Dwangsom adalah suatu alat eksekusi, ia bukanlah merupakan hukum yang berdiri sendiri. Hukuman merupakan risiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan kesalahan. Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara yang mengekang seseorang atau sekelompok orang. Hukuman juga tidak selamanya pengekangan fisik agar orang terasing dari komunitas sosial.
Uang paksa adalah “uang hukuman” bagi seorang tergugat (orang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim, diserahkan kepada penggugat (pihak yang telah dirugikan). Dwangsom ini sebagai upaya hukum untuk membangun kesadaran individu bagi sang tergugat yang tidak menjalani hukuman.
Dasar pemberlakuan/penerapan lembaga dwangsom (uang paksa) dalam praktik peradilan di Indonesia adalah merujuk pada ketentuan Pasal 606 a dan Pasal 606b Rv.
Ditegaskan dalam Pasal 606a Rv, mengatur, bahwa: “sepanjang suatu putusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak mematuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam putusan hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa.”
Selanjutnya Pasal 606b Rv mengatur bahwa: “bila putusan tersebut terpenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum.”
Rumusan ketentuan Pasal 61 1a ayat 1 tidak memungkinkan jika tuntutan primer adalah pembayaran sejumlah uang. Tetapi kenyataannya aturan ini banyak diselundupi, di mana penggugat di dalam gugatannya menuntut untuk pemenuhan suatu prestasi, tetapi secara terselubung sebenarnya ia menuntut suatu jumlah uang.
Contoh kasus Berita Ekonomi Bisnis Kisah GoTo: Heboh di Awal, Kena Gugatan Merek Kemudian Siti Fatimah – detikFinanceMinggu, 14 Nov 2021 11:02 WIB Jakarta – Gojek dan Tokopedia merger membentuk nama GoTo. Kombinasi kedua perusahaan ini disebut akan berkontribusi sebesar 2% pada Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, akhir-akhir ini nama GoTo sebagai entitas baru dari dua perusahaan kenamaan anak bangsa yang menjadi pusat perhatian setelah munculnya dugaan plagiat dan melanggar hak atas merek.Kilas balik ke belakang, isu merger GoTo mencuat sejak awal tahun ini. Kabar merger bermula dari salah satu sumber yang menyatakan bahwa Gojek dan Tokopedia tengah mempertimbangkan potensi merger sejak 2018.
Grup GoTo dalam siaran persnya menyebutkan, memiliki 2 juta mitra driver dan 11 juta mitra usaha (Desember 2020). Total Gross Transaction Value (GTV) Grup GoTo mencapai US$ 2,2 miliar dan lebih dari 1,8 miliar transaksi pada 2020. Grup GoTo juga memiliki lebih dari 100 juta pengguna aktif bulanan.
Akan tetapi, bak peribahasa semakin tinggi pohon maka semakin kencang anginnya, pada 2 November 2021 muncul gugatan ke pengadilan terkait dugaan GoTo menggunakan merek dagang orang lain. Tergugat dalam kasus ini adalah PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dan PT Tokopedia. Gugatan dilayangkan oleh sebuah perusahaan keuangan bernama PT Terbit Financial Technology (TFT). Gojek dan Tokopedia diminta membayar ganti rugi hingga Rp 2,08 triliun yang terdiri dari Rp 1,8 triliun kerugian materiil dan imateriil Rp 250 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Corporate Affairs GoTo Astrid Kusumawardhani mengatakan, pihaknya siap untuk membuktikan hak penggunaan merek GoTo di pengadilan. Dia mengatakan, pemanfaatan merek GoTo telah sesuai dengan aturan yang ada.
GoTo Lolos Dari Gugatan 2,8 Triliun
Reporter: Yuliana Hema | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Dalam putusan sidang yang berlangsung pada 2 Juni 2022, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan untuk mengabulkan eksepsi mengenai kewenangan mengadili (kompetensi absolut) yang diajukan oleh Gojek dan Tokopedia.
Pengadilan juga memutuskan untuk menghukum penggugat atau Terbit Fintech untuk membayar denda biaya perkara sejumlah Rp 2,5 juta. Untuk mengingatkan, Terbit Fintech melayangkan gugatan pada PT Aplikasi Anak Bangsa dan PT Tokopedia atas penggunaan nama atau merek perusahaan hasil merger yaitu GoTo sejak 2 November 2021.
Penggugat pun meminta majelis hakim menghukum Gojek dan Tokopedia dengan membayar ganti rugi material Rp 1,83 triliun dan imaterial Rp 250 miliar. Sehingga, totalnya berjumlah Rp 2,08 triliun.
Penggugat juga menjelaskan merek GOTO yang mereka miliki telah terdaftar dengan Nomor IDM000858218 pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI.
Sehingga, penggugat meminta majelis hakim menyatakan bahwa merekalah satu-satunya pemilik dan pemegang hak yang sah atas merek terdaftar GOTO beserta segala variasinya.
Sumber:
Dr. Harifin A. Tumpa, S.H., M.H, Buku Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan Implementasinya di Indonesia
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5810580/kisah-goto-heboh-di-awal-kena-gugatan-merek-kemudian/2https://investasi.kontan.co.id/news/sengketa-merek-goto-berakhir-gojek-tokopedia-lolos-dari-gugatan-rp-28-triliun