Kamis, April 25, 2024

Perempuan dan Politik: Pentingkah Perempuan di Parlemen?

Satria Oktahade
Satria Oktahade
Alumnus Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas, Mahasiswa Magister Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia(GMNI)

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia telah menetapkan Daftar Caleg Tetap (DCT) DPR, pada tanggal 20 september 2018. Tercatat sebanyak 7968 calon dalam keputusan KPU RI 1129/PL.01.4-Kpt/06/IX/2018 tentang Draft Calon Tetap Anggota DPR RI Pemilu Tahun 2019. Dalam keputusan tersebut terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3194 caleg perempuan. lebih banyak di bandingkan pada pemilu tahun 2014, yang mana terdaftar sebanyak 6.619 caleg, terdiri dari 2.467 perempuan dan 4.152 caleg laki-laki.

Hal yang menjadi perhatian penulis disini yaitu tentang partisipasi perempuan dalam memperebutkan kursi di parlemen. Jika dilihat dari angka di atas terjadi peningkatan terhadap partisipasi caleg perempuan.

Mulai tingginya angka keterlibatan perempuan ini tidak lepas dari keluarnya kebijakan tentang Affiermative action pada pemilu 2004, namun pada hasil akhirnya masih sedikit caleg perempuan yang berhasil untuk duduk di parlemen, hal ini disebabkan adanya sitem proposional tertutup, dimana penentuan keterpilihan berdasarkan nomor urut dari partai, tidak berdasarkan jumlah suara yang diterima.

Pada umumnya caleg permpuan di tempatkan pada no urut paling bawah. Kemudian terjadi perubahan pada pemilu 2009, dimana diberlakukannya system zipper, Sistem ini mengharuskan parpol untuk menyertakan sekurangkurangnya satu caleg perempuan di antara tiga calon dalam posisi yang berurutan nomor urut, hal ini untuk membuat kemungkinan caleg perempuan untuk terpilih lebih besar.

Tetapi pada masa ini masih ada parpol yang tidak melaksanakan peraturan untuk mencalonkan minimal 30% caleg perempuan, sehingga pada pemilu 2014 peraturan ini diperkuat melalui UU No 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum dan PKPU No 7 tahun 2013, yang mewajibkan setiap parpol untuk mengusung caleg perempuan sebesar 30% dari total semua caleg yang di daftarkan.

Pada kenyataannya ternyata caleg perempuan yang lolos ke DPR RI dari tahun 2004, 2009, dan 2014 masih jauh dari harapan. Bahkan persentasenya tidak pernah lebih dari 20% dari kursi yang ada di DPR. Tidak hanya di pusat, begitupun di daerah se Indonesia, pada periode 2014-2019 di DPRD Provinsi baru 16,43%, sedangkan di DPRD Kabupaten/Kota sebesar 14%. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar, apa sebab masih minimnya keterpilihan caleg perempuan?

Mungkin salah satunya disebabkan oleh masih besarnya pengaruh budaya patriarki yang menyebabkan sulitnya perempuan untuk berbicara banyak pada kancah perpolitikan di negeri ini. Jika kita merujuk pada Sumatera Barat yang sebagian besar bersuku Minangkabau, dimana masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal dalam sitem kehidupan sosial maupun politiknya.

Pada masyarakat Minangkabau terdapat institusi yang dinamakan Bundo kanduang yang memiliki filosofi ibu sejati yang mempunyai sifat keibuan dan kepemimpinan. Namun demikian, tenyata dari 14 orang total keseluruhan anggota DPR RI periode 20014-2019 yang berasal dapil Sumatra Barat I dan II, hanya 1 orang anggota DPR RI perempuan yang berhasil menembus kursi di Senayan. Tentu ini menjadi antitesis dari tesis dari penyataan awal sebelumnya.

Lalu apakah hal tersebut di karenakan faktor masih kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan kaum perempuan dalam berpolitik? Bisa jadi mungkin. Kurangnya tingkat kepercayaan ini menurut penulis juga berasal dari kaum perempuan langsung. Bisa dikatakan Feminisme yang selama ini diperjuangkan tidak mendapatkan dukungan dari kaum perempuan itu sendiri.

Jika ternyata benar demikian, seharusnya kaum perempuan sadar, jika kebebasan dalam memenuhi hak-hak yang bisa mereka dapatkan sekarang itu tidak lepas dari perjuangan gerakan feminisme di Eropa pada abad 16M-18M dan menyebar ke Amerika, dan berkembang pesat pada tahun 1869 (publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women) yang menjadi kelahiran feminisme gelombang pertama.

Seharusnya perempuan ikut berpolitik!

Terlepas dari hal itu, sudah seharusnya saat ini perempuan memberikan kepercayaannya lebih kepada para caleg perempuan untuk bisa berbicara banyak di senayan. Jika dilihat sampai saat ini, masih banyak implementasi Undang-undang terkait hak-hak perempuan yang belum berjalan dengan semestinya bahkan masih ada UU yang justru bersifat diskriminatif bagi perempuan.

Sebut saja yang paling banyak kita temukan, yaitu soal izin libur yang harus diberikan oleh perusahaan kepada para pekerja perempuan ketika hari pertama haid, yang tercantum pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Selain itu UU perkawinan terkait umur minimal menikah terhadap anak perempuan yang terbilang masih sangat kecil yakni 16 tahun. Tentu ini akan berdampak banyak pada masa depan si perempuan tersebut. Begitupun dengan peraturan lainnya seperti UU Kekerasan Seksual, UU Perlindungan PRT, dan UU Kesejahteraan Sosial.

Sudah saatnya perempuan untuk lebih mengupayakan dan memperjuangkan kepentingannya di parlemen, saat ini seluruh partai politik telah mencalonkan lebih dari 30% perempuan untuk menjadi anggota legislatif. Partai yang paling banyak mencalonkan wakil perempuannya untuk kursi DPR RI yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dengan jumlah caleg perempuan sebanyak 274 dari total 574 keseluruhan caleg.

Partai yang memiliki image sebagai partainya anak muda ini ini memang sejak awal berdiri yang menjadi salah satu perjuangannya yaitu mengupayakan hak-hak kaum perempuan yang belum terpenuhi. Semoga ini menjadi pintu bagi perempuan untuk berbicara banyak nantinya di parlemen. diharapkan dengan semakin banyaknya perempuan yang duduk di parlemen, nantinya bisa membuat hal apapun yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan bisa terhapuskan.

Pada akhir tulisan ini penulis teringat pada tulisan Bung Karno di bukunya yang berjudul Sarinah: “jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan social dan kesejahteraan-sosial.”

Satria Oktahade
Satria Oktahade
Alumnus Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas, Mahasiswa Magister Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia(GMNI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.