Jumat, April 26, 2024

Perempuan dan Kebebasan dalam Legenda Jaka Tarub

Andre
Andre
PMKRI Cab. Bandung St. Thomas Aquinas dan Alumni Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, andre.karvalho@yahoo.co.id

Perbedaan gender tidak mudah diterima dengan baik di masa lalu maupun di masa kini. Dalam masyarakat yang mengenal sistem patriakal, status perempuan dianggap lebih rendah daripada seorang laki-laki.

Raden Ajeng Kartini, tokoh feminisme Indonesia, mengalami hal yang serupa di masanya. Ia dipaksa pulang dari studinya di Belanda untuk dinikahkah dengan bupati Rembang. Identitas sebagai wanita seakan-akan ditertibkan. Menjadi sorang wanita (Jawa) berarti siap untuk dinikahkan kapan saja. Simbol ancaman yang membelenggu kebebasannya.

Cukup banyak perempuan Indonesia terjebak dalam pernikahan (dijodohkan) dan justru bertentangan dengan keinginan mereka seperti yang dialami Kartini. Melalui bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini berujar, “Di dunia Jawa, cinta merupakan khayalan.

Bagaimana seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat saling mencintai kalau pertemuan pertamanya terjadi saat terikat oleh pernikahan?” Beban pekerjaan rumah tangga pun harus diemban oleh mereka dan wajib diterima tanpa protes. Kartini mengamati penderitaan perempuan Jawa yang harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu, serta adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya izin berpoligomi hanya untuk laki-laki dan perihal Kitab Suci yang harus dibaca dan dihafal tanpa perlu dipahami. Di sisi lain laki- laki Jawa digambarkan sebagai manusia sempurna jika ia memiliki wisma (rumah), wanita (perempuan), turangga, kukila (burung/piaraan), curiga (keris simbol kesaktian/kekuasaan).

Dengan kata lain, seperti dikatakan dalam buku “Kuasa Wanita Jawa” perempuan Jawa digambarkan sebagai warga masyarakat kelas dua atau bahkan disejajarkan dengan benda yang perlu dimiliki laki-laki.

Masalah penindasan sekaligus pembebasan perempuan Jawa terekam dalam cerita rakyat, “Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari”. Cerita rakyat ini, berkembang di tanah Jawa terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, diabadikan dalam naskah populer sastra Jawa baru, Babad Tanah Jawi.

Di Madura Jaka Tarub dikenal sebagai Aryo Menak (Robi Wibowo, Nalar Jawa Nalar Jepang, 30)Keberadaan bidadari di cerita Jaka Tarub memuat isu-isu menarik dan kompleks mengenai hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriakal Jawa. Sebagian besar bidadari adalah sosok perempuan yang memiliki kesaktian, digambarkan memiliki pesona kecantikan yang memikat sehingga kaum laki-laki tergoda untuk memilikinya sebagai seorang istri.

Gerakan Feminisme

Istilah “feminisme” berasal dari kata Latin, femina, yang artinya wanita. Gerakan wanita bermaksud mengkritik sruktur patriakhat yang berada dalam masyarakt dan berusaha untuk mengadakan struktur masyarakat yang lebih adil (Bell Hooks, Feminism is for Everybody: Passionate Politics, 1).

Dalam masyarakat patriakhat, laki-laki berkuasa atas semua anggota masyarakat, mempertahankan kuasa itu sebagai miliknya bahkan menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki. Interpretasi biblis dan cerita rakyat populer bagi kaum feminis adalah bagian dari upaya pembebasan yang mengkombinasikan iman dan kultur setempat.

Teolog feminis memakai hermeutik “kecurigaan” dalam menafsir  Kitab Suci dan rakyat. Dicurigai bahwa Kitab Suci dan cerita rakyat dibangun atas pola pikir patriakal sehingga mengukuhkan kekuasaan laki-laki.

Peristiwa “kejatuhan manusia” menurut kaum feminisme adalah peristiwa terjebaknya perempuan dalam dominasi laki-laki (patriakal). Peristiwa kejatuhan dalam cerita rakyat, “Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari” adalah peristiwa ketidakberdayaan Nawang Wulan yang pakaiannya dicuri. Momen Nawang Wulan yang telanjang merupakan gambaran rentannya perempuan sehingga Jaka Tarub (sebagai simbol laki-laki) dapat mengendalikannya.

Jaka Tarub yang ingin memiliki Nawang Wulan dengan mencuri pakaiannya merupakan representasi dari upaya kaum laki-laki untuk menekan perempuan. Perempuan yang telanjang adalah perempuan yang tidak berdaya. Dalam cerita, Nawang Wulan tidak mempunyai pilihan lain selain menerima ajakan Jaka Tarub. Nawang Wulan sebagai seorang bidadari yang terjebak dalam situasi yang mengharuskan mencari cara untuk bertahan hidup.

Tawaran tinggal bersama (baca: menikah) dipandang sebagai suatu cara bertahan hidup di dalam dunia yang asing bagi seorang biadadari. Hilangnya pakaian khayangan (versi lain, selendang) menandakan hilangnya identitas sebagai bidadari. Pakaian yang diberikan menandai identitas yang baru, sebagai makhluk duniawi, yakni seorang istri dan ibu (memiliki anak yang bernama Nawang Asih).

Lazimnya, dongeng yang berbicara menyinggung pernikahan digambarkan sebagai puncak kebahagiaan perempuan. Namun, pernikahan dalam cerita ini merupakan suatu kondisi keterpaksaan yang mengekang kebebasan perempuan. Bahwa Nawang Wulan mau menikah dengan Jaka Tarub atas dasar cinta dapat diragukan dan dicurigai.

Nawang Wulan mewakili perempuan yang dituntut memiliki “mukjizat”, memasak nasi dari sebutir padi. Pun perempuan pada umumnya dituntut bekerja “secara ajaib”, dalam urusan rumah tangga. Membuka tanakan nasi mewakili kecemasan maskulin terhadap kekuatan feminim yang potensial. Mantra bidadari dianggap sebagai ancaman potensial bagi otoritas maskulin.

Pemutusan mantra (membuka tanakan nasi) oleh Jaka Tarub menandakan penegasan kekuatan patriakal dan makin kuatnya kontrol laki-laki atas perempuan. Nawang Wulan, yang dilanggar janjinya, mewakili perempuan yang menderita fisik dan emosional.  Pelanggaran janji juga menggambarkan ketidak pedulian laki-laki terhadap perempuan.

Ketidakpedulian ini membuka mata kaum perempuan yang dilukiskan dengan penemuan Nawang Wulan atas pakaiannya di lumbung padi. Peristiwa diinterpertasi sebagai momen kesadaran perempuan tentang dirinya dan hak-haknya sekaligus motivasi untuk bebas dari belenggu dominasi Patriaki. “Menemukan pakaian” berarti “menemukan kembali dirinya yang sejati”.

Analisis Pesan Pembebasan

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1055Gereja Katolik menjelasakan, “seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutan seumur hidup dengan mengikat diri dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian ini mengandaikan adanya cinta di antara mereka.”

Perkawinan Nawang Wulan dan Jaka Tarub dalam cerita rakyat ini diragukan atas dasar cinta melainkan keterpaksaan. Nawang Wulan dan kekuatannya dilihat sebagi simbol kehidupan: kesuburan dan kemakmuran. Hal ini ditandakan dengan mukjizat yang dapat ia lakukan. Ketidakpedulian manusia (ketidakpedulian Jaka Tarub) menjadi akar penderitaan perempuan dan alam.

Pelanggaran perjanjian yang dilakukan Jaka Tarub dapat direfleksikan sebagai hukuman yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan seperti dinarasikan dalam Kitab Kejadian 3:16-19 tentang “kejatuhan manusia” (Adam dan Hawa) dalam dosa karena melanggar Janji terhadap Allah (Yahwe) yang membuat manusia menderita secara jasmani dan rohani sehingga harus bekerja keras membanting tulang mengolah tanah untuk bertahan hidup.

Melalui Nawang Wulan, perempuan diajak menemukan kesadaran untuk bebas. Salah satunya, kebebasan menikah tanpa paksaan, yang masih ada dalam tradisi masyarakat Indonesia. Zaman gini kok, masih dijodohin?

Andre
Andre
PMKRI Cab. Bandung St. Thomas Aquinas dan Alumni Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, andre.karvalho@yahoo.co.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.