Perempuan hari ini hidup di zaman yang menjanjikan kesempatan luas, tetapi tetap dibayangi oleh standar sosial yang ada di masyarakat. Ketika mereka ingin belajar lebih jauh atau membangun karir yang lebih tinggi, reaksi yang datang seringkali bukan dalam bentuk dukungan, tetapi kecemasan sosial – takut perempuan menjadi “terlalu kuat,” “terlalu berpendidikan,” atau “terlalu mandiri.” Hal ini nunjukkin bahwa konstruksi sosial masih mengakar di masyarakat yang menempatkan perempuan pada ruang sempit, ruang yang menentukan seberapa besar mereka boleh bermimpi dan sejauh mana mereka boleh melangkah.
Peran Gender yang Masih Dibatasi Norma Usang
Kecemasan sosial tersebut berakar dari pemahaman lama mengenai peran gender yang menempatkan perempuan untuk mengurus hal domestik dan laki-laki untuk tampil di publik. Alhasil, setiap perempuan yang berusaha keluar dari batas peran ini dianggap “menyalahi kodrat.” Mereka yang ingin mengejar pendidikan tinggi sering dibuat untuk berpikir ulang, dengan alasan bahwa gelar tidak akan berguna “setelah menikah.” Mereka yang berusaha keras dalam mewujudkan karier impiannya seringkali dianggap mengabaikan kewajibannya di rumah. Mahasiswi yang sekedar aktif berorganisasi atau mengambil banyak kegiatan tambahan bisa dicap terllau banyak kegiatan atau terlau ambisius.
Tekanan sosial ini sering kali muncul melalui komentar-komentar halus yang terdengar seperti nasihat. Orang-orang dekat bilang “Jangan terlalu capek, nanti kamu susah dapet jodoh,” atau “Perempuan itu jangan terlalu mengejar karier, nanti laki-laki minder.” Batasan yang membuat perempuan merasa harus meminta izin untuk bermimpi, yang membuat mereka bertanya-tanya apakah usaha mereka itu layak diperjuangkan, atau justru mengganggu tatanan yang sedang berjalan.
Dalam banyak kasus, perempuan yang berani berjalan melampaui batas norma sosial dianggap “melawan” standar sosial yang ada di masyarakat. Ada pemimpin perempuan yang dikriitk karena mengambil posisi laki-laki sebagai pemimpin, seolah-olah ambisinya mengganggu keseimbangan peran gender di lingkungannya. Ada mahasiswi yang memilih terlibat di organisasi, namun dicemooh karena dianggap terlalu sibuk untuk hal yang “tidak penting bagi perempuan.” Semua cerita ini berbeda, tetapi memiliki permasalahan yang sama: perempuan yang berkembang dipandang sebagai kesalahan terhadap tatanan sosial yang sudah dikonstruksi dan mengakar kuat di masyarakat
Pada realitanya, ambisi bukan sifat negatif, dan ia tidak mengancam keseimbangan sosial. Ambisi justru menunjukkan keinginan untuk tumbuh, belajar, dan berkontrubusi. Lingkungan yang sehat seharusnya membantu setiap orang, termasuk perempuan, agar dapat memaksimalkan kesempatan yang ada. Dukungan keluarga, masyarakat, serta komunitas sangat menentukan apakah perempuan akan berkembang atau dipaksa kembali mengecilkan diri karena tekanan sosial.
Perempuan seharusnya tidak perlu izin sosial untuk bisa memaksimalkan kesempatan yang ada. Yang mereka butuhkan adalah ruang aman untuk bertumbuh tanpa dihakimi, kesempatan untuk belajar tanpa dibatasi, dan dukungan tanpa syarat. Perubahan tidak akan datang jika masyarakat terus memlihara ketakutan bahwa perempuan yang berkembang akan menganggu tatanan. Justru keberanian perempuan untuk melampaui batas itulah, tatanan sosial yang lebih inklusif bisa terbentuk.
