“Ada kejahatan yang lebih kejam dari pada membakar buku. Salah satunya yaitu dengan tidak membacanya,” Joseph Brodsky.
Kutipan tersebut mengingatkan saya pada suatu ketika melihat ulasan yang diunggah melalui kanal Youtube Raditya Dika terkait pengalamannya saat menempuh pendidikan di University of Adelaide, Australia. Hal tersebut cukup mencuri perhatian saya. Utamanya saat membahas seputar The Barr Smith Library, perpustakaan utama Universitas Adelaide, yang terletak di pusat kampus North Terrace. Selain arsitektur bangunan yang cukup megah, perpustakaan tersebut juga memiliki banyak koleksi.
Gedungnya tidak hanya menjulang tinggi, namun juga memiliki tiga lantai di bawah tanah yang di dalamnya memuat jutaan buku dan naskah kuno. Sehingga sangat memanjakan bagi pengunjung yang datang ke perpustakaan itu. Berdasarkan laman resminya di adelaide.edu.au/library, perpustakaan ini menampung buku-buku langka dan koleksi khusus serta arsip dan pencatatan universitas. Ini juga rumah bagi koleksi besar di banyak bidang studi termasuk sejarah Australia, politik dan sastra, sastra Inggris, hingga perang dunia.
Tak hanya itu saja, terdapat beragam koleksi literatur perihal sosialisme dan fasisme, studi perempuan dan gender, sastra utopis, dan studi makanan. Koleksi spesialis termasuk Koleksi Musik, Koleksi Asia Timur, Yaitya Ngutupira dan Recreational Reading juga dimiliki oleh perpustakaan tersebut. Recreational Reading ialah upaya membaca untuk mengurangi stres dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia di sebuah perpustakaan. Melihat bahwa minat baca di luar negeri seperti Australia tinggi, bukan hal mustahil terdapat Recreational Reading.
Banyak Tahapan dalam Pengembangannya
Tidak hanya menyimpan koleksi dalam bentuk fisik saja, Hartono (2017) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perpustakaan tersebut juga sudah melakukan pengembangan digitalisasi koleksi perpustakaan yang dilakukan melalui banyak tahapan. Mulai dari scanning, editing, uploading hingga konversi keleksi dari bentuk fisik menjadi digital, agar bisa memudahkan dalam proses penyimpanan data serta menjadi jalan bagi anggota perpustakaan agar tetap bisa mengakses koleksi tanpa harus berkunjung ke perpustakaan.
Digitalisasi koleksi yang dilakukan juga melibatkan media daring sebagai penyimpanan data dengan dukungan server secara mandiri. Hal ini tentu menjadi catatan tersendiri, sebab proses digitalisasi koleksi perpustakaan tidak akan memperoleh manfaat yang berarti tanpa pelibatan teknologi. Hal ini dapat ditarik contoh dengan pemanfaatan internet guna mengkaji solusi agar proses digitalisasi menjadi angin segar bagi geliat literasi utamanya di dalam negeri.
Maka dengan begitu, tak ada alasan untuk tak dapat mengakses literasi melalui buku digital atau yang dikenal dengan e-book. Salah satu tujuan di masa depannya ialah mengembangkan library without wall yang lebih efesien. Seperti iPusnas yang kita kenal saat ini di Indonesia.
Melalui ulasan Raditya Dika tersebut, gambaran jelas tentang pengembangan perpustakaan digital atau virtual di masa depan juga bukan menjadi hal yang mustahil dikembangkan di Indonesia. Melihat kemajuan inovasi program-program perpustakaan di Indonesia yang diterapkan dari tahun ke tahun terus diupayakan oleh Perpusnas yang menjadi poros seluruh perpustakaan di Indonesia.
Digitalisasi Masa Lampau untuk Masa Depan
Upaya seluruh pemangku kebijakan di Indonesia juga perlu diapresiasi. Mengutip Republika.co.id, pada medio Februari 2020 silam, dimana ribuan dokumen bersejarah atau naskah kuno koleksi Perpustakaan Reksa Pustaka di Pura Mangkunegaran Surakarta didigitalisasi guna melindungi dan melestarikan naskah kuno dari kerusakan. Pihak pengelola melakukan digitalisasi 3.132 koleksi dokumen bersejarah dengan total 400.202 halaman milik Perpustakaan Reksa Pustaka. Dokumen yang sudah dipindai dapat diakses menggunakan aplikasi Electroninc Filling System (EFS) bernama UNlDocSys guna mempermudah pencarian datanya.
Sementara arsip-arsip yang terdapat di Pura Mangkunegaran pada umumnya masih berupa kertas yang disimpan untuk dijaga nilai keaslian serta terlindung dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan dokumen arsip tersebut. Walaupun dengan proses digitalisasi tersebut tentu menekan resiko kerusakan pada naskah itu. Meski demikian, tidak menafikkan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk proses digitalisasi.
Pun seberapa besar biaya tersebut pasti ada jalan untuk menciptakan ekosistem digitalisasi koleksi perpustakaan agar dapat menekan biaya yang ada. Sehingga, saat kelak ekosistem tersebut sudah mapan, maka biaya akan mengikuti secara signifikan.
Selain itu, pelibatan sponsor untuk melakukan pendanaan pada proses digitalisasi koleksi perpustakaan juga bisa dilakukan. Seperti Perpustakaan Reksa Pustaka di Pura Mangkunegaran Surakarta di atas yang menggandeng perusahan Epson Indonesia bekerja sama PT Unibless lndo Multi sebagai mitra kerja. Masa depan perpustakaan sebagai jantung literasi dunia di tengah gempuran digitalisasi dan teknologi terus bisa berdigdaya.
Ekosistem Perpustakaan Saat ini
Mengingat proses-proses yang dilalui cukup panjang, mulai persiapan perangkat pemindai oleh Epson Indonesia, pemilahan arsip dan implementasi alih media atau digitalisasi, implementasi aplikasi Electronic Filling System (EFS) dan mengembangkannya. Tidak hanya itu saja, nantinya hasil pemindaian tersebut masih akan diedit dan dijadikan sebuah buku elektronik dengan aplikasi Flipbook yang sudah tertera nama buku. Disana akan ada halaman di mana para pembaca akan dimudahkan dengan cukup memindahkan kursor ke kanan dan kiri jika ingin memindahkan halaman.
Pengembangan digitalisasi perpustakaan dapat menjadi lebih banyak diminati apabila mempertimbangkan beberapa hal mengenai bentuk tampilan e-library atau digital libraries yang akan disajikan dan dipublikasi. Beberapa desain tampilan juga sangat berpengaruh terhadap minat baca dan ketertarikan pengguna. Kemudahan akan penyediaan interface design dapat menjadi ujung tombak popularitas digital library di mata masyarakat umum dan strategi penyajian anti kompleks terhadap penyediaan bahan literasi sangatlah diperlukan oleh pengguna dalam mendapatkan informasi akurat sebagai suatu rujukan. Maka dari itu, perlunya perhatian akan menu tampilan sangat menentukan banyaknya pengguna yang akan memanfaatkannya.
Ke depan ketika ekosistem digitalisasi koleksi perpustakaan sudah mapan tentu yang paling urgen adalah transfer of knowledge guna memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang perpustakaan sebagai penjaga gawang literasi. Diakui atau tidak, hingga saat ini Indonesia memang masih kekurangan SDM dalam bidang kepustakaan. Utamanya yang fokus dalam digitalisasi koleksi perpustakaan, yang idealnya setiap pustakawan memiliki andil untuk selalu memikirkan pembaruan dalam ide serta gagasan untuk mendukung masa depan literasi di negeri ini. Harapannya dengan adanya upaya digitalisasi itu, dapat menumbuhkan minat baca bagi generasi Z (iGeneration).