Kamis, April 18, 2024

Perempuan Peranakan dan Harapan untuk Padang yang Lebih Inklusif

Angelique Maria Cuaca
Angelique Maria Cuaca
Angelique Maria Cuaca, tinggal di Padang. Founder Pelita Padang. Pelita Padang adalah organisasi anak muda lintas keberagaman di kota Padang yang mengkampanyekan isu perdamaian dan solidaritas antar rakyat.

Lahir menjadi perempuan peranakan Tionghoa yang hidup di Padang, Sumatera Barat, adalah takdir yang tidak bisa saya gugat. Meskipun peranakan, saya dikaruniai wajah yang cukup oriental. Bermata sipit, wajah bulat dan kulit kuning langsat. Tidak totok, tapi cukup mewakili sebagai identitas Tionghoa ketika sekilas orang melihat saya. Berbeda dengan adik perempuan saya, yang wajahnya lebih kelihatan Melayu. Saya lebih banyak mewarisi genetik ibu, sedangkan adik saya lebih ke almarhum ayah.

Ayah saya berkulit gelap bermata besar, tapi uniknya memiliki nama Tionghoa. Beliau pernah cerita bahwa dulu dia sering diejek oleh teman sebayanya “sakarek ula, sakarek baluik” (artinya dibilang ular tidak, dibilang belut tidak; keadaan yang tidak jelas).

Ayah lahir dari pernikahan silang. Ibunya perempuan Minang pengamal Tareqat Naqsanbandiyah dan ayahnya laki-laki Tionghoa beragama Katolik. Keduanya dari Pesisir Selatan. Mereka memiliki 10 anak dan masing-masingnya diberi pilihan soal keagamaan setelah berusia dewasa.

Sedangkan ibu saya lahir dari perempuan Tionghoa beragama Konghucu yang dulu tinggal di Pariaman dan ayahnya juga Tionghoa beragama Katolik yang lahir di Bayang, Pesisir Selatan. Wajah ibuku masih totok, berkulit putih kemerahan dan bermata sipit. Di keluarga ibuku, ada yang Katolik, Konghucu dan Kristen.

Lahir dari keluarga yang beragam etnis dan agama memberi pengalaman tersendiri. Sejak kecil saya sudah sangat terbiasa dengan merayakan banyak perayaan kegembiraan dari anggota keluarga saya. Ayah sering bercerita, ketika Imlek maka nenek saya yang Muslim membantu kakek saya untuk menyiapkan prosesi sembahyang. Begitu pun sebaliknya, ketika bulan puasa kakek saya yang ikut menemani sahur dan berbuka. Sekeluarga ikut berlebaran.

Sejak kecil sampai SMA, pergaulan saya terbatas. Orang tua menyekolahkan saya di sekolah milik Yayasan Katolik. Begitu pun dengan pergaulan. Lingkungan pertemanan saya hanya seputar sekolah, keluarga, dan gereja. Saya tidak diizinkan orangtua untuk bermain di luar kawasan Pecinan atau bermain di luar kegiatan sekolah ataupun gereja. Setamat SMA dan memutuskan untuk bekerja serta kuliah di luar kawasan Pecinan, di sana saya mulai merasakan adanya penolakan serta stigma tertentu atas identitas yang saya miliki.

Saya pernah diancam akan diperkosa saat cekcok dengan pengguna jalan raya yang menyerempet motor saya. Saya masih ingat kata-katanya, ”Dasar cino ang, macam-macam ang beko den perkosa ang. Ang pandatang, bakiroklah dari siko” artinya: “Dasar Cina, kalau kamu macam-macam nanti saya perkosa kamu. Kamu cuma pendatang, silahkan pergi dari sini.” Peristiwa ini mengingatkan saya pada masa-masa mencekam di tahun 1998, saat toko-toko dan bangunan milik etnis Tionghoa dilempari dan dibakar serta di Jawa para perempuan etnis Tionghoa ada yang diperkosa.

Beberapa kenalan di kampus pernah mengajak saya untuk menjadi mualaf karena menurut mereka, kebiasaan orang Tionghoa yang menyembah patung dan makan babi itu haram sehingga harus segera insyaf. Mereka juga memperdebatkan identitas keagamaan saya sambil melirik tajam ke arah kalung salib yang saya pakai. Situasi itu sangat membuat saya tidak nyaman. Keesokan harinya saya, tidak lagi memakai kalung itu ke kampus.

Kenapa saya dipandang dan diperlakukan seperti itu?

Saya berusaha mencari jawabannya, membaca beberapa buku dan mengikuti diskusi-diskusi terkait Tionghoa. Lalu menghubungkannya dengan penggalan ingatan yang saya punya. Salah satu bacaan yang mengubah pandangan saya adalah Buku “Asap Hio di Ranah Minang”, tulisan Erniwati.

Erniwati menjelaskan penyebab utama lahirnya diskriminasi antar etnis karena politik identitas yang dibuat oleh kolonial Belanda. Saat itu, Belanda membuat perkampungan berdasarkan etnis minoritas untuk membatasi ruang sosial antar etnis termasuk Tionghoa. Di lain sisi, Belanda mengangkat pemungut pajak dari kelompok Tionghoa untuk menagih upeti ke rakyat. Tidak hanya itu, jika masyarakat setempat ingin menjual hasil bumi ke Belanda haruslah melalui perantaraan pedagang dan pialang Tionghoa.

Beberapa buku terbitan Yayasan Obor dan Komunitas Bambu juga menyadarkan saya bahwa praktik serupa juga terjadi pada banyak daerah di Indonesia. Praktik kebijakan tersebut menimbulkan sentimen terhadap etnis Tionghoa yang bermuara pada konflik antar kelompok etnis. Konflik tersebut dirawat oleh Belanda agar rakyat gagal melihat akar masalah dari penjajahan. Bahwa apapun etnisnya, jika ia seorang pekerja berpenghasilan rendah apalagi jika tidak memiliki tanah dan akses atas hidup layak maka akan sama-sama menderita di bawah penjajahan Belanda.

Saya mencoba menyisir periodeisasinya hingga ke masa setelah reformasi. Saya menemukan bahwa segelintir elit politik sengaja merawat stigma dan prasangka antar etnis untuk kepentingan politik jahatnya. Mulai dari peristiwa pembunuhan massal di tahun 1965, kebijakan budaya rasial ala Orde Baru, kerusuhan dan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa 1998, perhelatan pemilu elektoral di mana para politisi memakai isu anti-Tionghoa untuk mendulang suara, bahkan isu sosial ekonomi dikaitkan dengan kebencian terhadap Tionghoa. Mereka tidak pernah peduli dengan banyaknya korban yang berjatuhan akibat praktik tersebut.

Ratusan tahun lamanya politik macam ini terus digunakan dan menyebabkan segregasi di tengah kelompok masyarakat. Masyarakat terjebak dalam jurang stigma yang melebar dari hari ke hari. Stigma tersebut melahirkan steriotipe dan menjadi tembok besar yang membatasi antar etnis untuk saling berjumpa mengenal satu dengan lainnya. Ingatan traumatik kolektif yang diwariskan antar generasi juga membuat prasangka dan kecurigaan semakin kuat. Kondisi ini diperburuk karena minimnya ruang perjumpaan antar etnis dan tata kelola keberagaman yang hari ini tak ubah seperti masa kolonial.

Di tengah kondisi seperti itu, bagaimanapun, harapan selalu ada. Beberapa komunitas anak-anak muda serta organisasi yang bergerak untuk mempromosikan keberagaman dan berusaha agar segrerasi antar kelompok itu dapat mencair, terus bermunculan termasuk di Sumatera Barat. Beberapa organisasi membuat ruang perjumpaan di antara kelompok yang berbeda melalui kegiatan kunjungan tempat ibadah maupun lintas iman lainnya.

Lalu ada juga ruang perjumpaan antar etnis berbentuk festival budaya seperti Padang Multikultural yang digagas oleh budayawan Edy Utama. Pada tahun 2020 kemarin, beliau dianugrahi oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai icon prestasi Pancasila untuk bidang kebudayaan. Lewat festival yang diadakan di kawasan Pondok (Kampung Cina Padang) itu, ia mencoba menjadikan kawasan pondok sebagai panggung multikultural untuk pembauran antar etnis. Di mana beragam etnis yang ada di Padang (dan Sumbar) berkolaborasi dalam satu festival budaya.

Banyak lagi contoh yang bisa disebut. Yang jelas, perjumpaan-perjumpaan tersebut bisa mengikis prasangka dan menjadi ruang untuk mengenal satu dengan yang lainnya. Semoga upaya-upaya tersebut bisa menciptakan ruang perjumpaan yang alamiah dan mendorong lahirnya Padang yang lebih inklusif.

Angelique Maria Cuaca
Angelique Maria Cuaca
Angelique Maria Cuaca, tinggal di Padang. Founder Pelita Padang. Pelita Padang adalah organisasi anak muda lintas keberagaman di kota Padang yang mengkampanyekan isu perdamaian dan solidaritas antar rakyat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.