Kamis, April 25, 2024

Pertemuan Prinsip Suku, ILO, dan Dua Penulis Jepang

Tito Tri Kadafi
Tito Tri Kadafi
Pendidik | Peneliti Sosial | Pendiri Bastra ID

“Suku Badui bukan saja nyala lilin saat gelap. Ia menghidupkan refleksi sekaligus menjadi representasi figur dengan berbagai praktik baik yang menuntun alam jadi lebih lestari.”

Peliknya fenomena alam yang terjadi tidak dibarengi dengan kewaspadaan masyarakat untuk menjaga alam. Melansir YouGove pada 2020, orang Indonesia menempati peringkat pertama di dunia, disusul Amerika Serikat dan Saudi Arabia sebagai negara yang menolak percaya bahwa perubahan iklim disebabkan oleh ulah manusia. Ini ibarat evaluasi bagi regulasi sembilan tahun wajib belajar di Indonesia, yang belum memberikan intervensi perubahan secara signifikan terhadap perilaku masyarakat dalam menanggapi isu lingkungan. Sedang di sisi lain, salah satu kelompok masyarakat adat yang tidak menempuh pendidikan mempertontonkan tuntunan bagaimana alam dan manusia saling selaras.

Penulis hendak memberikan penafian bahwa tulisan ini tidak berupaya mendiskreditkan peran pendidikan. Jika saja mau melihat lebih banyak, beberapa media menyajikan redaksi soal Suku Badui yang tidak menempuh pendidikan karena takut pintar. Bingkai ini seyogianya tidak diperlukan, sebab perilaku masyarakat sana semata-mata jadi usaha untuk menjaga zaman. Bagian ini juga tidak berupaya meromantisasi Suku Badui, tetapi kenyataannya ia lebih belajar banyak soal alam, lebih banyak tahu soal dinamika kehidupannya, dan menyesuaikan dengan kepercayaan yang dianutnya.

Suku Badui atau lebih akrab disapa urang Kanekes merupakan kelompok masyarakat adat di pedalaman Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Secara umum dikenal dua kategori kelompok Badui, yakni Badui Luar yang sudah sedikit terbuka dengan modernisasi, dan Badui Dalam yang masih secara utuh mempertahankan tuntunan leluhurnya hingga kini. Ketimbang melihatnya sebagai suku pedalaman yang menolak teknologi, penulis lebih suka menyebut kelompok ini sebagai figur hijau. Istilah ini sengaja penulis sematkan berkat peran Suku Badui menjaga keseimbangan alam, di tengah hiruk pikuk zaman yang penuh dalih investasi dan kemajuan, padahal di sisi lain turut mengancam lingkungan. Contoh aktivitas yang paling tampak adalah budaya berjalan kaki masyarakat Badui. Selain sehat yang sudah pasti, aktivitas ini juga berperan mengurangi produksi emisi karbon dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor.

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Pikukuh ini merupakan sebuah larangan adat yang menjadi pedoman bagi aktivitas masyarakat Badui yang berlandaskan pada ajaran Sunda Wiwitan. Interpretasinya tidak lain untuk mengamanatkan kehidupan yang turut menjaga kearifan sumber daya. Penerapan pikukuh ini tergambarkan lewat berbagai aktivitas masyarakat sana, yang memanfaatkan potensi lokal sebagai penopang kehidupan sekaligus menjaga kelestariannya.

Kembali pada investasi dan kemajuan yang tidak luput dilakukan banyak negara, terdapat sebuah istilah bernama pekerjaan hijau (green jobs) yang dicanangkan oleh International Labour Organization (ILO), salah satu badan naungan PBB. Menurutnya, pekerjaan hijau jadi simbol dari perekonomian dan masyarakat yang lebih berkelanjutan, dan mampu melestarikan lingkungan, untuk generasi sekarang ataupun mendatang. Melansir dari Koaksi Indonesia, kemunculan pekerjaan hijau dilatarbelakangi oleh kualitas lingkungan yang makin menurun. Istilah pekerjaan hijau diartikan sebagai bidang pekerjaan yang berpotensi menjawab masalah krisis iklim. Indonesia juga menunjukkan dukungan terhadap isu ini dalam forum ASEAN Labor Ministers Meeting (ALMM) yang mengangkat tema “Promoting Green Jobs for Equity and Inclusive Growth of ASEAN Community” pada Desember 2018.

Jauh sebelum istilah pekerjaan hijau ada, praktik baik yang berkontribusi menjawab tantangan krisis iklim sejatinya telah dilakukan oleh Suku Badui. Gelar figur hijau bagi Suku Badui tidak lain terinspirasi dari cara ILO menamai istilah di atas sebagai pekerjaan hijau. Sebagai figur hijau, cara pandang orang Badui terhadap lingkungan merepresentasikan kebersamaan yang berbasis kelestarian. Misalnya dalam konteks ladang yang dikelola bersama menggunakan aturan adat di Badui. Setiap orang yang bergiat di ladang, memahami rangkaian proses dalam pengelolaannya, termasuk tata cara bertani secara cukup. Orang Badui umumnya berprofesi sebagai petani padi huma, yang memproduksi hasil taninya cukup untuk kebutuhan keluarga dan ekonomi.

Selain itu penghasilan tambahan juga didapatkan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian, asam keranji, serta madu hutan. Nilai “cukup” yang diaplikasikan Suku Badui setidaknya membantu mengurangi peluang bertambahnya food waste atau sampah makanan, pun perlahan membantu Indonesia terlepas dari gelar salah satu negara penghasil sampah makanan terbesar yang disematkan oleh The Economist Intelligence.

Pengelolaan ladang bukan satu-satunya praktik baik urang Kanekes. Tiap individu di suku ini juga terbiasa untuk melakukan kontrol diri dan hasrat dalam pola hidupnya. Hal ini terbukti dengan minimalisnya benda-benda yang terdapat di tempat tinggal mereka, pun keberadaan benda tersebut memang dimaksimalkan sesuai fungsinya, yang pasti jumlah pakaian warga sana tidak sebanyak orang kota yang betumpuk-tumpuk dan bergantung-gantung di lemari kesayangannya. Tidak salah jika dibilang Badui jadi representasi keberhasilan hidup yang lebih minimalis.

Gaya hidup minimalis seperti ini berupaya menekan perilaku konsumtif di era konsumerisme yang makin marak belakangan. Prinsip ini sebenarnya kembali populer pesat saat dua orang di Jepang menuliskan tinya dalam buku berjudul The Life-Changing Magic of Tidying Up oleh Marie Kondo pada 2010, dan Good Bye, Things oleh Fumio Sasaki pada 2015.

Setelah membaca, keduanya meyakini bahwa memiliki banyak benda semestinya tidak menjadi objektif dalam membangun citra diri di era saat ini. Kepemilikan benda berlebihan baginya turut memengaruhi kondisi mental. Kehidupan minimalis bagi Sasaki adalah simbol manusia untuk hidup lebih produktif dan memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang berdampak baik pada mental manusia. Sedangkan Kondo lebih radikal, baginya barang di rumah perlu ditata dan yang tidak lagi digunakan semestinya dibuang.

Kondo dan Sasaki adalah dua orang Jepang yang seolah terhubung secara prinsip dengan Suku Badui. Logis memang jika banyak masyarakat lebih mengenal prinsip ini datang dari Kondo dan Sasaki ketimbang Suku Badui, sebab narasi yang dibangun berangkat dari realitas modern dan tidak bercampur dengan nilai kepercayaan. Lagi-lagi, Kondo, Sasaki, ataupun Suku Badui adalah perihal yang tidak perlu dibandingkan pun dicari kekurangannya; mana yang lebih baik, mana yang lebih benar. Ketiganya merefleksikan tuntunan bagi umat manusia soal gaya hidup yang dapat berkontribusi membuat bumi lebih lestari, secara fisik ataupun mental.

Masyarakat Badui dengan berbagai prinsipnya perlu didorong untuk menjadi praktik baik dan acuan bagi penyelesaian krisis iklim. Bukan sebagai tempat wisata yang dipertontonkan, amanat yang Suku Badui tekuni seyogianya menjadi pembelajaran kontekstual di luar sekolah, bahwa menjaga kelestarian perlu dimulai sejak dalam pikiran.

Tito Tri Kadafi
Tito Tri Kadafi
Pendidik | Peneliti Sosial | Pendiri Bastra ID
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.