Kamis, Maret 28, 2024

Polemik Calon Kepala Daerah Tersangka Korupsi

Yuniar Riza
Yuniar Riza
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Pilkada tahun 2018 yang akan digelar di 17 Provinsi, 115  Kabupaten, dan 39 Kota menuai perbincangan publik. Beragam diskusi yang muncul dipermukaan seperti, potensi pelanggaran Pilkada, keberadaan calon tunggal di 14 (empat belas) daerah yang dinilai menurunkan kualitas demokrasi.

Hingga, keberadaan calon kepala daerah yang berstatus tersangka bahkan sebagian statusnya naik sebagai terdakwa di Provinsi Lampung, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Jombang, Kabupaten Subang, dan belum lama ini kembali muncul di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Maluku Utara.

Seluruh calon tersebut semua terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus korupsi. Jumlah tersebut belum termasuk beberapa calon yang hendak diumumkan oleh KPK lantaran juga disangka melakukan tindak pidana korupsi.

Sejak diundangkannya UU 10/2016 tentang perubahan kedua UU 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut UU Pilkada, calon kepala daerah yang berstatus tersangka tetap diakomodasi sebagai peserta pemilihan.

Tidak ada larangan bagi seseorang yang sedang berstatus tersangka untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah, bahkan tidak ada kewajiban dalam UU Pilkada untuk mengundurkan diri atau calon yang bersangkutan didiskualifikasi oleh penyelenggara pemilihan apabila terjerat kasus hukum.

UU Pilkada justru mengakomodasi dalam hal calon kepala daerah yang berstatus tersangka terpilih, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi kepala daerah (lihat Pasal 163 ayat (6) dan Pasal 164 ayat (6) UU Pilkada).

Simalakama

Mengatur keberadaan calon yang berstatus tersangka dalam kontestasi Pilkada bagaikan peribahasa “bagai makan buah simalakama”. Di satu sisi, tersangka merupakan status hukum yang dilekatkan bagi seseorang/badan hukum yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan (minimal 2 bukti) patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP).

Artinya, yang bersangkutan masih diduga dan belum tentu terbukti sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karenanya, kurang tepat jika alasan status ‘tersangka’ digunakan untuk membatasi hak politik seseorang. Kendati demikian, apakah kemudian eksistensinya dibiarkan dalam proses pengisian jabatan pimpinan daerah?

Keberadaan calon kepala daerah yang sedang berhadapan dengan hukum tentu mengganggu upaya mewujudkan Pilkada yang demokratis, berkualitas, dan bermartabat sebagaimana prinsip yang digaungkan oleh Bawaslu RI.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap harus mengeluarkan biaya dari APBN/APBD untuk memfasilitasi calon yang sedang berstatus tersangka dalam setiap tahapan Pilkada, begitupun pemilih dihadapkan dengan pilihan calon yang integritasnya diragukan.

Bahkan keberadaannya justru merugikan pribadi calon dan partai pengusung, karena berpotensi menurunkan elektabilitas. Selain itu, dari segi moral dan etika juga menambah daftar penilaian negatif terhadap keberadaan calon yang diduga sebagai pelaku tindak pidana ini.

Sengkarut Regulasi

Regulasi Pilkada yang kini berlaku justru sangat longgar terhadap eksistensi calon yang berstatus tersangka ini. UU Pilkada melarang setiap calon untuk mengundurkan diri, begitupun parpol atau gabungan parpol dilarang menarik calonnya yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilihan (Pasal 53 ayat (1) UU Pilkada).

Bahkan jika calon yang bersangkutan sengaja mengundurkan diri atau pimpinan partai sengaja menarik calonnya maka yang bersangkutan dapat dipidana (Pasal 191 dan Pasal 192 UU Pilkada).

Ketentuan tentang penggantian calon sebagaimana Pasal 78 PKPU 3/2017 juga tidak dapat mengatasi keberadaan calon yang berstatus tersangka ini, lantaran penggantian calon hanya dapat dilakukan dalam hal terjadi 3 (tiga) kemungkinan yaitu calon dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, atau dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht).

Persoalan tersebut makin menimbulkan ketidakpastian hukum dengan munculnya wacana penundaan proses hukum calon yang sedang terjerat kasus hukum selama proses/tahapan Pilkada berlangsung. Wacana yang diusulkan oleh Kapolri dan akhir-akhir ini mendapat dukungan dari segelintir menteri kabinet kerja tersebut tak dapat diterima begitu saja.

Bagaimanapun juga, penegakan hukum tidak boleh dihambat oleh agenda politik, meskipun alasan keamanan menjadi tamengnya. Regulasi Pilkada yang tidak menghendaki adanya pengunduran diri dan penarikan calon meski sedang terjerat kasus hukum perlu ditinjau ulang, karena dalam praktiknya rentan dikalahkan dengan kekuatan politik sebagaimana yang kini terjadi (usulan penundaan proses hukum untuk agenda politik).

Persoalan ini menjadi sangat krusial dalam penataan regulasi Pilkada. Mengingat pencegahan terhadap timbulnya kejahatan, baik korupsi atau tindak pidana lain dilingkungan pemerintahan harus dilakukan sejak prosedur pengisian jabatan.

Maka penulis mengajukan 2 (dua) alternatif untuk mengatasi persoalan ini, pertama mengajukan pengujian UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keberadaan norma yang melarang mekanisme pengundurdan diri dan penarikan calon, serta untuk menguji norma yang mengatur tetap dilantiknya calon kepala daerah yang berstatus tersangka jika ternyata yang bersangkutan terpilih.

Kedua, agar tidak berlarut menimbulkan ketidakpastian hukum, diperlukan kajian ulang oleh pembentuk UU Pilkada mengenai perubahan terhadap regulasi ini.

Yuniar Riza
Yuniar Riza
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.