Jumat, Maret 29, 2024

Pers, Ditengah Tuntutan Moral dan Netralitas

Leo Bisma
Leo Bisma
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Tahun 2019 digadang-gadang akan menjadi tahun yang penuh intrik dan persekutuan untuk merebut kekuasaan, maka tak heran tahun ini disebut sebagai tahun politik. Berbagai macam upaya dilakukan masing-masing paslon untuk merebut hati para pemberi kekuasaan, yakni rakyat itu sendiri.

Namun dalam prakteknya, seringkali para calon pemimpin berubah menjadi sesuatu yang bukan dirinya demi tampuk kekuasaan. Di sinilah peran pers amat dibutuhkan masyarakat untuk membantu rakyat agar melihat lebih jelas, kepada siapa suara mereka harus diberikan.

Pers dinilai cukup efektif sebagai alat untuk membandingkan sesuatu. Sifatnya yang objektif dan tidak memihak menyediakan kebebasan bagi publik untuk menentukan pilihan sesuai dengan nurani masing-masing.

Independensi media pers dari pihak yang diliput merupakan salah satu elemen jurnalisme yang tak dapat ditawar-menawar. Seorang jurnalis ataupun redaksi ketika menulis dalam tajuk rencana atau kolom opini memang tidak menulis sesuatu yang netral, tetapi ia berkewajiban untuk independen atas pandangan yang dikemukakannya.

Namun tetap saja, harapan bahwa dunia memiliki pers dan media yang benar-benar independen maupun netral, seakan menjadi sebuah realita yang utopis. Bermacam bentuk kepentingan acapkali berbenturan dengan prinsip jurnalisme.

Umumnya, masing-masing dari media pers memiliki ideologi dan menganut haluan tertentu. Segala macam aktivitas mulai dari perencanaan peliputan hingga menyajikan berita kepada publik sudah ditentukan berdasarkan perspektif media itu sendiri.

Jurnalisme pada fungsinya mengantarkan fakta dan mendefinisi bagaimana fakta tersebut akan dipahami oleh publik melalui kacamata seorang jurnalis dalam memandang peristiwa. oleh karena itu, Subjektifitas dari jurnalis memunculkan peluang untuk bersikap tidak netral, termasuk redaktur dan editor serta pemilik modal dari kantor pemberitaan tersebut.

Dari sejarah ditemukan bahwa media pemberitaan benar-benar sulit untuk tetap bersifat netral, Koran terkemuka di AS, New York Times pernah menyatakan mendukung pencalonan Barrack Obama sebagai presiden.

Tak hanya itu, ketika Donald Trump kerap membuat pernyataan kontroversial melalui akun twitternya, hampir seluruh media pemberitaan di Amerika menyatakan dukungan untuk paslon  oposisi Trump, Hillary Clinton. Serta kemudian yang datang dari media pemberitaan lokal yang bermarkas di ibukota, The Jakarta Post.

Dalam editorialnya yang berjudul “Editorial: Endorsing Jokowi” Jakarta Post menyatakan secara gamblang dukungannya pada salah satu paslon dalam pilpres 2014 silam. Dukungan kepada paslon pemilu yang dilakukan Jakarta Post merupakan hal baru bagi pers di Indonesia setelah 40 tahun.  Dalam etika pemberitaan, tidak ada yang salah dalam menuliskan sesuatu yang amat subjektif terkhusus apabila redaktur menempatkannya di dalam kolom tajuk rencana.

Dalam opini tersebut, Jakarta Post mengungkapkan bahwa keputusan ini didasari oleh keyakinan mereka bahwa salah satu paslon tidak memenuhi standar yang dianggap harus dimiliki seorang pemimpin. Kemudian diketahui bahwa penilaian tersebut merupakan nilai yang terkait dengan hal-hal fundamental dari ideologi media dengan mayoritas pembaca ekspatriat tersebut.

Media berbahasa inggris ini diketahui berfokus pada isu mengenai pluralisme, hak asasi manusia dan reformasi. Dapat disimpulkan bahwa kesamaan visi antara media dengan salah satu paslon, bisa saja menjadi faktor yang berpengaruh untuk media itu akan berpihak.

UU Pers Nomor 50 tahun 1999 dalam Pasal 6 mengamanatkan bahwa pers nasional berkewajiban melaksanakan perannya untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, lalu diwujudkan dalam pernyataan Jakarta Post yakni perbedaan diantara kedua calon yang begitu antitesis. Apa yang dikemukakan Jakarta post merupakan salah satu upaya dalam membuka mata masyarakat mengenai apa yang akan mereka pilih.

Pendekatan seperti ini mungkin saja mendapat tanggapan bahwa hal ini tidak etis sebagaimana dalam pandangan dunia jurnalisme, media tidak seharusnya memihak. Tetapi Jakarta Post merasa bahwa mereka memiliki cara tersendiri dalam menganut jurnalisme, yakni bukan jurnalisme yang semata bersifat netral, tetapi berkiblat akan kebenaran moral.

Kebenaran moral yang disampaikan berdasar pada penilaian dari pengalaman. Perspektif media menganggap bahwa track record dari salah satu paslon dinilai negatif. Hal ini menjadi realitas sosiologis yang oleh Jakarta Post disajikan sebagai realitas media. Berangkat dari hal tersebut.

Cara menyampaikan kebenaran namun bermuatan prasangka seperti ini berpeluang akan mempengaruhi objektifitas dan netralitas sebuah media ketika menyajikan berita diluar rubrik opini. Untuk itu, konsistensi sebuah media dalam mempertahankan independensi dan netralitasnya harus tetap berlangsung

Langkah berani ini setidaknya merupakan sebuah kemajuan bagi media pemberitaan di negeri ini. Mengingat bahwa hal tersebut merupakan langkah yang lazim bagi surat-surat kabar internasional, maka sikap Jakarta Post dinilai revolusioner bagi perkembangan media di Indonesia. Dengan sikap yang diambil untuk tidak tinggal diam dan menyuarakan pendapatnya, Jakarta post tak ingin lagi menahan diri dan berpura-pura netral, menganggap bahwa langkah moral tersebut akan menentukan nasib bangsa.

Leo Bisma
Leo Bisma
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.