Kamis, Mei 2, 2024

Perlindungan Perempuan Iran dalam Perspektif Konstruktivisme

Siti Shafiyah Nur Ubai
Siti Shafiyah Nur Ubai
Undergraduate Political Science Student who is interested in learning social political issues.

Perspektif konstruktivisme dalam hubungan internasional meyakini signifikansi struktur ideasional dalam sistem internasional. Konstruktivis menganggap bahwa struktur internasional adalah distribusi ide dan negara bertindak mengikuti pola persebaran ide (Wendt 1995).

Realitas material tidak berarti apa‐apa tanpa kehadiran ide (pemaknaan). Ide hanya akan sebatas ‘ide’ jika tidak direpresentasikan dalam bentuk huruf atau sistem simbol lainnya atau jika tidak diwujudkan secara fisik. Sebagai implikasinya, setiap negara memiliki keunikan masing-masing dalam membentuk atau menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Keberadaan CEDAW yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB memberi makna yang berbeda bagi masing-masing negara anggota PBB. Bagi negara yang telah meratifikasinya, seperti Indonesia, CEDAW menjadi penguat payung hukum yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender.

Di pihak lain, Iran (dalam hal ini Dewan Penjaga Iran) menolak untuk meratifikasi CEDAW karena dianggap tidak sesuai dengan Islam. Dalam perspektif konstruktivisme, perbedaan respons di kedua negara tersebut terjadi karena adanya perbedaan ide tentang CEDAW dalam benak negara Indonesia dan Iran.

Ide bahwa CEDAW merupakan konvensi yang bermanfaat bagi negara tertanam di Indonesia yang kemudian berwujud menjadi tindakan saat Indonesia meratifikasinya. Sedangkan ide bahwa CEDAW mengandung nilai yang berlawanan dengan Islam tertanam di Iran yang kemudian berwujud dengan penolakan untuk meratifikasi CEDAW di Iran.

Perbedaan ide ini juga tercermin dalam penilaian konsep HAM. Setidaknya terdapat dua perspektif dalam menilai sifat HAM, yaitu universal dan partikular. Perspektif universal melihat HAM sebagai pemberian dari Tuhan dalam setiap kehidupan manusia di mana pun ia berada. HAM tidak dapat dimodifikasi.

Perspektif universal mensyaratkan nilai-nilai HAM tidak boleh terbelenggu pada suatu batas negara. Sedangkan perspektif partikular melihat penegakan HAM harus dikembalikan kepada masing-masing negara. Setiap negara memiliki pandangan yang berbeda sesuai nilai moral dan budaya yang dianut dan dimiliki. CEDAW yang digagas PBB nyatanya dianggap berlawanan dengan nilai yang dianut oleh negara Iran. Tidak diratifikasinya CEDAW oleh Iran yang notabene merupakan anggota PBB, memperlihatkan konsep HAM yang partikular.

Meskipun tidak meratifikasi CEDAW, pemerintah Iran mengklaim tetap memberikan perlindungan kepada warga negaranya, termasuk perempuan. Pada Januari 2021, Iran menyetujui RUU Perlindungan, Martabat, dan Keamanan Perempuan terhadap Kekerasan (Protection, Dignity, and Security of Women against Violence Bill) setelah sejak 2019 ditinjau oleh pengadilan.

RUU tersebut mengkriminalisasi setiap tindakan atau perilaku yang menyebabkan kerugian fisik atau mental bagi perempuan sebagai jenis kelamin yang rentan atau membahayakan persyaratan hubungan suami istri. Di bawah RUU itu, pengingkaran hak hukum dan kebebasan yang dijamin bagi perempuan dianggap sebagai tindak pidana dengan ketentuan hukum untuk menuntut keadilan dan instansi pemerintah diwajibkan untuk mengambil tindakan terhadapnya.

Pada perkembangannya, perbedaan pendapat akan aturan yang diterapkan di Iran semakin beragam, salah satunya adalah kewajiban menggunakan hijab bagi perempuan. Peraturan memberlakukan wajib hijab untuk perempuan telah berlangsung sejak April 1983, empat tahun setelah revolusi 1979.

Tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut adalah untuk menjaga harkat dan martabat umat sebagai umat Islam, tetapi dalam penerapannya di lapangan yang terjadi bukanlah ketertiban, melainkan bencana bagi sebagian orang. Terbaru adalah meninggalnya Mahsa Amini pada September 2022 silam saat berada dalam penahanan polisi moral Iran.

Kaum konservatif menganggap aturan tersebut harus tetap ditegakkan, sedangkan kubu reformis ingin keputusan untuk pemakaian hijab berada di tangan individu. Di tengah perdebatan ini, Polisi Moral Iran masih terus menahan perempuan-perempuan yang kedapatan tidak mematuhi aturan ketat soal hijab.

Ada pula pembunuhan demi kehormatan masih langgeng terjadi di Iran. Menurut Middle East Consultancy Services (MECS), pembunuhan demi kehormatan (honor killing) mendapat dukungan dari komunitas dan keluarga.

Kejahatan kehormatan kerap tidak dianggap sebagai tindakan kriminal karena kepercayaan yang dianut masyarakat. Setidaknya terdapat 8.000 kasus pembunuhan demi kehormatan dalam rentang 2010-2014 di Iran. Peristiwa pembunuhan Romina Ashrafi oleh ayahnya karena nekat kabur untuk kawin lari membuat heboh dunia internasional. Presiden Hassan Rouhani memerintahkan kabinetnya untuk menggandakan hukuman bagi pelaku pembunuhan kehormatan.

Namun, permintaan tersebut terganjal sistem pengadilan yang konservatif. Kobra Chasali, anggota Dewan Sosial dan Budaya Perempuan (lembaga sipil berpengaruh di Iran), pasal yang menginginkan perlindungan perempuan dari kekerasan domestik dianggap sebagai imitasi nilai barat yang bertentangan dengan Islam.

Beberapa contoh kebijakan perlindungan hak perempuan oleh pemerintah Iran dalam perspektif konstruktivisme memperlihatkan dengan jelas peran ide sebagai faktor penentu bagaimana aktor negara (state actor) maupun aktor non-negara (non-state actor), seperti organisasi, pembuat kebijakan, kelompok sosial, dan masyarakat umum bertindak di arena internasional.

Dalam pandangan konstruktivisme, peningkatan hubungan atau interaksi antaraktor ditandai dengan tindakan bicara yang dibuat oleh aktor-aktor ini. Tanpa interaksi, struktur tidak akan terbentuk dan ada. Terdapat berbagai interaksi antaraktor Iran dalam menentukan kebijakannya untuk melindungi hak perempuan, seperti aktifnya patroli Polisi Moral Iran di tahun 2006 setelah sejak 1979 dibentuk hingga dikajinya ulang aturan wajib Iran pada 2022 setelah sejak 1984 diatur dalam undang-undang Iran. Ide-ide yang dituangkan dalam aksi oleh kaum reformis mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang aturan yang ada.

Dalam perspektif konstruktivisme, pada dasarnya hubungan manusia (termasuk hubungan internasional) terdiri dari pemikiran dan ide yang bukan merupakan kekuatan material. Ide ini kemudian diwujudkan dalam tindakan dan pada implikasinya melahirkan respons berbeda antarnegara, misalnya perbedaan respons terhadap keberadaan CEDAW. Pendekatan konstruktivisme memperlihatkan meskipun Iran merupakan anggota PBB, ide dapat memengaruhi negara untuk menentukan tindakan di dunia internasional.

REFERENSI

Danish Immigration Service. 2018. Iran: Relations Outside of Marriage In Iran And Marriages Without The Acceptance of The Family. Islamic Republic of Iran: The Danish Immigration Service.

Wendt, Alexander. 1995. “Constructing International Politics.” International Security 20(1): 71‐81.

Siti Shafiyah Nur Ubai
Siti Shafiyah Nur Ubai
Undergraduate Political Science Student who is interested in learning social political issues.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.