Rabu, April 24, 2024

Elite dan Pejabat Publik Peka Sosial?

Ali Roziqin
Ali Roziqin
Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang | Alumni Bidikmisi dan LPDP Afirmasi

Beberapa hari lalu kita tentu memahami pidato presiden bahwa banyak dari para elite utamanya pejabat publik yang bekerja biasa-biasa saja. Presiden Joko Widodo menyayangkan sikap biasa-biasa saja dan menganggap situasi normal tanpa adanya pekerjaan extraordinary.

Situasi krisis yang saat ini kita hadapi membutuhkan kerja keras dari seluruh stakeholders terutama dari para pejabat publik. Jika kita meninjau kembali di awal, banyak para elit dan pejabat publik yang “meremehkan” dan berbicara tanpa bukti scientific yang valid tentang pandemi ini. Sampai situasi saat ini yang berdampak pada krisis sosial ekonomi akibat Covid-19.

Tidak hanya aspek kesehatan, dampak Covid-19 ini telah meluluhlantahkan seluruh sektor kehidupan di seluruh Negara. Pandemi Covid-19 telah membawa perekeonomian dunia ke jurang resesi.

Menurut data The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia minus 6-7,6 persen. Sedangkan Bank Dunia (World Bank) memproyeksi minus 5 persen. Lalu, bagaimana dengan Indonesia.

Di Indonesia, pandemi Covid-19 berkonstribusi terhadap meningkatnya angka pengangguran sebesar 7-9 % (INDEF). Artinya kurang lebih terdapat 12,5 juta penduduk yang beresiko menggangur. Bahkan angka ini bisa terus meningkat jika masa pandemi ini berlangsung lama.

Pandemi Covid-19 ini membuat akses manusia menjadi terbatas, sehingga mobilitas seperti perekonomian pun juga terdampak. Situasi yang belum pernah kita hadapi sebelumnya (unprecedented) berdampak pada goncangan sosial di masyarakat. Pemerintahan di semua Negara berjuang keras untuk keluar dari masa krisis ini, tidak terkecuali Indonesia. Meskipun kasus Covid-19 di Indonesia sifatnya fluktuatif bahkan cenderung terus meningkat, Pemerintah mengambil sikap untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat dengan menerapkan New Normal. Jika kita lihat acuan penerapan New Normal di sebuah Negara menurut WHO, jelas Indonesia belum mampu memenuhi kriteria penerapan New Normal tersebut.

Situasi krisis yang saat ini terjadi tentu menuntut sikap dan empati yang tinggi dari pejabat publik. Rasa tanggung jawab dan bekerja tulus untuk masyarakat luas adalah ruh yang harus dimiliki oleh para pejabat. Krisis sosial yang saat ini kita alami akan bisa kita hadapi bersama jika seluruh elemen masyarakat mempunyai rasa memiliki dan senasib sepenanggungan.

Bukan bermaksud membandingkan, apa yang terjadi di Kota Surabaya menjadi perhatian kita yaitu wali Kota Surabaya bersujud ketika rapat membahas Covid-19 dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia)  meminta agar warganya yang terkena Covid-19 bisa dirawat dengan baik.

Namun pada situasi yang sama, banyak sekali para elit pejabat yang justru menjadikan krisis ini sebagai ajang berpolitik praktis. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru tidak mampu membangun komunikasi yang baik selama pandemi ini dan cenderung mengedepankan ego pribadi atau kelompok. Selain itu, terdapat sebagian kecil elit yang justru memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan kelompok. Contohnya adalah RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang tengah hangat diperbincangkan.

Primordial Kelompok

Di tengah situasi krisis seperti saat ini, ada saja kelompok yang berusaha mengutak-atik falsafah dan dasar Negara dengan alasan urgensi sosial. Padahal fakta sosial yang kita alami saat ini adalah masyarakat tengah berjuang melawan krisis yang disebabkan oleh Covid-19. Terlepas dari ditundanya dan opsi dihentikanya RUU HIP, banyak organisasi masyarakat yang menolak dan mensarankan untuk dihentikan pembahasanya.

Munculnya isu ini tidak lepas dari masih tingginya sikap primordial kelompok dari sebagian elitis. Mereka menggangap bahwa kelompoknya lah yang jauh lebih berperan dalam membangun pondasi bangsa sekaligus menentukan arah kedepan perjalanan bangsa.

Sikap ini semestinya tidak dikedepankan oleh para elitis. Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah empati dan aksi nyata dari pejabat berupa kebijakan yang populis dan logis untuk keluar dari krisis ini.

Selain itu sense of crisis dari elit sangat dibutuhkan untuk bersama-sama membantu kelompok masyarakat yang lemah. Bukan saatnya kita membicarakan isu ideologi yang sudah final dipahami secara komunal.  Apalagi perebutan pengaruh di masyarakat dan politik praktis.

Kesatuan dan Empati Sosial                  

Dua hal yang perlu dikedepankan menghadapi pandemi yang tidak tahu kapan berakhirnya ini adalah kesatuan dan berempati satu sama lain. Seperti yang termaktub dalam sila ke tiga, Persatuan Indonesia, rasa kesatuan bangsa Indonesia adalah modal utama dalam menghadapi segala krisis dan permasalahan multidimensional.

Meskipun klise, persatuan akan menumbuhkan rasa saling memiliki satu sama lain. Bukan hanya satu kelompok saja akan tetapi semua kelompok yang berada dalam wadah Negara Indonesia.

Kedua adalah empati sosial. Setelah persatuan di masyarakat itu berhasil dipupuk, maka empati sosial secara sendirinya akan muncul di masyarakat. Masyarakat akan saling membantu satu sama lain menguatkan soliditas sosial.

Krisis multidimensional yang saat ini kita hadapi sangat menbutuhkan empati sosial di seluruh elemen masyarakat. Apalagi elite yang mempunyai tanggung jawab besar sebagai pejabat publik. Para elitis harus mengedepankan kepentingan publik diatas segalanya, bukan justru bernisiatif yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.

Ali Roziqin
Ali Roziqin
Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang | Alumni Bidikmisi dan LPDP Afirmasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.