Sabtu, November 22, 2025

Pertunjukan Basi: Krisis Legitimasi dalam Penampilan Toleransi

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
- Advertisement -

Tulisan opini ini menganalisis fenomena figur publik di Indonesia yang menggunakan gestur toleransi antaragama yang berlebihan sebagai alat untuk membangun citra politik,dan mengapa publik Indonesia semakin skeptis terhadap pertunjukan semacam itu. Dengan merujuk pada konsep sosiologis dan data opini publik, tulisan ini berargumen bahwa skeptisisme ini berakar pada “kesenjangan kredibilitas” yang didorong oleh korupsi dan nepotisme sistemik, yang telah mengikis kepercayaan publik dan mempertajam kemampuan masyarakat untuk mendeteksi ketidaktulusan.

Pertunjukan Toleransi dan Sinisme Publik

Sebuah aksi viral baru-baru ini yang melibatkan pejabat tinggi Kementerian Agama RI, Nazaruddin Umar, yang mencium tangan seorang pendeta Kristen, menjadi studi kasus yang relevan (Arditya, 2023). Meski terlihat sebagai simbol kerukunan yang kuat, gestur tersebut justru ditanggapi dengan skeptisisme oleh publik, bukan pujian. Reaksi pendeta yang sederhana dan “normal” bertolak belakang dengan tampilan dramatis sang pejabat, sehingga membuat banyak orang mempersepsikannya sebagai toleransi performatif (performative tolerance) sebuah tindakan simbolis yang lebih dirancang untuk konsumsi media daripada dialog antaragama yang genuin (Wijayanto, 2022).

Penilaian publik ini bukanlah hal yang kebetulan. Ini adalah respons yang dipelajari, diasah oleh pengalaman bertahun-tahun menyaksikan keterputusan antara retorika politik dan realita. Riset dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) secara konsisten menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap institusi dan partai politik, dengan sering menyebutkan korupsi dan janji yang tidak ditepati sebagai alasan utamanya (LSI, 2023).

Ketika masyarakat menyaksikan gestur toleransi yang bombastis dari pejabat yang terlibat atau memimpin institusi yang dipersepsikan korup, mereka melakukan proses “atribusi,” mempertanyakan motif yang mendasarinya (Weiner, 1985). Publik secara intuitif menerapkan teori atribusi, membedakan antara tindakan yang dipersepsikan dimotivasi secara internal (keyakinan tulus) dan secara eksternal (keinginan untuk mendapatkan keuntungan politik) (Weiner, 1985).

Kesenjangan Kredibilitas: Korupsi dan Nepotisme sebagai Pengikis Kepercayaan

“Radar ketulusan” publik telah dikalibrasi dengan tajam oleh realitas korupsi dan nepotisme yang merajalela. Peringkat Indonesia yang terus berada di kelas menengah dalam Indeks Persepsi Korupsi Transparency International (Transparency International, 2023) dan prevalensi dinasti politik yang terlihat jelas di tingkat daerah maupun nasional (Warburton & Aspinall, 2019) telah menciptakan lapisan sinisme yang mendasar.

Hal ini menciptakan apa yang dapat disebut sebagai “hutang kredibilitas” (credibility debt). Setiap skandal korupsi atau contoh nepotisme di mana anak seorang pejabat publik dengan mudah diposisikan untuk mewarisi kekuasaan politik berfungsi sebagai penarikan dana dari bank kepercayaan publik (Putnam, 2000).

Ketika seorang pejabat kemudian menyetor melalui aksi toleransi yang performatif, itu dianggap tidak cukup untuk menutupi hutang yang sangat besar. Karya filsuf Harry G. Frankfurt (2005) tentang “bullshit” relevan di sini; publik memandang gestur semacam itu bukan sebagai kebohongan (yang membutuhkan pengetahuan tentang kebenaran), melainkan sebagai ucapan atau tindakan yang tidak memiliki kepedulian terhadap nilai kebenaran, dan hanya bertujuan untuk mendapatkan persepsi yang diinginkan.

Lebih lanjut, nepotisme secara langsung menyerang prinsip meritokrasi. Ketika publik melihat bahwa kesuksesan ditentukan bukan oleh kompetensi tetapi oleh garis keturunan, hal itu merusak kepercayaan terhadap seluruh struktur kepemimpinan. Jika seorang pejabat tidak dapat dipercaya untuk berlaku adil dalam hal personel atau suksesi dasar, bagaimana mungkin mereka dapat dipercaya untuk bersikap tulus tentang nilai-nilai kompleks seperti toleransi?

Imperatif untuk Keterlibatan yang Autentik

Penolakan publik terhadap toleransi yang performatif adalah tanda masyarakat sipil yang semakin matang, meski diselimuti kekecewaan. Ini menandakan bahwa rakyat Indonesia tidak lagi bisa ditenangkan oleh politik simbolis. Solusinya bukanlah bagi pejabat untuk menghentikan promosi toleransi, tetapi untuk melakukannya secara autentik.

Toleransi yang autentik tidak ditunjukkan melalui gestur dramatis yang terisolasi untuk kamera. Itu dibangun melalui tindakan substantif yang konsisten: memastikan distribusi sumber daya negara yang adil, menegakkan hukum terhadap ujaran kebencian tanpa bias, dan memupuk dialog antaragama yang genuin di tingkat akar rumput. Itu membutuhkan komitmen mendasar terhadap tata kelola yang baik, dimulai dengan perjuangan tanpa henti melawan korupsi dan nepotisme.

- Advertisement -

Sampai kesenjangan kredibilitas ditutup melalui integritas yang nyata, bahkan tindakan simbolis yang paling berintensi baik dari figur publik akan dihadapi dengan skeptisisme yang wajar dari publik yang telah belajar, melalui pengalaman pahit, untuk membedakan pertunjukan dari pribadi sang pelaku.

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.