Kebijakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) 250% dan tantangan Bupati Pati, Sadewo, untuk mendatangkan “50 ribu pendemo” demi mempertahankan aturan tersebut disambut dengan antusiasme demo warga Pati pada Rabu, 13 Agustus 2025. Namun, kadung marah dan terencanakan, kebijakan yang sudah dibatalkan sejak 8 Agustus 2025, tersebut tetap disambut demonstrasi yang mengakibatkan pendudukan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati, puluhan luka-luka dan ditangkap, dan hak angket yang disetujui parlemen bergulir untuk memakzulkan bupati.
Banyak yang bertanya-tanya, mengapa tren kebijakan pemajakan di berbagai daerah bermunculan. Sebagian menduga bahwa negara sedang membutuhkan uang atau istilah warganet “Butuh Uang” (BU). Adapun yang memandangnya sebagai “aji mumpung” kemenangan Prabowo-Gibran di tahun 2024, hingga praktik “Asal Bapak Senang” (ABS). Bagaimana kita melihat ini?
Pajak Dimana-mana!
Pada pidatonya di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-21 tanggal 17 Agustus 1966, Soekarno pernah mengungkapkan tentang istilah “Jas Merah”, yaitu “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Sederhana, tapi sering diremehkan oleh sebagian besar pejabat di Indonesia. Padahal, sejarah kebijakan perpajakan di Indonesia selalu menimbulkan kegaduhan—tentu tidak disukai Presiden Prabowo—terlebih kurangnya keterlibatan masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan, apalagi yang datang tiba-tiba.
Beberapa contoh kontroversi kebijakan perpajakan, misalnya soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningkat secara bertahap, mulai dari 11% yang mulai berlaku 1 April 2022, hingga mencapai 12% pada 1 Januari 2025. Contoh lainnya adalah Tax Expenditure (Belanja Perpajakan) yang pernah diterapkan. Direktorat Jenderal Pajak menyebutnya sebagai penerimaan yang hilang atau berkurang akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system), dan umumnya diimplementasikan dalam bentuk tidak langsung, seperti pembebasan pajak, penyesuaian, kredit, dan penangguhan. Misalnya, insentif Pajak Penghasilan (PPh) berupa penurunan tarif, potongan, hingga pembebasan bagi wajib pajak karyawan/pegawai.
Sebenarnya, selama terukur, terencana, akuntabel, dan tersosialisasi dengan baik, kebijakan perpajakan bukanlah persoalan, terlebih pembangunan Indonesia ditopang sebagian besar dari pajak masyarakat. Kementerian Keuangan melaporkan bahwa penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp1.932,4 T atau 100,5% dari target, tumbuh 3,5% year-on-year (yoy). Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan soal pajak akan selalu menimbulkan pro-kontra.
Namun, khusus kebijakan 250% tarif pajak PBB-P2, seperti di Pati, benar-benar sebuah anomali. Masalahnya, tren kenaikan tarif pajak 2025 semacam ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia dan lebih parah. Tirto.id dalam artikelnya “Daftar Daerah yang Naikkan PBB Ratusan Persen Selain Pati”, melaporkan kenaikan beberapa tarif pajak di beberapa daerah, di antaranya: 1) Kota Cirebon dengan kenaikan PBB hampir 1000%; 2) Kabupaten Jombang, PBB-P2 800%; 3) Kabupaten Semarang, PBB-P2 400%; dan, 4) Kabupaten Bone, PBB-P2 300%.
Memang, patut diakui bahwa tingginya pendapatan daerah dari pajak sangat berguna bagi optimalisasi pembangunan dan pembiayaan operasional, terlebih pasca pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan, keberhasilan memaksimalkan pendapatan daerah, mungkin akan menjadi “insentif politik” dan membangun citra politik yang positif di hadapan pusat. Mirip seperti upeti daerah kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan membuat senang meneer. Namun, perlu dicatat, bahwa ambisi perpajakan itu harus dipertimbangkan dalam aspek paling sensitif, terutama perkembangan sosio-ekonomi masyarakat secara empatik. Apalagi, kebijakan tarif pajak yang gila-gilaan dan datang tiba-tiba, seolah petir di hari yang cerah.
Jangan sampai kebijakan anomali seperti yang terjadi di Pati dan tempat lainnya, justru menurunkan kepercayaan masyarakat dan menghambat pembangunan itu sendiri. Apalagi, ketika masyarakat sudah enggan untuk membayar pajak, sedangkan sektor pendapatan negara sebagian besar ditopang melalui pajak.
Empati Pejabat Publik
Sekadar mengingatkan, sejarah Republik Konstitusional Perancis berawal dari perjuangan berdarah pada Revolusi Perancis 1789-1799. Penyebabnya antara lain adalah kesenjangan sosial antara bangsawan dan rakyat jelata, terutama beban pajak yang tidak merata dan tidak adil, terlebih saat itu tengah dilanda krisis ekonomi. Mungkin, gambaran demo di Pati tidaklah sebesar gejolak Revolusi Perancis, namun hal itu bisa menjadi pemicu di wilayah lain dan tentunya alarm bagi stabilitas negara.
Revolusi Perancis dan Revolusi Bolshevik seharusnya menjadi pembelajaran bahwasanya kebijakan pajak tidak boleh membabi buta dan pentingnya membangun empati kepada masyarakat yang melarat. Louis XVI harus berakhir di Guillotine merupakan simbol berakhirnya otoritarian juga ketidakadilan atas pemerataan pajak. Akar itu bermula dari kemarahan dan ketidakpercayaan. Apalagi, penurunan kepercayaan atas birokrasi perpajakan yang kurang terbuka, menjadi alasan masyarakat membenci “kepatuhan membayar pajak”. Sehingga, peran pengawasan dan penyerapan anggaran untuk kepentingan paling fundamental, misalnya kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan, harus diutamakan.
Walaupun, Kiser dan Kane dalam risetnya berjudul “Revolution and State Structure: The Bureaucratization of Tax Administration in Early Modern England and France” menyebut bahwa revolusi bukanlah syarat yang diperlukan atau cukup untuk birokratisasi, tetapi ia berkontribusi dalam menghilangkan hambatan untuk reformasi, terutama di perpajakan. Artinya, birokratisasi yang optimal, efisien, dan akuntabel merupakan satu jawaban untuk memberikan ketenangan kepada masyarakat dalam pemanfaatan pajak yang dilakukan negara.
Mungkin, kenaikan tarif pajak ini berniat baik, bila kita pandang secara husnuzon (prasangka baik). Barangkali, Pati dan beberapa daerah yang mengalami kenaikan pajak, memerlukan banyak dana untuk pengaspalan, mode transportasi publik, pembangunan infrastruktur, dan lainnya. Namun, pertama yang harus ditagih adalah apakah kebijakan tersebut datang dari kehendak dan kajian bersama rakyat? Dan, apakah disetujui segenap warga? Tetapi, apabila kebijakan tersebut dirasa ugal-ugalan, apalagi demi kepentingan elektoral semata, misalnya demi ABS. Maka, sejatinya rakyat memiliki ruang untuk menggugatnya, yaitu parlemen.
Dengan demikian, alih-alih menantang masyarakat untuk berdemo, meremehkan, apalagi sampai menghina, keterbukaan pejabat publik dalam perumusan kebijakan justru menjadi penenang bagi masyarakat, apalagi ia merupakan mandataris rakyat. Bahkan, wajib setiap kebijakan untuk uji kelayakan publik, bila perlu survei kebijakan secara statistik dan kualitatif sebelum ketuk palu. Oleh karena itu, pentingnya keterbukaan dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, termasuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat, setidaknya untuk tidak serta merta melontarkan ancaman, tantangan, atau perendahan.