Sabtu, April 27, 2024

Demokrasi Prosedural dan Alam Politik Dinasti

Nandito Putra
Nandito Putra
Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Kampus, UIN Imam Bonjol Padang

Politik dinasti dapat dimaknai sebagai sebuah sistem kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan sistem kerajaan, di mana kekuasaan diberikan melalui hubungan genalogis antara penguasa dengan kerabat atau keturunannya.

Hal itu bertujuan agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Mengutip pendapat Dosen Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, A.G.N Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi kekuasaan berdasarkan ikatan genealogis ketimbang manajemen SDM aparatur negara yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar (merit sistem).

Bangsa ini pernah melalui kehidupan politik dinasti yang begitu kental pada masa pra-reformasi. Pada zaman orde lama dan orde baru, kita mengalami betapa buruk dan berbahayanya sistem politik dinasti bagi kelangsungan hidup bernegara. Salah satu dampak politik dinasti yang diwarisi hingga sekarang adalah praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Perlawanan kita terhadap praktik politik dinasti tidak akan habis-habisnya. Reformasi menghendaki agar sistem yang jelas-jelas menghancurkan itu tidak digunakan lagi demi kelangsungan demokrasi yang berkemajuan. Tetapi selalu ada celah yang digunakan oleh pengusa untuk tetap meloloskan praktik politk dinasti dalam kehidupan bernegara.

Dulu pewarisan kekuasaan ditunjuk secara langsung, seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Namun sekarang praktik politik dinasti dan pewarisan kekuasaan dilakukan melalui politik prosedural. Konstitusi kita belum benar-benar siap untuk menghadapi hal ini, dan buktinya kita telah banyak menemukan praktik politik dinasti meskipun dengan cara dan kemasan berbeda.

Namun tujuannya tetap sama, yaitu untuk mempertahankan kekuasaan genealogis. Politik dinasti saat ini dibungkus cantik oleh demokrasi melalui Pemilu. Seakan-akan sirna tetapi nyatanya tidak sama sekali.

Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Masdar Hilmy mengungkapkan tumbangnya rezim Orde Baru dan datangnya era Reformasi semestinya menjadi penanda berakhirnya budaya politik dinasti. Namun, mengikis budaya politik dinasti tidak semudah membalik telapak tangan karena disebabkan tiga hal.

Pertama, struktur sosial-politik belum terdefinisikan secara baik sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi yang telah disinggung di atas. Kedua, politik dinasti berakar kuat pada budaya kolektif sebagai penayangga budaya ketimuran. Ketiga, struktur sosial-politik dinasti menjadi alat efektif pendistribusian sumber daya (resources channeling) yang memungkinkan terciptanya kondisi tergantungan.

Sejak Reformasi bergulir, sepertinya bangsa ini belum benar-benar bisa lepas dari budaya politik dinasti. Apa yang dicita-citakan akan hadirnya sebuah sistem dan tatanan baru dalam kehidupan bernegara hanya menjadi utopia semata. Keinginan oleh setiap individu ataupun keluarga untuk memegang dan mempertahankan kekuasaan masih sangat tinggi. Sudah banyak contoh kasus yang kita saksikan, seperti yang baru-baru ini terjadi di berbagai daerah. Merit sistem dalam melakukan perekrutan pemangku jabatan publik tidak lagi diindahkan.

Hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah kemunduran dalam kehidupan berdemokrasi pasca reformasi. Partai politik sebagai nafas dari demokrasi itu sendiri dijadikan sebagai alat untuk melakukan praktik politik dinasti, anak-kerabat para elit masuk dalam institusi partai politik yang telah disiapkan sedari awal. Di sini kita dapat melihat secara terang benderang bahwa praktik politik dinasti terselubung melalui jalur prosedural.

Maraknya praktik politik dinasti di berbagai pilkada dan pemilihan legislative akan mengakibatkan rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan seperti apa yang dicita-citakan dalam sebauh sistem politik demokrasi. Akibatnya pun sudah jelas, yaitu jika praktik politik dinasti tetap dibiarkan berkembang akan mengakibatkan kian maraknya korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran dna penyalahgunaan anggaran APBD dan APBN, serta mandeknya check and balances dalam pemerintahan.

Tidak berapa lama lagi Pilkada serentak  yang akan dilangsungkan di berbagi daerah di Indonesia  akan diselenggarakan. Dan paraktik politik dinasti kembali digulirkan dengan apiknya melalui politik prosedural.

Anggota kerabat Presiden Jokowi tidak mau ketinggalan momen demi melanjutkan kekuasaan dan pengaruh keluarga dalam pusaran kekuasaan. Mulai dari anak sulung Jokowi yang ngotot ikut  Pilwakot Solo dan menantu-besan Jokowi juga tidak mau ketinggalan, keduanya masing-masing mengikuti pilkada kota Medan dan plilkada Tapanuli Selatan.

Selain itu putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga ambil andil dalam pilkada Tanggerang Selatan. Sejauh ini kita dapat menilai bahwa rezim saat ini tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Takaran kemajuan kehidupan demokrasi kita dapat dikatakan mengalami kemunduran. Praktik seperti ini tidak bisa tetap dibiarkan terus hidup dan berkembang.

Politik dinasti yang kembali diaplikasikan pada Pilkada mendatang sangat rentan akan praktik korupsi. Apalagi semenjak lembaga pemberantasan korupsi telah dilemahkan dengan direvisinya UU KPK.  Bentuk pelemahak KPK saat ini sudah mulai dirasakan, yaitu dengan gagalnya KPK menyegel kantor DPP PDIP terkait dengan korupsi yang menjerat Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

Kemungkinan hal yang sama bakalan terjadi jika politik dinasti tetap dibangun dalam kehidupan bernegara. Pasalnya, kolega serta karib kerabat elit yang berkuasa akan berusaha mencari perlindungan jika mereka terjerat korupsi. Senjata andalannya hanya satu, yaitu lemahkan KPK dengan berbelit-belitnya prosedur yang harus dilalui jika ingin melakukan penindakan korupsi.

Cara paling ampuh untuk menjaga demokrasi agar tetap sehat adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat pemilih dalam menentukan pemimpinnya. Sebab saat ini dalam konteks demokrasi langsung kita masih melihat kualitas kekuasaan terpilih adalah cermin kualitas sebagian pemilihnya.

Ketika masyarakat masih sangat paternalistik, kerabat tokoh cenderung menjadi panutan budaya, politik, dan ekonomi. Bahkan tanpa adanya manipulasi atau mobilisasi dalam pilkada, “hegemoni paternalistik” yang di banyak tempat masih kuat akan membawa kemenangan pada kerabat elit penguasa. Semoga saja rakyat Indonesia semakin cerdas dalam menanggapi bahayanya politik dinasti demi terciptanya demokrasi yang baik.

Nandito Putra
Nandito Putra
Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Kampus, UIN Imam Bonjol Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.