Kamis, Maret 28, 2024

Pesta Demokrasi dan Kritikan ala Ketoprak

Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Marilah mengaku saja bahwa pusat perhatian kita adalah para pejabat. Marilah tak usah menutup-nutupi bahwa kecenderungan utama historis kita adalah memajang pejabat-pejabat di layar-layar psikologi kebudayaan kita; baik terpatri di benak masing-masing maupun yang terungkap di panggung-panggung komunitas sosial kita.

Kalau ada pemilihan kepala dusun atau kepala desa, kita tidak memikirkan sejarah dusun-desa kita dulu, sekarang dan besok, melainkan iseng-iseng mempergunjingkan siapa calon yang didukung dan yang akan kita campakkan; apa latar belakangnya, keluarga kita atau bukan, golongannya siapa. Kemudian gagasan yang paling serius adalah keuntungan apa yang kira-kira akan kita dapatkan kalau yang kita pilih adalah ini atau itu.

Menjadi pejabat adalah peristiwa perekonomian pribadi. Maka penduduk desa, dengan naluri dan pengalamannya, tidak lagi naif menggagasnya sebagai kasus kepemimpinan untuk kemajuan. Karena memang mereka dikapitalisasi dan mereka pun mengapitalisasi segala kemungkinan dalam proses pemilihan kades untuk keuntungan lokal mereka masing-masing.

Masyarakat menikmati kenduri dan hidangan dengan menu isu tentang pemimpin-pemimpin atau calon-calonnya. Media massa menjadi pemrakarsa yang berjargon “man makes new” dan menerjemahkan “man” menjadi terutama pejabat-pejabat, bukan manusia. Koran-koran selalu sangat sibuk mengajak masyarakat di setiap level, seolah-olah ketua berganti, maka segala sesuatunya juga akan berubah secara mendasar. Seakan-akan ada kemungkinan yang sedemikian pentingnya yang ditawarkan kepada masyarakat oleh pergantian “pejabat”.

Bagai khalayak ramai, pergunjingan tentang calon-calon “pejabat” merupakan peristiwa psikologis. Peristiwa itu hampir tidak ada kaitannya dengan apa yang sesungguhnya dimaknai oleh kata “politik” dan “ekonomi”.

Pada sisi yang paling kelam, itu sesungguhnya adalah kanibalisme psikologis: kita berkeliling di meja makan kebudayaan yang menyuguhkan segala bahan pergunjingan tentang apa saja yang menyangkut para pejabat. Kita terkadang muak, tetapi tetap mengenyamnya bersama-sama, beramai-ramai.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, penderitaan orang lain sering kali merupakan makanan ringan yang enak sebagai nyanyian di beranda rumah, di gardu, pojok pasar, dan warung-warung kopi.

Bagi industri informasi, segala kemungkinan “isi meja makan kebudayaan” itu senantiasa diekspor sedemikian rupa sebagai komditas utama. Tak peduli siapa mereka dan apa yang mereka lakukan. Juga tidak penting apa hubungan antara tampilnya para pejabat di panggung politik dengan nasib kita sendiri beserta puluhan juta saudara sebangsa dan setanah air. Sebab yang lebih mengasyikkan adalah rumbai-rumbai romantic performance mereka di panggung.

Kalau dalam dunia ketoprak, nama kita adalah bala dhupakan: pemeran figuran yang jumlahnya lebih banyak dari pemeran utama, tetapi tugasnya adalah didhupak-dhupuk alias ditendang-tendang. Yang ditendang-tendang terkadang dahi dan punggung kita, di saat lain hak-hak asasi kita, atau yang rutin adalah gagasan-gagasan kita mengenai bagaimana lakon ketoprak itu mestinya berlangsung.

Akan tetapi, yang harus dengan seksama kita catat ada;ah betapa tradisi pemusatan perhatian terhadap pejabat-pejabat memiliki akibat sejarah yang tidak sederhana. Kalau dalam kesempatan bincang-bincang serius dibahas tema seperti ketidaksiapan masyarakat untuk mengerjakan demokrasi dan membangun komunitas egalitarian, proses kualifikasi kepemimpinan yang selalu kembali terjebak pada patrimonialisme dan khususnya budaya monarki, mekanisme generasi yang terantuk-antuk oleh bebatuan feodalisme, dan lain sebagainya, percayalah itu karena kita memang masing bersemayam di era ketoprak.

Kita membutuhkan kesempatan khusus untuk menguraikan itu. Namun, yang jelas, peran menjadi bala dhupakan adalah posisi dan situasi floating mass yang mengaktualisasikan kultur cengeng dan tak berdaya, meskipun itu bisa berarti juga kesabaran, ketabahan dan ketahanan.

Dan tidak lama lagi, negeri kita ini akan mengalami pesta demokrasi besar-besaran. Mulai dari Pilkada serentak 2018 hingga Pilpres 2019. Mari kita merenungi dan berkata kepada diri kita sendiri, bahwa jangan berekspetasi terlalu tinggi. Tidak ada “juru selamat” dalam politik. “Satria Piningit” itu tidak nyata dalam kancah politik.

Siapapun yang terpilih nanti, dia adalah CEO-nya politikus. Dia bisa mencapai jabatan tertinggi karena paling jago berpolitik. Juara lari 100 meter tidak menjadi juara karena dia baik, atau karena dia jujur, tetapi karena dia paling cepat larinya, paling jago larinya.

Ketika nanti orang yang terpilih itu telah dilantik dan diambil sumpah jabatannya, kita sebagai rakyat harus tetap menggawangi Indonesia dengan cara menggonggongi pemerintah dan legislatif ketika mereka salah.

Apakah mengkritik pemerintahan merupakan wujud penyesalan? Apakah jika kita berkomitmen untuk menikahi seseorang, kritik kita kepadanya merupakan wujud penyesalan atas pernikahan yang terjadi? Apakah kritik kita kepada anak merupakan wujud penyesalan karena memiliki anak tersebut? Tentu tidak.

Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.