Selasa, April 23, 2024

Jatuh Cinta Ala Patriarkisme

Athariq Wibawa
Athariq Wibawa
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Alumni Jambore Pelajar Teladan Bangsa Ma'arif Institute

“Kenapa perempuan hanya ditugaskan untuk berdandan dan menunggu untuk dideketin duluan? Kenapa perempuan tidak boleh make a move duluan kalo mau deketin laki-laki? Jatuh cinta saja kok repot, masak perempuan ndak boleh menyatakan suka duluan.”

Sebenarnya saya pun bertanya-tanya bagaimana konstruksi sosial seperti ini terbentuk. Lah yang menentukan perempuan ndak boleh suka duluan itu siapa? Wong Tuhan ga pernah menitahkan hal tersebut kok. Inilah yang saya sebut sebagai jatuh cinta ala patriarkisme, maksudnya dalam perihal jatuh cinta, aktivitas ini terpengaruh bias gender untuk menentukan siapa yang boleh menyatakan perasaannya duluan. Bukan hanya persoalan siapa deketin duluan, tapi persoalan tentang siapa yang bayarin makan, tentang siapa yang harus dingertiin, tentang siapa yang harus minta maaf duluan, dan masih banyak hal sepele lainnya yang terpapar pengaruh patriarki.

Pandangan seperti ini lah yang akhirnya melanggengkan budaya patriarkisme hingga ke tingkat lembaga keluarga dan kehidupan sosial politik. Bayangkan saat masa pra percumbuan (masa PDKT) saja sudah ditentukan bahwa yang boleh deketin duluan itu laki-laki, perempuan itu tabu kalo deketin duluan, karena sudah menjadi tugas perempuan untuk mempercantik diri dan menunggu seseorang melihat pesonanya.

Bukankah setiap insan memiliki hak untuk membuktikan kualitas dirinya tanpa memandang gender dan latar belakang lainnya? Pandangan ini memiliki pola yang sama bahwa perempuan tidak seharusnya untuk bekerja dan membuktikan kualitas dirinya dan hanya menunggu di rumah mengurus pekerjaan rumah tangga. Bukan hanya itu, ketimpangan dalam kesempatan dunia politik, pendidikan, dan juga adanya kasus kekerasan domestik dalam keluarga menjadi akibat dari sistem patriarki.

Mari kita tilik terlebih dahulu bagaimana sistem patriarki dapat mengakar dalam kehidupan masyarakat sekarang. Menurut Harari (2014) berawal dari nenek moyang kita pada masa pemburu-pengumpul, pendikotomian tugas secara tegas antara lelaki dan perempuan. Lelaki bertanggung jawab untuk berburu dan mengumpulkan makanan serta melindungi keluarga atau kelompok, dan perempuan bertugas untuk melahirkan serta mengurus urusan domestik lainnya. Mengapa nenek moyang kita membagi tugas seperti ini?

Karena secara biologis memang fisik perempuan tidak digunakan untuk melakukan pekerjaan kasar, sedangkan lelaki cenderung memiliki otot yang lebih besar. Atas dasar pertimbangan fisik dan efektifitas kerja inilah maka nenek moyang kita membagi tugas seperti yang saya jelaskan sebelumnya diatas. Pada masa tersebut memang perlu diakui bahwa sistem kepemimpinan patriarki berjalan cukup relevan pada zaman tersebut.

Sayangnya setelah masa pemburu-pengumpul ini telah usai, budaya pembagian tugas ini masih terekam pada gen-gen yang diturunkan ke generasi selanjutnya (disebut juga sebagai memori genetis) dan justru berkembang menjadi budaya patriarkisme yang kita kenal sekarang. Sedangkan peradaban manusia modern masih seperti janin dalam periode sejarah kehidupan umat manusia, jadi wajar apabila memori genetis tentang kesetaraan gender dan emansipasi bagi wanita masih memiliki porsi yang begitu kecil.

Pertanyaannya mengapa sekarang ini sistem patriarkisme tidak lagi relevan dalam kehidupan manusia modern?

Setelah melewati masa revolusi kognitif (yang ditandai dengan berubahnya pola kehidupan pemburu-pengumpul menjadi pemukim) sampailah kita ke peradaban manusia modern. Zaman dimana manusia sudah menciptakan alat-alat untuk membantu bertahan hidup. Teknologi berkembang begitu pesat, manusia semakin mudah untuk mengakses kebutuhan penunjang hidupnya. Sehingga segala aktivitas demi menyambung hidup seperti makan, berburu, bercocok tanam yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh laki-laki karena kemampuan fisiknya sekarang sudah bisa dipenuhi oleh setiap gender. Apabila diskriminasi kepada perempuan yang muncul karena alasan yang sama seperti nenek moyang kita terdahulu sesungguhnya argumentasi tersebut tidak lagi relevan.

Setelah berabad-abad patriarki dalam masyarakat ini mempengaruhi kehidupan sosial masyakat akhirnya pada abad ke-18 munculah gerakan feminisme dimulai dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 yang dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Dalam tulisannya Suwastini (2019) menulis bahwa tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebagai salah satu karya tulis feminis awal yang berisi kritik terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan.

Satu abad setelahnya di Indonesia, Raden Ajeng Kartini ikut membuahkan pemikirannya mengenai kritik keadaan perempuan Jawa yang tidak diberikan kesempatan mengecap pendidikan yang setara dengan laki-laki, selain dari kritik terhadap kolonialisme Belanda. Walaupun pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriaki. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh ideologi pembuat keputusan, dan ideologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sehingga secara garis besar tujuan besar feminisme adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender.

Pola kehidupan bercorak patriarki sangat sulit digulingkan. Faktanya, yang menyebabkan patriarkisme masih nyaman berkembang di masyarakat terkadang adalah kaum perempuan sendiri. Beberapa dari mereka terkadang menerima begitu saja subordinasi kaum wanita dan hegemoni kaum lelaki. Salah satu cirinya adalah pada fenomena jatuh cinta di masa remaja.

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya di atas, dengan budaya patriarki yang tidak kita sadari, kebiasaan-kebiasaan menempatkan wanita sebagai pihak yang pasif dengan legitimasi “kodrat” menjadikan wanita seolah-olah menerima subordinasi tersebut. Hal ini mereka lakukan secara tidak sadar, mereka hanya mengikuti kebiasan-kebiasan yang memang sudah ada dari dulu. Bahkan generasi sebelumnya –biasa disebut sebagai orang tua kita—ikut menyirami akar patriarki hingga tumbuh sukbur seperti sekarang.

Sebagai contoh masih banyak diantar generasi orang tua kita yang berkata seperti ini “kamu tuh yang penting cantik biar nanti banyak cowo yang mau deketin kamu” atau “kamu tuh gausah pinter-pinter ndak nanti cowo malah pada minder lho”. Kalimat yang keluar dari mulut orang tua kita ini justru menjadi pupuk yang penuh zat hara untuk menyuburkan tanaman-tanaman patriarki.

Maka generasi muda sekarang ndak perlu muluk-muluk membaca ratusan literatur terkait feminisme kalau perempuan zaman sekarang belum berani menyatakan cintanya duluan hanya karena streotipe seperti diatas. Dan bagi para lelaki ndak perlu mikir macem-macem tentang kesetaraan gender kalo mikirmu masih setiap jalan sama dia harus kamu yang bayarin. Hubungan itu tentang dua insan yang saling mencintai dan memahami, bukan tentang cewe yang selalu benar dan cowo yang selalu minta maaf duluan.

Referensi:

Harari, Yuval Noah. Sapiens: A brief history of humankind. Random House, 2014.

Athariq Wibawa
Athariq Wibawa
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Alumni Jambore Pelajar Teladan Bangsa Ma'arif Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.