Minggu, Mei 5, 2024

Pertemuan Negara-negara Arab, Apakah Bertaji?

Tomy Rahim
Tomy Rahim
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Al Azhar Mesir.

Perang antara Hamas-Israel telah berkobar satu bulan lebih. Diawali serangan Hamas ke Tel Aviv dan Yerusalem dalam operasi ‘Badai  Al Aqsa’ (7/10) lalu menyebabkan tewasnya 1200 warga Israel. Serangan mendadak ini seakan tidak terlacak oleh intelijen Israel. Hamas menyatakan serangan ini adalah balas dendam penduduk Palestina pada gangguan-gangguan Israel di Masjidil Aqsa serta kekejaman Israel di Jalur Gaza. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanhayu murka atas serangan ini. Netanhayu bersumpah akan membalas dendam serangan ini dan membuat perhitungan dengan Hamas.

Balas dendam yang dilakukan Israel telah berlangsung sebulan lebih. Dilansir dari AFP, korban tewas akibat perang ini mencapai 11.320 jiwa pada Selasa (14/11). Korban jiwa ini mencakup 4650 anak-anak dan 3145 wanita. Serangan bertubi-tubi Israel turut menghancurkan masjid, gereja, sekolah, rumah sakit, ambulans serta fasilitas umum lainnya. Setidaknya 47 masjid, 3 gereja, 200 sekolah, 24 ambulans, 16 rumah sakit hancur lebur dan tidak dapat beroperasi. Tidak hanya itu, terjadi kelangkaan pasokan bahan makanan, air, obat-obatan serta fasilitas kesehatan lainnya disebabkan blokade yang dilakukan Israel yang menyebabkan bantuan kemanusiaan tidak dapat menuju Gaza.

Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di Palestina menimbulkan keguncangan di berbagai negara. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Mesir serta beberapa negara lainnya. Mereka menuntut Israel untuk menghentikan serangan brutal ini serta mendesak Amerika Serikat dan PBB untuk menindak Israel dan menuntut Israel ke Mahkamah Internasional.

Demonstrasi-demonstrasi ini turut menuntut para pemimpin Arab dan OKI yang nampak lambat bereaksi untuk memberikan solusi konkret dan  sanksi tegas bagi Israel yang telah melakukan genosida terhadap rakyat sipil Palestina. Tuntutan para demonstran memberikan tekanan pada para pemimpin negara Arab untuk memberikan reaksi keras atas kejahatan kemanusiaan yang terus berlangsung hingga kini.

Para pemimpin Arab akhirnya mengadakan KTT Perdamaian yang diadakan di Kairo (21/10) lalu. Pertemuan ini membahas solusi untuk mengupayakan perdamaian di Palestina. Raja Abdullah dari Yordania mengecam serangan Israel ke Palestina yang menewaskan ribuan warga sipil serta menghancurkan ratusan fasilitas umum. “Pesan yang didengar dunia Arab adalah nyawa warga Palestina tidak begitu berarti dibandingkan nyawa orang Israel” Ujar Abdullah.

Senada dengan penyataan Raja Abdullah, Presiden Mesir Abdul Fattah El Sisi turut mengutuk serangan brutal yang dilakukan Israel. “ Kita bertemu hari ini di Kairo dalam situasi yang sangat sulit yang menguji rasa kemanusiaan dan keyakinan yang kita anut. Dimanakah rasa kemanusiaan yang telah kita bangun bertahun-tahun dan berabad-abad. Dimanakah kesetaraan antara orang-orang yang tidak bersalah tanpa standar ganda?” ujarnya. Pertemuan ini sepakat untuk mengecam perbuatan Israel tetapi tidak memberi solusi konkret dan terobosan mengatasi permasalahan tersebut.

Tak hanya itu, OKI dan Liga Arab mengadakan KTT gabungan untuk membahas persoalan Palestina (11/11). KTT ini menghasilkan banyak kesepakatan untuk mendukung Palestina dan menyatukan sikap menentang agresi Israel. KTT ini menghasilkan 20 poin kesepakatan yang diantaranya :

  • Mengecam agresi Israel di Jalur Gaza.
  • Mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil keputusan tegas kepada agresi Israel.
  • Mewujudkan konvoi bantuan kemanusiaan Arab, Islam dan Internasional
  • Mengadili kejahatan perang Israel di Jalur Gaza.
  • Menolak pengusiran warga Palestina dari Gaza.
  • Menentang pembantaian terhadap warga sipil

Menurut beberapa media Internasional, beberapa negara Arab yang dipimpin Aljazair dan Lebanon mengusulkan untuk memboikot hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel serta menggunakan minyak untuk menekan Israel. Sebanyak 11 dari 22 negara Arab mendukung usulan itu.

4 negara menolak dan sisanya abstain. Beberapa negara yang diperkirakan menolak usulan tersebut yaitu Arab Saudi, Yordania, Mesir, Uni Emirat Arab, Bahrain, Djibouti, Mauritania, Maroko dan Sudan. Hal ini disebabkan beberapa negara Arab tersebut seperti Bahrain dan Uni Emirat Arab telah mengadakan hubungan diplomatik dengan Israel sejak 2020 serta Arab Saudi yang sedang menormalisasi hubungannya dengan Israel.

Terpecahnya suara negara Arab sungguh disayangkan. Seperti yang kita ketahui bahwa ancaman Israel bukan hanya mengancam eksistensi Palestina tetapi turut mengancam keamanan regional Timur Tengah. Para pemimpin Arab hanya sebatas ‘mengutuk’ agresi Israel tanpa memberikan solusi strategis dan terobosan terbaru untuk perdamaian Palestina.

Negara-negara Arab memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda dengan Israel. Uni Emirat Arab dan Bahrain telah mengadakan hubungan diplomatik dengan Israel sejak 2020. Disusul oleh Maroko pada akhir 2020. Kini Arab Saudi sedang mengupayakan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Berbedanya kepentingan dan pandangan antar negara Arab menyebabkan Liga Arab dan OKI tidak dapat menghasilkan solusi jitu untuk menyelesaikan dan mendesak Israel agar mengakhiri agresinya di Palestina.

Menurut Direktur Penelitian dan Analisis Arab Center di Washington DC, Imad K. Harb mengatakan bahwa pernyataan para pemimpin Arab hanya sebatas retorika dan simbolis untuk menghindari konfrontasi dengan Israel dan sekutunya Amerika Serikat. Contohnya hingga saat ini para pemimpin Arab hanya sebatas mengutuk tetapi tidak memberlakukan sanksi strategis apapun untuk menekan Israel.

Menurut Harb juga bahwa dukungan negara-negara Arab kepada Palestina semakin memudar disebabkan konflik regional seperti Perang Irak-Iran, Invasi Iran-Kuwait serta Revolusi Arab Spring (2011) yang melanda dunia Arab. Harb menambahkan bahwa meningkatnya tingkat otoriter para pemimpin Arab yang menimbulkan berbagai kekerasan politik dan membungkam perbedaan-perbedaan suara di kalangan masyarakat.

Ditambah lagi perbedaan suara antar negara Arab mengenai Hamas menambah keruwetan dalam menghadapi krisis yang diderita Palestina. Mesir bermusuhan dengan Hamas karena dianggap sebagai sayap politik Ikhwanul Muslimin yang digulingkan di Mesir. Serta Arab Saudi menetapkan Hamas merupakan organisasi teroris sejak 2021 lalu.

Problem-problem internal yang terjadi di kawasan Timur Tengah membuat negara-negara Arab sulit untuk menghasilkan solusi berani dan proaktif untuk menghentikan Israel. Negara-negara Arab harus menyatukan suara dan membuat resolusi bersama demi tercapai keamanan dan perdamaian di Palestina. Kecaman yang dilakukan para pemimpin Arab tidak cukup untuk menghentikan agresi Israel.

Kami melihat bahwa kecaman ini hanya sebuah simbolis agar tidak mendapat tekanan dari dunia Islam. Para pemimpin Arab tidak punya cukup nyali untuk menghadapi Israel serta sekutunya Amerika Serikat. Solusi untuk memboikot hubungan diplomatik dan ekonomi serta menahan ekspor minyak kami rasa mampu membuat Israel berpikir untuk menghentikan agresinya di Palestina.

Tomy Rahim
Tomy Rahim
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Al Azhar Mesir.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.