24 September, bangsa ini kembali merayakan Hari Tani Nasional. Sebuah tanggal yang sesungguhnya tidak pernah hadir sebagai pesta, melainkan sebagai pengingat pada janji yang terus ditunda. Ia lahir dari Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sebuah tonggak sejarah yang hendak mengubah struktur kepemilikan tanah agar lebih adil, agar petani tidak lagi sekadar menjadi penggarap di tanah yang dikuasai orang lain.
Enam puluh lima tahun berlalu, pertanyaan itu tetap sama: apakah nasib petani kita sudah membaik, ataukah hanya berganti wajah ketidakadilan dari masa ke masa? Di tengah upacara seremonial yang digelar pemerintah, di balik pidato resmi yang membicarakan pencapaian produksi pangan, suara lirih dari sawah dan teriakan lantang dari jalanan justru berkata sebaliknya, ada luka yang belum dijahit, ada janji yang belum dipenuhi, ada sejarah yang masih menggantung.
Sekitaran desa padi memang menguning dan gabah dituai. Statistik pertanian menunjukkan panen naik 16 persen, cadangan beras nasional menembus 3,9 juta ton, dan pemerintah mengklaim langkah menuju kemandirian pangan. Namun pasar punya cerita lain. Harga beras medium melonjak hingga Rp15.950 per kilogram, menyamai rekor tahun lalu.
Reuters menulis bahwa pembelian besar-besaran oleh Bulog tanpa seleksi kualitas justru membuat beras premium langka, mendorong harga naik dan menekan konsumen. Pada saat yang sama, petani kecil tetap saja menjual gabah dengan margin tipis, biaya pupuk dan sewa lahan tetap tinggi, sementara nilai tukar petani yang meningkat hanyalah angka di kertas yang tak sepenuhnya mencerminkan keseharian mereka. Ada paradoks yang menyakitkan, panen bagus, dan stok besar, tapi harga justru mencekik. Bukankah ini pertanda bahwa masalah bukan sekadar soal produksi, melainkan soal distribusi, tata niaga, dan keberpihakan kebijakan?
Di jalan-jalan kota, terutama Jakarta, ribuan massa turun memperingati Hari Tani. Mereka berkumpul di depan DPR, Patung Kuda, hingga Monas, mengibarkan spanduk dan meneriakkan tuntutan yang sudah lama diperjuangkan.
Serikat Petani Indonesia, mahasiswa, masyarakat adat, hingga organisasi masyarakat sipil bersatu dalam aliansi yang menyebut dirinya Komite Aksi Hari Tani Nasional. Mereka tidak datang untuk sekadar merayakan, tetapi untuk menagih janji reforma agraria sejati. Mereka mendesak penyelesaian konflik agraria yang merugikan petani kecil, menuntut lahan-lahan yang dirampas korporasi dikembalikan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria, serta menekan pemerintah agar menghapus kebijakan yang justru menguatkan monopoli lahan. Jalanan macet, polisi mengatur lalu lintas, dan suara toa menggema. Inilah wajah Hari Tani yang nyata bukan di podium pejabat, melainkan di aspal yang panas, di tangan-tangan yang terangkat, di suara-suara yang menolak diam.
Ada enam tuntutan besar yang mereka bawa, yang jika dibaca dengan hati-hati, sebetulnya adalah jeritan panjang sejarah agraria Indonesia. Pertama, penyelesaian konflik agraria yang tak kunjung reda di berbagai wilayah, dari hutan Kalimantan hingga pesisir Sumatra.
Kedua, penegasan bahwa lahan-lahan perusahaan perkebunan dan kehutanan harus dijadikan TORA, bukan terus dipelihara sebagai alat eksploitasi. Ketiga, penertiban kawasan hutan yang kerap dijadikan alasan perampasan tanah dari warga adat. Keempat, revisi Perpres Reforma Agraria agar lebih berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan investasi.
Kelima, pembenahan regulasi yang selama ini lebih mengekang daripada membebaskan UU Pangan, UU Kehutanan, UU Koperasi, hingga pengakuan terhadap masyarakat adat. Keenam, pencabutan UU Cipta Kerja yang dianggap menjadi pintu lebar liberalisasi tanah. Semua itu, jika diperas, bermuara pada satu kata keadilan. Tanpa keadilan, sawah seluas apa pun tidak akan membuat petani berdiri tegak, dan panen sebesar apa pun tidak akan menghapus kemiskinan di desa.
Ironinya, pemerintah terus berbicara tentang swasembada pangan, tentang program makanan bergizi gratis, tentang cadangan beras yang melimpah. Di atas kertas, semuanya terlihat menjanjikan, seakan-akan kita telah berada di jalan yang benar menuju kedaulatan pangan.
Tetapi di bawah, di sawah dan di pasar, kenyataan berbeda. Petani masih terbebani ongkos produksi tinggi, akses pupuk bersubsidi terbatas, dan posisi tawar mereka dalam rantai distribusi sangat lemah. Konsumen menanggung harga beras yang terus naik, pedagang kecil berjuang agar tidak gulung tikar, sementara Bulog menimbun stok beras kualitas rendah yang belum tentu bisa diterima pasar. Pertanyaan sederhana muncul: untuk siapa semua kebijakan ini? Jika petani tidak sejahtera dan rakyat tetap kesulitan membeli beras, bukankah ada yang salah dalam arah pembangunan pangan kita?
Hari Tani, bagi saya, adalah ruang refleksi yang getir. Ia tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang ketimpangan agraria yang diwariskan sejak kolonial, dilanjutkan oleh rezim demi rezim, dan hingga hari ini belum sepenuhnya diurai. Reforma agraria yang dijanjikan pada 1960 hanya menyentuh sebagian kecil dari persoalan, bahkan kerap dipinggirkan oleh kepentingan politik dan ekonomi. Petani masih kerap diposisikan sebagai objek, bukan subjek. Mereka dihitung dalam statistik, difoto dalam panen raya, dipakai sebagai simbol keberhasilan, tetapi suaranya jarang benar-benar didengar. ketika mereka bersuara, seringkali dituding sebagai penghambat pembangunan. Padahal, pembangunan tanpa petani hanyalah ilusi, negeri yang kehilangan petaninya akan kehilangan jiwa dan perutnya sekaligus.
Karena itu, Hari Tani ke-65 ini sebaiknya dibaca dengan dua kacamata. Kacamata pertama adalah data. panen naik, cadangan cukup, harga beras melonjak, konflik agraria menumpuk. Kacamata kedua adalah Nurani. di balik angka-angka itu ada manusia, ada keluarga, ada petani yang setiap hari bergulat dengan tanah dan air, ada masyarakat adat yang mempertahankan hutan, ada buruh tani yang hidup dari upah seadanya. Tanpa keberanian untuk menautkan data dan nurani, kita hanya akan berjalan di tempat, memutar ulang retorika lama tanpa solusi nyata. Hari Tani bukan sekadar perayaan, ia adalah ujian apakah kita masih punya empati, apakah kita masih menghargai tangan-tangan yang menanam dan memanen untuk kita.
Petani bukan hanya soal pangan, melainkan soal keadilan. Ia bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga urusan moral, politik, dan budaya. Hari Tani ini, dengan segala demonstrasi dan data yang berseliweran, seharusnya menjadi pengingat bahwa jalan panjang itu belum selesai.
Kita boleh bangga dengan cadangan beras, kita boleh puas dengan laporan produksi, tetapi selama petani masih hidup dalam ketidakpastian tanah dan harga, semua itu hanya kebanggaan semu. Mungkin yang kita butuhkan bukan sekadar program baru atau target baru, melainkan keberanian untuk benar-benar menempatkan petani di pusat pembangunan. Tanpa itu, Hari Tani akan terus menjadi hari yang sama, hari untuk menekan janji yang tak pernah ditepati.