Jumat, Desember 6, 2024

Politik Masyarakat Adat dan Masa Depan Demokrasi

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Peneliti Central Study of Indigenous People (CSIP) Universitas Brawijaya Twitter : @Naaayay Facebook : Yayan Hidayat
- Advertisement -

Selama lima puluh tahun terakhir, politik masyarakat adat telah menjadi kajian yang semakin penting. Di Bolivia, Evo Morales, tokoh partai masyarakat adat baru bernama “Gerakan Menuju Sosialisme” (MAS), terpilih sebagai presiden dalam Pemilu 2005 dengan persentase suara sekitar 53 persen.

Di Ekuador, Gerakan Persatuan Plurinasional Pachakutic (MUPP) menang secara signifikan dalam keterwakilannya di parlemen dalam setiap pemilu sejak 1996, dan partai ini juga berandil secara politik dalam menjadikan Lucio Gutierrez sebagai presiden pada 2002.  Ini artinya, gelombang kebangkitan gerakan masyarakat adat telah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan, selain memilih jalan politik non-elektoral (politik non-konvensional) seperti blokade, demonstrasi maupun petisi, mereka juga memilih jalur politik elektoral (politik konvensional) seperti partai politik, parlemen dan pemilu, yang kemudian dikenal sebagai double movements dalam proses demokrasi.

Selain itu, dalam beberapa negara seperti Finlandia, Ekuador, Selandia Baru, Norwegia dan Swedia serta negara lainnya telah menciptakan lembaga khusus untuk memastikan bahwa suara politik Masyarakat Adat di dengar oleh pemerintah. Negara-negara ini telah menghadirkan saluran partisipasi untuk Masyarakat Adat dapat memiliki suara riil dalam penentuan arah bangsa, salah satu penanda dari berkembangnya iklim demokrasi ke arah yang lebih substansial.

Berdasarkan komparasi iklim demokrasi yang berkembang di Finlandia, Norwegia, Selandia Baru, Ekuadir dan Swedia tulisan ini kemudian akan mengulas bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama akan mengukur sejauh mana demokrasi memberikan ruang terhadap nilai-nilai politik yang berkembang di dalam Masyarakat Adat.

Demokrasi Setengah Hati

Perkembangan proses demokratisasi tersebut berbanding terbalik di Indonesia, sebagian besar justru meragukan bahwa kebangkitan politik Masyarakat Adat bisa sejalan dengan demokrasi, dan karenanya mereka mengatakan apabila tuntutan atas hak-hak kolektif itu dipenuhi, maka ini akan menimbulkan ketegangan dengan komitmen terhadap demokrasi liberal yang berbasis pada hak-hak individual. Lebih jauh mereka melihat bahwa pemberian hak otonomi dan penentuan nasib sendiri merupakan suatu ancaman secara diametral terhadap identitas nasional.

Tipe demokrasi yang berkembang di Indonesia masih prosedural – memberikan titik berat pada proses elektoral dan berasumsi bahwa bila semua prosedur pemilihan umum telah dijalankan dengan adil, terbuka, dan tanpa kecurangan, maka demokrasi telah berjalan dengan baik. Proses demokrasi yang berkembang di Indonesia baru sebatas pada pengenalan prinsip-prinsip institusi-institusi demokrasi serta hak-hak warga, belum memiliki arti yang nyata bagi masyarakat pada umumnya.

Dialektik mengenai desain demokrasi di Indonesia pun belum menyentuh ranah dalam  memberikan ruang sebagai manifestasi saluran partisipasi masyarakat yang efektif, sehingga kelompok masyarakat yang tidak berdaya seperti masyarakat miskin, perempuan dan Masyarakat Adat memiliki wadah suara riil dalam pemenuhan hak politik mereka.

Perkembangan demokrasi sebetulnya menghadapi tantangan dalam negara multikultur. Indonesia hidup dengan 1.340 suku bangsa yang tersebar di setiap kepulauan. Pandangan beberapa ilmuan misalnya, percaya bahwa sistem demokrasi tidak sesuai dengan struktur masyarakat yang multikultur. Demokrasi hanya dapat diterapkan pada masyarakat yang homogen.

Ragam situasi dan perbedaan budaya yang melekat pada diri masyarakat menuntut demokrasi harus mengakomodir dan menjamin kebebasan kultural masyarakat. Oleh sebab itu, untuk menciptakan stabilitas demokrasi dalam negara multikultur, mengharuskan regulasi yang mengaturnya perlu menjamin kebebasan kultural dan desain pemilu sebagai instrumen demokrasi paling sahih dapat beradaptasi dengan keadaan setiap negara, sebagaimana ditunjukkan oleh Finlandia, Selandia Baru, Norwegia dan Swedia.

Sebagai contoh, satu langkah kemajuan proses demokratisasi di Indonesia dapat kita lihat dalam Putusan MK nomor 47-81/2009 yang mengesahkan sistem noken sebagai budaya asli Papua diterapkan ke dalam sistem pemilu nasional. Noken digunakan sebagai simbol dalam pemilu untuk memilih calon kepala daerah atau anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden.

- Advertisement -

Sebelum menentukan pilihan, mereka bermusyawarah dan saling membagi informasi tentang sepak terjang setiap calon yang hendak dipilih. Setelah pemilih di kampung mulai mengambil keputusan tentang calon yang akan dipilihnya. Kemudian calon yang dipilih para pemilih akan diuji kelayakannya oleh rakyat dengan menggunakan kriteria kultural. Pengujian melalui musyawarah berlangsung hingga para pemilih di suatu desa mencapai kesepakatan dan menggunakan noken sebagai simbol dalam memilih. Hal ini turut membuktikan bahwa sebetulnya nilai-nilai politik masyarakat adat tetap bisa sejalan dengan demokratisasi di Indonesia.

Namun, belum lama noken berjalan sebagai sistem pemilihan di Papua, beberapa pihak menuntut untuk sistem ini dihapuskan. Noken dinilai tidak legitimate, karena tidak sejalan dengan asas individualistik dalam demokrasi liberal. Seharusnya, dengan menjamin legitimasi sistem noken dapat kita lihat sebagai tindakan dalam mengakomodir nilai-nilai politik yang berkembang diluar arus utama wacana demokrasi.

Masa Depan Demokrasi Indonesia

Jika kita lihat pada ulasan di atas, masyarakat adat di Indonesia masih berada pada tahap menegaskan hak mereka atas kewarganegaraan penuh dalam konteks demokratis. Penekanan utama merupakan tuntutan untuk persamaan hak diantara warga negara, belum sampai pada wacana menghadirkan saluran partisipasi yang riil dalam penentuan arah bangsa sebagaimana di Finlandia, Ekuador, Selandia Baru, Norwegia dan Swedia.

Transisi dari demokrasi formal menuju demokrasi substansial di tandai oleh perluasan ide demokrasi diluar mekanisme formal. Demokrasi substanisal pun memfokuskan perhatian pada berkembangnya kesetaraan, keadilan, kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Demokrasi di Indonesia sebetulnya sedikit demi sedikit telah mencoba beralih kepada wacana substansial tersebut, namun wacana demokrasi di Indonesia kian berkelindan dengan syarat-syarat prosedural, memberikan titik berat pada proses elektoral yang adil, terbuka, tanpa kecurangan. Hak-hak asasi manusia yang menjadi dasar harkat etis demokrasi pun senyatanya masih banyak diabaikan.

Beberapa pihak baik dari kalangan pemerintah maupun aktivis demokrasi pun masih terbelenggu dalam wacana prosedural demokrasi. Tuntutan untuk noken dihapuskan adalah manifestasi dari mental demokrasi prosedural. Tindakan ini juga merupakan wujud dari penerapan demokrasi yang setengah-setengah di Indonesia. Perkembangan yang buruk bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Peneliti Central Study of Indigenous People (CSIP) Universitas Brawijaya Twitter : @Naaayay Facebook : Yayan Hidayat
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.