belum lagi para pendukung dan tim pemenangan yang terus saling lapor-melapor, juga sudah mulai menyeruak kampanye negatif, dan paling parah adalah timbul politik uang. Namun, semuanya perlu diinterogasi secara kritis, apakah ini memang perwujudan persaingan sehat atau hanya manipulasi yang mengulang sejarah Pemilu 2014 dan 2019?

Dalam konteks Indonesia, Pemilu 2024 menyajikan panggung dramatis di mana politik pencitraan dan kompetisi Personal Branding menjadi pemandangan sehari-hari. Antara ketiga kandidat punya citra masing-masing.

Berbagai media, terutama di jagat digital, menjadi sarana utama menyebarluaskan itu, bahkan diperuntukkan saling menjatuhkan antar kubu, menggambarkan pertarungan sengit yang disertai sentimen dan strategi manipulatif. Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pertanyaan esensial: apakah politik ini murni berasal dari perbedaan visi atau hanyalah skema jebakan sandiwara untuk menurunkan popularitas lawan politik?

Mengutip peringatan Bung Karno pada tahun 1954, “Janganlah pemilihan umum ini nanti menjadi arena pertempuran politik, demikian rupa, hingga membahayakan keutuhan bangsa.” Namun, realitasnya, Pemilu 2024 terasa semakin dipenuhi oleh “belahan”, branding narasi-narasi para kandidat melalui berbagai media, dan dugaan-dugaan pelanggaran para kandidat itu sendiri. Ironisnya, peristiwa ini bisa menjadi turn back pada Pemilu sebelumnya, namun sepertinya apakah sejarah cenderung berulang? Apakah ke depan Bangsa akan lebih baik?

Syahdan, perubahan teknologi dan media massa tidak hanya memengaruhi praktik propaganda politik, tetapi juga menghasilkan variasi baru dalam politik pencitraan. Visualisasi media menjadi alat reproduksi, produksi, dan distribusi propaganda politik terbaik, meskipun sering kali bersifat searah, instan, dan pragmatis. Sayangnya, kemandulan propaganda politik semakin jelas ketika ideologisasi terkendala, dan tradisi ‘politik uang’ terus berkembang.

Menariknya, sandiwara dari film “Our Brand Is Crisis” agaknya jadi bahan refleksi bersama. Setelah Pilpres di Bolivia, narasi politik yang dibangun lenyap, dan keputusan pemimpin terpilih tidak sesuai dengan janji kampanye. Akankah di Pemilu 2024 ini akan mirip dengan sandiwara Castillo dalam film yang, setelah terpilih, meninggalkan janji referendum mengenai keputusan mengajak IMF? Gambaran bahwa Pilpres, kendati memiliki potensi untuk mengubah, terkadang justru tidak memenuhi harapan. Apakah demikian? Tentu kita berharap kontestasi Politik Pemilu 2024 tidak demikian.

Sebagai penutup, kita perlu mendengarkan peringatan Jane Bodine dalam film tersebut, “Jika Pemilu bisa mengubah segalanya, mereka pasti tidak akan mengizinkannya.” Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat pemilih memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengandalkan narasi politik yang diciptakan, tetapi juga melihat dan menganalisis tindakan konkret yang diambil oleh calon pemimpin.

Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa narasi politik tidak sekadar menjadi alat manipulasi, tetapi juga mampu menciptakan perubahan yang positif bagi bangsa dan negara. Apakah masyarakat dapat membuka mata terhadap manipulasi ini ataukah kita akan terus menjadi penonton setia dari sebuah pertunjukan sandiwara atau drama politik yang penuh intrik?

Reza Fauzi Nazar
Reza Fauzi Nazar
Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Sempat mondok di Pesantren Lirboyo Kota Kediri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.