Rabu, April 24, 2024

Politik Dinasti: Cara Nakal Penuh Akal

Asdar Nor
Asdar Nor
Akrab disapa Az, merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan seorang penulis buku self improvement (@asdar_nor).

Arab Saudi adalah contoh nyata negara yang menerapkan sistem pemerintahan monarki absolut. Monarki absolut menggunakan cara dinasti dalam pemilihan raja atau ratu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Cara dinasti mengharuskan pemimpin negara dipilih secara hereditary monarch, yaitu pemberian status raja atau ratu berdasarkan garis keturunan.

Jika seorang raja turun tahta, maka akan digantikan oleh anak tertua. Jika raja tersebut tidak memiliki anak, maka kemungkinan besar akan digantikan oleh saudara laki-laki atau sepupu laki-laki. Sebagaimana di Arab Saudi, jika Raja Salman bin Abdul Aziz turun tahta, maka akan digantikan oleh putra mahkota yaitu Pangeran Mohammed bin Salman.

Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan presidensial yang menjadikan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pemilihan pemimpin negara dalam sistem pemerintahan presidensial dilakukan secara elective democracy, yaitu presiden dipilih melalui pemilihan dengan prosedural demokratis. Pemilihan yang menjunjung tinggi nilai demokrasi mengharuskan keterlibatan aktif semua masyarakat dalam proses pemilihan, itulah alasan mengapa pemilihan di Indonesia disebut pemilihan umum (pemilu).

Secara historis, pergantian sistem pemerintahan dalam suatu negara terjadi karena trauma terhadap kediktatoran penguasa. Pada tahun 1924, Kerajaan Turki Utsmani yang menganut sistem monarki absolut dibubarkan, kemudian diganti dengan Negara Republik Turki yang menganut sistem presidensial. Latar belakang perubahan sistem pemerintahan di Turki karena Sultan Mehmed VI dianggap sebagai pemimpin yang menjalankan kekuasaan secara oligarki (kepentingan golongan) dengan korupsi yang merajalela di dalam kerajaan, sehingga menyebabkan pemberontakan yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk yang akhirnya menjadi presiden pertama Republik Turki.

Hal tersebutlah yang juga menjadi pertimbangan mengapa para pendiri bangsa Indonesia memilih presidensial sebagai sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan tersebut semata-mata untuk mencegah kekuasaan yang dipimpin oleh segolongan orang secara patrimonialisme dengan ikatan genealogis (regenerasi politik keturunan) atau biasa disebut politik dinasti. Apakah politik dinasti dilarang di Indonesia?

Justru sebaliknya, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan politik dinasti bertentangan dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI 1945 melalui Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. Pada tahun 2020, Lembaga Penelitian Nagara Institut mengeluarkan hasil riset yang menyatakan bahwa 124 calon kepala daerah diketahui terpapar politik dinasti. Melalui putusan MK tersebut, hasil riset itu menjadi tidak bernilai karena politik dinasti di Indonesia sah-sah saja untuk dilakukan, meskipun melakukan politik dinasti berarti mencapai kekuasaan dengan cara nepotisme.

Pola politik dinasti di Indonesia biasanya dengan menjadikan anggota keluarga sebagai penerus kekuasaan atau pemegang kekuasaan di lembaga yang berbeda dalam wilayah kerja yang sama. Seperti ayahnya mantan walikota yang menjadi presiden, dengan pengaruh ayahnya yang masih ada di kota tersebut sehingga menjadikan anaknya sebagai walikota penerus, atau seorang kepala daerah yang mendorong istrinya dari partai yang sama untuk menjadi ketua DPRD dan para kerabatnya menjadi kepala dinas. Hal-hal nakal seperti itu halal dilakukan di Indonesia, karena tidak ada aturan yang melarangnya.

Permasalahannya adalah apakah politik dinasti sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Sedangkan telah diketahui bersama bahwa politik dinasti berdampak negatif pada tiga hal penting. Pertama, fungsi ideal partai. Adanya politik dinasti menjadikan proses kaderisasi tidak berfungsi secara optimal. Rekruitmen partai hanya didasarkan pada popularitas dan kekayaan calon untuk meraih kemenangan.

Pada akhirnya, partai hanya menjadi mesin politik pragmatis yang tidak mempunyai target lain kecuali kekuasan dan keuangan. Kedua, oligarki kekuasaan. Kekuasaan dalam satuan wilayah kerja hanya dikuasai oleh orang-orang dari golongan yang sama. Sehingga kesempatan masyarakat terutama orang-orang yang lebih handal dan berkualitas menjadi tertutup.

Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha yang sangat potensial dalam melakukan berbagai kesepakatan untuk kepentingan suatu golongan. Ketiga, cita-cita demokrasi. Sangat sulit untuk membayangkan terwujudnya cita-cita demokrasi jika praktik politik dinasti yang terjadi.

Sebab politik dinasti menghambat terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Bayangkan saja, jika satu keluarga besar menguasi jabatan-jabatan strategis pada satu wilayah kerja tertentu, maka akan lebih mudah melakukan berbagai korupsi, kolusi, dan nepotisme secara teratur dan sistematis. Pada akhirnya fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak ada lagi check and balance system, sehingga kekuasaan hanya diperuntukkan untuk golongan tertentu, bukan untuk rakyat.

Menimbang berbagai dampak negatif dari politik dinasti tersebut, terkesan konyol jika menyimpulkan bahwa politik dinasti berkesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Begitulah bunyi sila keempat Pancasila yang bermakna harus ada keterlibatan seluruh rakyat secara perwakilan dalam menjalankan kekuasaan negara, dan jika seseorang terpilih menjadi pemimpin secara permusyawaratan atau demokrasi, maka harus memimpin dengan penuh hikmat kebijaksanaan. Apakah dapat dikatakan bijaksana jika melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kekuasaan? Apakah dapat dikatakan bijaksana jika kekuasaan negara hanya diperuntukkan untuk kepentingan golongan tertentu?

Terlebih lagi jika terus bersembunyi dalam politik dinasti, di luar tampak demokrasi, di dalam ternyata oligarki.

Asdar Nor
Asdar Nor
Akrab disapa Az, merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan seorang penulis buku self improvement (@asdar_nor).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.