Sabtu, Desember 7, 2024

Pilkada Calon Pasangan Tunggal?

Meita Safitry Daulay
Meita Safitry Daulay
Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Pesta demokrasi adalah cara untuk mengganti pemimpin melalui pemilihan yang dipilih langsung oleh rakyat, hal ini dikarenakan rakyat memiliki hak memilih atau memberikan suara (voting right). Ini merupakan hak dasar setiap individu atau warga negara yang harus dijamin realisasinya oleh negara yang menganut sistem demokrasi.

Akan tetapi jika adanya fenomena pilkada calon tunggal maka hal ini akan mengancam hak rakyat selaku pemegang kedaulatan berupa hak untuk memilih tersebut, karena rakyat dihadapkan pada pilihan yang artifisial (semu).

Munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah Indonesia merupakan konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU XIII/2015. Pilkada calon tunggal memiliki “Kotak Kosong” sebagai lawannya. Kelompok “Kotak Kosong” tidak mendapat fasilitas dari negara dan karena itu harus membiayai kampanyenya sendiri.

Selain itu, kelompok kotak kosong juga tidak diberi kesempatan bebas untuk menyampaikan dan mengkampanyekan suara mereka karena akan dianggap membatasi dan mengajak orang lain untuk golput atau tidak memilih. Padahal dalam pengaturannya bahwa pemilih diperkenankan untuk memberikan hak suaranya pada kotak kosong yang menjadi lawan pasangan calon tunggal.

Walaupun telah mendapatkan dasar dari undang-undang, fenomena pilkada calon tunggal masih mendapatkan berbagai kritikan dari berbagai pihak. Arief Budiman selaku ketua KPU RI periode 2017-2022 mengatakan bahwa adanya calon tunggal tidak sehat bagi demokrasi. Dilansir dari channel BeritaSatu dalam acaranya yang berjudul Spesial Interview with Claudius Boekan, ketika ditanya oleh Claudius Boekan “Menurut KPU adanya calon tunggal ini sehat tidak bagi demokrasi?”

“Ya tidak sehat, semestinya dalam pemilu itu ada kompetisi, kompetisi di antara orang-orang baik di daerah itu” ujarnya. (28/8/2020).

Keberadaan calon tunggal sama saja meniadakan kontestasi. Pemilu tanpa kontestasi pada hakikatnya bukanlah pemilu yang berjalan sesuai dengan asas pemilu yaitu umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Demokrasi akan dianggap tidak berjalan sesuai dengan yang diharapan karena pemilihan calon tunggal dianggap tidaklah kompetitif karena sudah pasti hampir semua calon tunggal akan memenangkan pemilu tanpa perlu repot-repot berkampanye.

Selain itu, kecenderungan bertambahnya jumlah daerah dengan calon tunggal juga mengkhawatirkan. Jika hal-hal ini terus berlanjut, maka ini menunjukkan setidaknya dua hal: Pertama, partai gagal menunaikan tugas utamanya, yakni kaderisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat.

Kedua, partai tampak lebih praktis atau realistis, sehingga akan menyebabkan penolakan terhadap pendukungnya dan dalam jangka panjang akan menurunkan jumlah keikutsertaan pemilih secara keseluruhan.

Meita Safitry Daulay
Meita Safitry Daulay
Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.