Memasuki era revolusi indusrti 4.0 di berbagai belahan dunia yang ditandai dengan kecanggihan teknologi dan kecerdasan buatan (Artificial Intelegencia) menjadi suatu tantangan yang besar bagi Indonesia, khususnya dibidang digitalisasi.
Tidak bisa menampik bahwa mulai dari kehidupan pribadi, pemerintahan, pendidikan, politik, pertahanan dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya memiliki keterhubungan dan ketergantungan dengan teknologi infomasi dan komunikasi. Hal ini juga berkaca pada laporan terbaru dari We Are Social dan Meltwater bertajuk “Digital 2023”, jumlah pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 ini tercatat mencapai 212,9 juta. Jumlah ini naik dari tahun sebelumnya.
Pada 2022 lalu, We Are Social menyebut jumlah pengguna internet di Indonesia berkisar 202 juta. Kondisi yang demikian, membuktikan bahwa eksistesi teknologi di era digitalisasi menunjukan bahwa semakin meningkatnya kehidupan masyarakat modern terhadap teknologi, sehingga teknologi menjadi kunci keberhasilan pembangunan pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang. Dengan kata lain kecanggihan teknologi yang diciptakan diera digitalisasi ini merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan untuk menunjang pembangunan nasional.
Manusia itu dinamis, begitupun dengan perkembangan zaman. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan zaman akan semakin modern. Kehidupan bermasyarakat akan selalu berubah dari masa ke masa. Semakin besar pengaruh dari luar lingkungannya akan semakin pesat pula perubahan di dalam masyarakatnya itu sendiri, baik perubahan yang bersikap positif maupun perubahan yang bersifat negatif.
Pada era globalisasi saat ini, perkembangan penggunaan teknologi yang semakin pesat dengan keistimewaan kecanggihan yang prima menunjukan gejala umum dari setiap perubahan. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan teknologi itu sangat berpengaruh terhadap sikap tindak dan sikap mental masyarakat. Kemajuan yang dicapai dibidang teknologi akan mempengaruhi pula perubahan di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlunya peran hukum dalam mengatur tentang masalah teknologi, informasi dan komunikasi di dalam peradaban manusia secara global.
Pada dasarnya, setiap teknologi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat. Status quo eksistensi teknologi informasi dan komunikasi merupakan hasil pengembangan teknologi-teknologi yang telah ada sebelumnya, khususnya teknologi komputer, telekomunikasi, dan internet.
Saat ini, teknologi yang dimaksud berwujud laptop, komputer, handphone, tablet, atau gadget lainnya dalam rangka terciptanya masyarakat dunia untuk berinteraksi dan melakukan transaksi.
Dibalik modernisasi kecanggihan teknologi juga tidak menutup kemungkinan adanya oknum-oknum cybercrime. Terlebih, dengan pengguna internet sebanyak 212,9 juta orang2 di Indonesia menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu negara sasaran cybercrime dengan berbagai modus seperti sniffing, pishing, sniffing, money mule, social engineering dan lainnya.
Secara das sein, kejahatan modus cybercrime banyak sekali, salah satu diantaranya ialah sniffing. Dalam menghadapi kecanggihan teknologi, seiring dengan perkembangan teknologi penggunaan wi-fi (Wireles Fidelity)menjadi perangkat koneksi antar perangkat tanpa kabel yang praktis atau tanpa perlu menghadapkan satu sama lain yang merupakan teknologi canggih dalam mengakses internet.
Penggunaan wi-fi hampir di segala bidang kehidupan sehari-hari dan banyak dijumpai diberbagai tempat misalnya di bandara, hotel, restoran, sekolah, perumahan, kos-kosan, kampus dan tempat-tempat tertentu seperti hotspot area.
Namun, dibalik sisi positif adanya wi-fi dalam mengakses internet, seringkali wi-fi disalahgunakan. Salah satu diantaranya penyalahgunaan wi-fi melalui sniffingdengan modus pelaku meretas untuk mengumpulkan informasi yang ada di perangkat korban dan mengakses aplikasi yang menyimpan banyak data penting.
Dalam hal ini, sniffing bisa terjadi ketika menggunakan wi-fi publik “free wi-fi” apalagi jika digunakan untuk bertransaksi. Pasalnya, wi-fi gratis tersebut kemungkinan disusupi malware yang bisa mengeksploitasi data dalam perangkat.
Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Tonny Seno, National Technology Officer Microsoft Indonesia bahwa wi-fi gratis merupakan salah satu metode pencurian data. Modus ini menggunakan metode yang sangat mudah dilakukan oleh peretas, peretas hanya membeli perangkat Mifi kemudian SSID Mifi tersebut dinamakan “wi-fi Gratis” untuk menarik perhatian korban mengakses wi-fi tersebut.
Lazimnya, peretas ini meletakkan mobile wi-finya di tempat-tempat yang sering dikunjungi, misalnya warung kopi dan diberi nama wi-fi gratis. Orang-orang pun yang dengan literasi digitalnya rendah berbondong-bondong masuk rebutan sehingga pretas bisa mendaptkan ratusan data informasi pribadi seperti password.
Taktik modus para penjahat siber terbilang elegan, karena taktik ‘cantik’ mencatut nama wi-fi yang sama untuk mengelabuhi seseorang dengan cara misalnya nama bandara dibuat “bandara 2”, rumah sakit A menjadi “rumah sakit A 2”.
Selain itu ada juga hacker yang langsung mengambil alih wifi publik. Hal ini bisa terjadi jika hacker nya mahir dan lapisan enkripsi wi-fi tidak ditata setinggi mungkin. Adapun data yang dicuri oleh hacker biasanya adalah yang berhubungan dengan password. Sniffing wi-fi ini yang diincar hacker hanya kiriman yang mengindikasikan kata-kata password, ID, kata kunci, karena data-data tersebut yang menjadi sasaran utama. Yang mejadi sorotan adalah data yang “disedot” oleh hacker ada banyak, bisa dari ratusan pengguna per menitnya.
Kasus modus sniffing sangat urgentif untuk dikaji, mengingat di Indonesia sendiri sangat jarang kasus seperti ini diangkat ke ranah hukum, namun faktanya kasus semacam ini banyak terjadi di sekitar.
Pokok problematikanya hanya saja terletak pada pengguna yang tidak mengetahui perihal pencurian data tersebut karena memang sangat sulit mendeteksi pelaku pencurian ini. Actus reus dari tindak pidana tersebut di atas adalah mengakses sedangkan Mens rea dari tindak pidana tersebut diatas adalah dengan sengaja. Objek dari actus reus adalah wi-fi dan/atau sistem elektronik.
Tindak pidana pencurian data pribadi melalui “embel-embel” wi-fi gratis apabila dikaitkan dengan hukum pidana Indonesia terdapat beberapa undang-undang yang relevan diantaranya Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tindak pidana pencurian data pribadi (identity theft) sebagaimana kasus modus tersebut dapat dijerat menggunakan Pasal 67 ayat (1) dan (3) UU PDP. Pasal 30 ayat (2),Pasal 32 ayat (1), Pasal 46 ayat (2) UU ITE, Pasal 362 (KUHP). Selain melaporkan pelaku ke pihak kepolisian, menurut Pasal 12 ayat (1) UU PDP subjek data pribadi berhak untuk menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi tentang dirinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.