Sabtu, April 20, 2024

Perempuan: Eksploitasi dan Komoditas Media

Rio Tirtayasa
Rio Tirtayasa
Mahasiswa yang sering mendapatkan inspirasi dari lamunan. Bersekolah di Universitas Pendidikan Indonesia.

Akhir-akhir ini Indonesia heboh dengan kasus prostitusi online yang menimpa artis perempuan yang berinisial VA. Dia disebut-sebut menjual diri dengan harga yang sangat fantastis, 80 juta rupiah. Sialnya, VA tertangkap tangan langsung saat sedang bertransaksi di hotel di kawasan kota Surabaya pada 5 Januari lalu. Kasus VA menjadi viral. Bahkan, selama dua hari di Twitter menjadi tranding topic.

Seperti biasa, media di Indonesia sangat responsif terhadap suatu masalah yang sedang viral. Entah itu inisiatif dari wartawan untuk memberitakan kasus tersebut. Atau pun bagian redaksi yang menginginkan kasus tersebut terus diberitakan agar pembaca datang untuk membaca tulisannya.

Permasalahan lain muncul akibat maraknya pemberitaan yang dilakukan oleh media, terutama media online. VA semakin ditelanjangi oleh media di seluruh Indonesia. Lucunya lagi, banyak media yang memberitakan seperti celana dalam VA yang berwarna ungu disita oleh polisi. Sebuah berita yang sangat miskin akan nilai berita.

Seorang sosiolog Thamrin Amal Tomagola mengatakan bahwa perempuan digambarkan sebagai pinggan, peraduan, dan pigura. Mari saya bedah ketiga arti maksud tersebut. Pertama, kata pinggan artinya adalah suatu piring makan. Namun dalam konteks ini, apa yang dimaksudkan pinggan adalah perempuan yang sama halnya seperti pelayan yang membawa piring untuk para tamu dan melayaninya.

Kedua, peraduan sendiri artinya adalah sebuah tempat beristirahat atau tempat tidur. Namun konteks yang dimaksud dari kata peraduan tidak hanya sampai sana. Peraduan yang dimaksudkan adalah perempuan sebagai objek dalam orientasi seksualitas atau sebagai alat pemuas laki-laki.

Ketiga, pigura bukan hanya sebuah gambar atau lukisan dalam sebuah ruangan untuk hiasan. Perempuan sebagai pigura maksudnya adalah perempuan hanya dijadikan hiasan dalam rumah tangga. Kecantikan perempuan hanya jadi hiasan atau alat memuaskan mata laki-laki.

Tidak berbeda jauh dengan istilah “Dapur, Sumur, dan Kasur” yang sering kali didengar untuk ibu-ibu rumah tangga di bawah kuasa patriarki suaminya. Hal ini yang menjadikan perempuan sangat mudah untuk dijadikan komoditas. Namun pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu memiliki hak yang sama sebagaimana manusia. Perempuan bukan alat pemuasan dari laki-laki di dunia ini.

Perempuan Dijadikan Komoditas

VA kini dijadikan tersangka oleh kepolisian dengan alasan dia aktif dalam mendistribusikan foto vulgarnya ke beberapa orang. Dia terkena Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat (1). Alasannya adalah dia mendistribusikan foto vulgar ke banyak orang. Namun, pasal ini terlalu mudah untuk dipatahkan. Sebab tidak adanya jumlah konkret dari berapa banyak jumlah orang yang mendapatkan distribusi tersebut.

Bukannya hanya VA, seorang mahasiswi Universitas Indonesia berinisial HA juga pernah menjadi buah bibir tentang skandal video porno. Video yang dia buat dengan pasangannya tersebar di internet. Wartawan media online langsung memberitakan HA ini dengan cepat dan luas. Bukan hanya itu, identitas asli dan segala privasi tentang kehidupan pribadi HA diberitakan.

Dalam hal ini, VA dan HA adalah korban dalam sebuah kepentingan media hari ini. Mengapa demikian? Pasar berita online hari ini sangat terpengaruh oleh jumlah klik pembacanya. Penghasilan dari setiap iklan atau sponsor yang mengalir kepada perusahaan media. Alhasil media hari ini seperti hanya terpaku pada jumlah pembacanya agar sponsor datang menghampiri.

Ahmad Junaidi dalam tulisan Meliput Isu-isu Perempuan dan LGBT di buku Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Peliputan menjelaskan bahwa eksploitasi tubuh perempuan tidak hanya ditunjukan dalam gambar atau foto vulgar saja. Akan tetapi, eksploitasi perempuan bisa melalui judul dan atau isi sebuah berita. Dalam artian, media hari ini menjadikan perempuan sebagai bahan komoditas berita untuk menarik pembaca.

Bisa dikatakan hari ini media berperan aktif dalam mengeksploitasi perempuan-perempuan. Menjual perempuan dalam pemberitaan demi keuntungan medianya masing-masing. Komoditas pemberitaan terletak pada nilai jual yang bernama perempuan.

Pada akhirnya media membantu masyarakat dalam beropini tentang kasus-kasus yang sedang terjadi di Indonesia, salah satunya kasus VA. Bagaimana masyarakat menganggap VA adalah sebagai negatif yang tak patut dicontoh dan pantas dihina atau sebaliknya. Namun pada akhirnya jika media memberitakan sebuah berita yang akan berdampak pada eksploitasi perempuan, itu sama saja media tersebut menelanjangi harga diri dari seorang perempuan.

Media yang baik seharusnya memberitakan hal yang penting dan bukan dengan terus-menerus memberitakan perempuan. Sebab itu adalah salah satu persekusi terhadap seorang perempuan dalam hal pemberitaan. Media seharusnya tidak hanya mencari jumlah pembaca yang banyak untuk iklan datang, tapi media juga mengimbangi dengan berita yang kaya akan nilai berita agar masyarakat mendapatkan edukasi.

Tugas media salah satunya adalah edukasi, bukan malah menggiring opini negatif. Biarkan masyarakat yang menilai baik-buruknya dari seorang yang sedang diberitakan. Jikalau media memberitakan sesuatu hingga mengungkit-ungkit privasi dari pribadi yang media liput itu merupakan sebuah kebodohan. Sebab tak ada unsur edukasi kepada masyarakat dalam pemberitaan tersebut nanti.

Rio Tirtayasa
Rio Tirtayasa
Mahasiswa yang sering mendapatkan inspirasi dari lamunan. Bersekolah di Universitas Pendidikan Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.