Max Striner, seorang pemikir anarkis individualis Jerman mengatakan, “Tidak ada hakim selain diriku yang bisa memutuskan apakah aku benar atau salah.”
Menurut Striner, setiap individu–baik itu laki-laki maupun perempuan–memiliki kebebasan untuk menentukan mana yang baik bagi dirinya sendiri, apa yang dimauinya, dan hanya individu tersebutlah yang dapat memutuskan apakah ia benar atau salah. Karena itu bagi Striner hanya pada kedirian masing-masinglah setiap individu harus tunduk, bukan pada negara, masyarakat, ataupun sistem (kaum anarkis dan perjuangan demokratik baru. Hal. 28)
Apa yang diimani oleh Striner tentu berbanding terbalik dengan realita yang terjadi dalam masyarakat kita saat ini. Perempuan misalnya, ia didikte oleh kehendak yang ada di luar kuasanya. Bagaimana cara ia berpakaian, bersikap, bertutur kata, bahkan berjalan pun dituntut harus sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan oleh masyarakat.
Jika ada perempuan yang memakai pakaian sedikit terbuka, maka ia akan langsung dilabelling bahwa ia bukan perempuan baik-baik. Pemberian stigma inilah yang kemudian membuat perempuan takut mengekspresikan dirinya terlebih jika apa yang mau diekspresikannya bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kita tahu, pada konstruksi masyarakat patriarkis posisi perempuan berada di bawah laki-laki. Perempuan diasumsikan sebagai makhluk lemah dan tidak berdaya sehingga perempuan sering kali direndahkan baik secara moral maupun dengan kekerasan berbentuk fisik.
Perempuan tidak dipandang sebagai individu yang merdeka terhadap tubuhnya, segala bentuk pengekspresian diri direpresi oleh masyarakat yang patriarkis tersebut, sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk kepada otoritas di luar dirinya dan hal ini akhirnya yang membuat tubuhnya seolah-olah hanyalah sebuah objek.
Ada relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki selalu mendominasi dalam segala bidang, bukan karena perempuan tidak mampu mengambil peran dalam bidang tersebut, tetapi lebih karena tidak adanya kesempatan perempuan untuk berperan lebih di sana. Perilaku atau pemikiran kolot dan usang inilah yang selalu terawat dengan baik dalam masyarakat kita. Wajar saja itu karena patriarki dianggap sebagai sebuah kebenaran karena ia dibungkus dengan dalih-dalih agama, norma, dan budaya.
Adanya sebuah pembiaran dan pembenaran terhadap patriarki itu tadilah yang membuat perempuan selalu dirugikan pada segala sendi kehidupan. Mereka tidak dibebaskan memilih jenis kehidupan yang mereka mau, mereka diatur cara berpakaiannya, mereka didiskriminasi, mereka distigma, bahkan yang sering terjadi mereka ditolak untuk menjadi pemimpin.
Singkatnya, mereka ditindas oleh sistem di mana sistem itu selalu menguntungkan pihak laki-laki. Sebagai sebuah sistem, patriarki tidak hanya dilanggengkan oleh laki-laki, tetapi perempuan juga ikut turut serta di dalamnya, itu bisa saja karena doktrin yang secara terus menerus disosialisasikan oleh orang tuanya atau lingkungannya mulai dari saat mereka kecil hingga beranjak dewasa.
Hal ini, senada juga dengan cukup banyaknya para laki-laki yang mendukung feminisme sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas perempuan. Itu artinya telah ada kesadaran bahwa perempuan itu sudah seharusnya diperlakukan dengan setara. Artinya juga bahwa perempuan harus dipandang sebagai manusia yang bebas memilih jenis kehidupan yang mereka mau tanpa adanya bentuk represi dengan menggunakan dalih agama, norma, dan budaya, padahal sejatinya itu adalah upaya untuk tetap melanggengkan praktek patriarki.
Sebagai manusia yang bebas, bagaimanapun cara perempuan berpakaian, seharusnya dihargai. Jika mereka menolak memakai pakaian yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat, maka hargailah itu sebagai bentuk kebebasannya untuk mengeskpresikan diri. Jangan menjadi hakim bagi orang lain, mengutip Strinner, tidak ada yang berhak memutuskan apa yang benar dan yang salah bagi diri orang lain. Jika ada perempuan yang diperkosa, maka yang salah bukanlah pakaiannya, melainkan kebejatan pelakunya.
Memakai pakaian yang terbuka itu bukan berarti mereka pantas untuk diperkosa. Bukan berarti mereka pantas untuk dilecehkan secara fisik, bukan berarti mereka pantas dicatcalling, bukan berarti mereka pantas di-stereotip-kan sebagai perempuan murahan. Kita hidup di masyarakat di mana perempuan diajarkan untuk jangan sampai diperkosa, ketimbang mengajarkan laki-laki untuk tidak memperkosa. Kita hidup di zaman di mana perempuan diharuskan berpakaian tertutup, ketimbang mengajarkan laki-laki untuk menundukkan pandangannya.
Perilaku seksis dan misoginis tersebut tidak pantas untuk dilestarikan, bahkan kalau bisa dihilangkan. Sebab jika perilaku tersebut terus berlangsung maka segala bentuk kekerasan, respresi, diskriminasi, terhadap perempuan akan terus terjadi. Hal ini yang nantinya akan merugikan perempuan dan akan menjadi penyelewengan terhadap kebebasan yang dimilikinya.
Dengan kata lain, perempuan adalah makhluk yang setara dengan laki-laki. Tidak boleh ada relasi yang dominan di antara keduanya, perempuan berhak mendapatkan apa yang laki-laki dapatkan, perempuan tidak boleh didikte oleh sistem yang merugikannya, dan jangan sampai perempuan selamanya menjadi warga kelas dua di negara ini.
Saya di sini tidak mengatakan bahwa hidup bermasyarakat itu buruk, tetapi yang saya maksud adalah budaya atau sistem yang mengakar pada masyarakat itu, yaitu patriarki. Norma-norma yang tengah berlaku dalam masyarakat adalah pengejewantahan dari budaya patriarki tersebut, ini artinya norma tersebut tidak diambil dari landasan yang baik dan objektif melainkan dari landasan yang menindas.
Adalah wajar rasanya jika ada perempuan yang menolak memberlakukan norma-norma itu bagi dirinya, karena ia mungkin telah tersadarkan bahwa apa yang diimani oleh masyarakat atau lingkungannya merugikan dirinya. Norma itu bukanlah hal yang kultus sehingga ia antikritik, ia bukanlah suatu hal yang turun dari langit, melainkan ia tumbuh dan berkembang akibat buah pikir dari manusia.
Saya tidak menolak kemungkinan bahwa dengan ekslusifitas seperti itu seseorang akan tersisihkan dalam masyarakat. Risiko seperti inilah yang membuat seseorang manut terhadap apa yang dialaminya karena ia tidak ingin teralienasi. Sebagai makhluk sosial tentu individu membutuhkan individu-individu lainnya untuk bertahan hidup, maka menjaga diri agar tetap berada di dalam tatanan masyarakat itu adalah sebuah keharusan, terlepas dari apakah masyarakat itu baik atau tidak.
Oleh karena inilah, menurut saya, praktek-praktek yang merugikan perempuan tadi, seperti kekerasan, diskriminasi, dan represi, masih dan akan terus terjadi kedepannya.