Kamis, April 25, 2024

Perempuan dan Darah Perawan dalam Masyarakat Patriarki

Rizki H. Valentine
Rizki H. Valentine
Dosen, peneliti, dan penikmat lelucon kehidupan

Adilkah menentukan tingginya harga diri seorang perempuan hanya sekedar berdasarkan pada ada tidaknya bercak darah di persenggamaan pertama?

Hymen atau selaput dara, agaknya masih dihargai terlalu tinggi oleh masyarakat patriarki sampai-sampai laki-laki menuntut hadirnya darah keperawanan saat penetrasi dalam hubungan seks. Mirip dengan segel, selaput dara dan darah di malam pertama cenderung dianggap sebagai bukti kesucian, bahwa seorang perempuan belum pernah terjamah.

Agama abrahamik memang menjadikan keperawanan sebagai sesuatu yang diagungkan hingga ada agama yang menjanjikan bidadari yang tidak hanya cantik, tapi juga perawan sebagai hadiah di surga. Sayangnya, masyarakat patriarki yang religius terlalu mengglorifikasi keperawanan ini sebagai tolak ukur akhlak, harga diri, dan nilai perempuan. Keperawanan pada akhirnya hanya berakhir sebagai konstruksi sosial, bukan hakikat dari kesucian itu sendiri.

Beban Moral Perempuan dan Keperawanan

Terminologi ‘barang bekas/sisa’ yang kerap digunakan masyarakat untuk menyebut perempuan tidak perawan maupun janda menjadi sebuah nestapa yang dianggap lumrah. Sementara itu, ini tidak berlaku bagi laki-laki.

Dari sini, perempuan menanggung beban dan tanggung jawab moral dengan adanya konsepsi keperawanan dan darah lambang keperawanan dalam hidup mereka. Segala macam mitos mengenai keperawanan masih dipercaya oleh segolongan masyarakat awam hingga tanpa sadar perempuan mengukur nilai diri mereka sendiri berdasarkan ketentuan masyarakat patriarki.

Ketiadaan bercak darah perawan, entah karena jenis selaput dara perempuan yang berbeda, karena kecelakaan, atau karena kejahatan kaum adam, memiliki andil yang cukup besar dalam kasus depresi, trauma, bahkan tindak bunuh diri.

Pada pertengahan tahun 2016, kecamatan Namorambe, Deliserdang digegerkan oleh seorang gadis SMP yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum racun hama padi pasca diperkosa tetangganya. Sementara itu pertengahan tahun 2020, seorang gadis di Bangkalan, Madura juga memutuskan untuk bunuh diri setelah diperkosa delapan pemuda saat pergi berbelanja.

Banyak kasus bunuh diri akibat trauma dan frustrasi karena kehilangan keperawanan. Pada kasus pemerkosaan, kebanyakan korban tidak langsung melapor polisi atau mengadu pada orang lain yang sekiranya memiliki ‘power’ untuk membelanya.

Ini tak lain karena kehilangan keperawanan adalah aib memalukan ditambah lagi beberapa orang menanggap perempuan yang tidak perawan adalah sosok yang menjijikkan atau penuh dosa bagi kaum religius. Belum lagi, masyarakat patriarki memiliki budaya ‘victim blaming’ alih-alih menuntut keadilan dan memberi dukungan moral untuknya.

Sungguh dilematis: mengadu malah diejek, tapi menelan luka sendirian itu lebih menyakitkan yang berujung pada frustrasi.

Tidak hanya karena tragedi pemerkosaan atau persenggamaan suka sama suka, perempuan bisa saja tidak mengeluarkan darah pada organ intim walaupun dia masih perawan. Minimnya pengetahuan mengenai kondisi biologis dan organ seksualitas perempuan membuat beberapa perempuan menanggung pahitnya konstruksi sosial yang berlaku sekian abad lamanya.

Seorang perempuan di Malaysia ditalak oleh suaminya hanya karena ketiadaan bercak darah di sekitar organ seksualnya setelah melakukan hubungan seks di malam pertama. Perceraian karena alasan yang sama juga terjadi di Indonesia pada 2013: darah perawan.

Nampaknya, masih banyak laki-laki yang terobsesi dengan darah keperawanan seolah-olah mereka ingin menjadi pihak yang pertama kali membuka segel sebuah ‘barang baru’.

Ternyata kebodohan belum berakhir di tengah masyarakat patriarki.

Nilai Perempuan Tidak Setipis dan Serapuh Selaput Dara

Selaput dara atau hymen, sejatinya hanya sekedar jaringan serabut pada vagina perempuan. Lapisan yang sangat tipis dan merentang di bagian bawah vagina ini memiliki bentuk layaknya bulan sabit atau donat kecil dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengeluarkan darah ketika menstruasi.

Secara medis, belum ditemukan fungsi vital dari selaput dara itu sendiri sementara masyarakat sudah menjadikannya lambang kesucian perempuan. Padahal, keperawanan tidak bisa didefinisikan dengan kehadiran selaput dara karena selaput dara sebagian perempuan bisa saja koyak karena aktifitas tertentu dan selaput dara perempuan lain bisa tetap utuh walaupun pernah terjadi penetrasi penis ke vagina.

Aneh?

Tidak juga.

Jenis selaput dara antar perempuan bisa berbeda. Beberapa perempuan tidak mengalami pendarahan pada hubungan seks pertama karena selaput dara yang elastis. Sehingga penetrasi penis tidak merusak selaput daranya. Tapi, ada perempuan yang telah mengalami kerusakan selaput dara pada saat terbentur, senam, berkuda, bersepeda atau berolahraga lain karena selaput daranya tipis dan sangat rapuh. Bahkan kalangan peneliti menemukan para perempuan yang terlahir tanpa selaput dara.

Rasanya terlalu lugu jika seks hanya dikaitkan dengan darah keperawanan dan selaput dara saja, karena aktifitas seksual tidak terbatas pada penetrasi pada vagina, tapi juga anal dan oral. Pantaskah kaum patriarki religius memandang sebelah mata pada perempuan malang korban perkosaan dan lebih menghargai perempuan lajang pelaku seks oral atau anal dengan pasangan ilegal?

Darah perawan yang dijadikan penentu ‘barang baru’ atau ‘barang bekas’ sejatinya hanya bentuk objektifikasi masyarakat patriarki terhadap perempuan yang jelas salah kaprah. Sementara itu, eksistensi selaput dara hanya akan menguntungkan orang-orang berduit yang mampu merogoh kocek agak dalam demi hymenoplasty, operasi pengembalian keperawanan.

Kenyataan ini nampaknya sudah bisa dijadikan bukti bahwa kaitan darah perawan dengan konsep keperawanan bukanlah gagasan yang objektif.

Noda Perjaka

Belum pernah ada tes atau eksperimen tertentu untuk mengkonfirmasi keperjakaan seorang lelaki. Laki-laki tidak mengalami pertambahan atau pengurangan pada organ vitalnya sebelum atau sesudah hubungan seks. Organ vital laki-laki hanya berubah akibat sunat, cedera, dan penyakit kelamin seperti fimosis, peyroni, sifilis, dan lain-lain.

Beberapa meyakini aksi laki-laki yang payah, amatir, dan gugup saat bersenggama di malam pertama sebagai tanda kesuciannya yang belum pernah menjamah tubuh perempuan. Padahal kita tidak bisa memungkiri bahwa semua orang bisa berpura-pura termasuk berpura-pura grogi dan belagak lugu saat melakukan penetrasi.

Darah perawan yang seolah disakralkan sebagai bukti kesucian yang dipersembahkan untuk laki-laki pembayar mahar, menjadikan perkawinan serupa dengan perniagaan. Nilai perkawinan sendiri ternoda dengan adanya konsep keperawanan yang dikonstruksi oleh masyarakat patriarki dengan berbagai keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan, anatomi tubuh, dan utamanya tentang darah perawan.

Keluguan masyarakat patriarki yang awam cenderung memprihatinkan kala perempuan diposisikan sebagai objek yang nilainya bergantung pada kebanggaan dan kepuasan laki-laki menyaksikan bercak darah usai mengoyak keperawanannya.

Masihkah kita bangga mengaku sebagai masyarakat yang memuliakan perempuan, atau mengakui bahwa perpaduan konstruksi masyarakat patriarki dengan pemahaman kita terhadap agama yang bias gender pada akhirnya membawa kerugian psikis pada perempuan?

Entahlah.

Rizki H. Valentine
Rizki H. Valentine
Dosen, peneliti, dan penikmat lelucon kehidupan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.