Minggu, Oktober 13, 2024

Pilkada dan Jerat Klientelisme

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 mulai semarak. Kurang lebih 270 daerah (Kota/Kabupaten dan Provinsi) akan menyelenggarakan pesta demokrasi elektoral ini. Tentunya Pilkada tahun 2020 berbeda dengan Pilkada sebelumnya, dimana pada tahun ini kita diperhadapkan dengan wabah covid-19.

Untuk itu, pesta Pilkada yang akan dilaksanakan pada bulan Desember harus dan mesti mengikuti protokol kesehatan. Semua rangkaian kegiatan harus tunduk dibawah pengaruh dan keberingasan pandemi covid-19.

Namun terlepas dari pandemi virus corona, kita tidak boleh pesimis menggunakan hak pilih sebagai warga negara. Kita justru harus optimis. Memilih dengan rasa khawatir dan pesimis karena takut tertular wabah covid, kita akan terjebak pada pilihan emosional, bukan lagi rasional. Rasa takut sah-sah saja, tetapi tidak boleh sampai menelantarkan hak pilih hanya karena alasan takut tertular wabah covid.

Selama kita mengikuti protokol kesehatan dengan baik dan benar, selama itu pula kita tidak mungkin tertular. Pertanggungjawaban seorang warga negara yang baik ialah ikut berpartisipasi dalam agenda demokrasi elektoral dengan menggunakan hak pilihnya.

Aroma Klientelisme                                                      

Merujuk pada buku Democracy For Sale, klientelisme politik terjadi ketika para pemilih, para penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material (Aspinall dan Berenschot; 2019. hlm 2).

Praktek klientelisme dalam banyak bentuk dan situasi tertentu akan mendorong sikap pemilih yang pesimis serta pemimpin yang gagal mengakomodasi kepentingan publik melalui agenda kebijakan.

Pada wilayah ini, sikap pemilih yang pesimis dan pasif, dipengaruhi kuat oleh pertukaran klientelistik. Bahkan pertukaran klientelistik ini semakin mendorong pemilih pada ruang politik yang semu dan dangkal. Pemilih yang terjebak dalam pusaran pertukaran klientelistik, tentu sangat berpengaruh terhadap tumbuh-kembang demokrasi.

Hadirnya praktek klientelisme semakin membuka peluang dan ruang terhadap ketergantungan masyarakat (pemilih) terhadap calon dengan mengiming-imingi mereka (pemilih) dengan barang dan jasa yang ditawarkan.

Hal ini tidak saja mendorong perilaku pemilih yang tergesa-gesa, tetapi di sisi lain melahirkan suatu masyarakat dengan meminjam kalimat Vedi R. Hadiz (2005. hlm 71) sebut sebagai ‘massa mengambang’.

Dimana masyarakat seperti ini hanya mampu menerima kenyataan adanya praktek pertukaran klientelistik, semakin bergantung pada pemberian barang, tetapi tidak mampu mengambil sikap, setidaknya menolak dan melakukan perlawanan atas praktek pertukaran klientelistik. Gejala seperti ini lahir dari kesenangan semu atas pemberian barang dan perjanjian berupa jasa, sehingga semakin tergantung kuat pada ikatan logika pertukaran yang klientelistik.

Sementara itu, wilayah yang juga berpengaruh kuat dari pertukaran klientelistik yakni lahirnya pemimpin yang seluruh agenda kebijakan politik-ekonominya mudah didikte oleh kelompok pebisnis yang kita sebut oligarki. Mengapa mereka berpengaruh dan ikut menentukan agenda kebijakan publik?

Alasannya, menurut saya, cukup logis, mereka merupakan kelompok yang mendukung atau boleh dikatakan penyedia modal bagi pemimpin tersebut selama Pilkada. Pada titik ini, yang ditampilkan kepada masyarakat bukan semata hanya agenda pemenuhan terhadap kebijakan bagi publik, tetapi pada titik tertentu agenda kebijakan itu pasti selalu ditumpangi kepentingan elit ekonomi sebagai penyedia modal dalam Pilkada.

Jadi, menurut amatan saya, panggung politik Pilkada (bahkan Pemilu), sangat kental dan selalu beraroma klientelisme. Pertukaran yang klientelistik selalu menjadi pintu masuk bagi para calon untuk mempengaruhi preferensi publik dan secara tidak langsung mematikan rasionalitas pemilih.

Dengan sifat ketergantungan yang kuat dari pemilih atas pemberian barang dan jasa, semakin membuka lebar kepentingan politik-korporatis masuk dan ikut menentukan kebijakan publik. Pada batas tertentu, kita akan diperhadapkan pada dinamika elektoral yang terlihat (Pilkada), sementara dibalik dinamika elektoral itu, saya meyakini bahkan kita semua, kepentingan oligarki ikut bermain dan menjadi pemain utama.

Sialnya lagi, masyarakat kita malah bersikukuh dan memandang pemberian barang dan jasa dari calon tertentu sebagai bentuk hal yang lumrah dalam politik Pilkada maupun Pemilu. Bukannya menentang praktek semacam itu, alih-alih masyarakat justru terjebak pada lingkaran permainan politik busuk dan menyesatkan.

Kondisi demikian semakin memperburuk demokrasi elektoral kita tatkala pasca Pilkada masyarakat diberedel dari agenda pertisipasi kebijakan dan memilih sikap ‘bodoh amat’ terhadap isu-isu kebijakan. Sampai disini, saya yakin, demokrasi semakin lumpuh dan tersandera pada demokrasi milik elit.

Melawan Arus 

Pilkada bahkan Pemilu selalu menyeret masyarakat pada arus poltik yang dangkal dan penuh dengan pragmatisme politik didalamnya. Jika tidak dibentengi dengan pemahaman yang utuh, masyarakat mudah dikooptasi dibawah arus politik hitam.

Dalam kondisi demikian, lantas apa yang musti diagendakan agar masyarakat tidak terseret arus politik hitam itu? Gerakan macam apa yang bisa dilakukan dalam rangka menumbangkan wajah politik bahkan praktek klientelisme macam itu? Setidaknya kita harus mendorong Pilkada yang terbuka dan bebas dari jerat klientelisme.

Pertama, menurut hemat saya, dalam posisi yang penuh gejolak dan intrik politik yang mengudara dan mempengaruhi pemilih, masyarakat harus mampu melawan arus tersebut melalui penguatan pendidikan politik dengan cara melibatkan LSM dan aktivis pro-masyarakat dalam mengedukasi mereka akan politik yang fair dan jernih.

Kedua, membentuk satu ikatan kelompok bersama melalui ikatan solidaritas masyarakat untuk melawan dan menentang gejala dan pengaruh kuat praktek klientelisme. Ketiga, membangun satu pemahaman dan konsep bersama dengan mengkonsolidasikan diri kedalam setiap agenda kebijakan.

Ini diperlukan dan sangat penting. Dengan gerakan demokrasi dari bawah dan solidaritas sosial yang kuat, saya pikir, praktek pertukaran klientelistik mudah dihancurkan. Hal ini tentu harus berangkat dari kesadaran kolektif dan penuh dengan visi bersama akan kemajuan daerah.

Namun dengan tidak memperhatikan dan melakukan ini, praktek pertukaran semacam itu terus terjadi. Dan implikasinya cukup nyata, yakni masyarakat dicampak dari agenda kebijakan publik dan demokrasi semakin mengukuhkan kepentingan elit, bukan lagi digiring pada ranah kesejahteraan masyarakat.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.