Kamis, April 18, 2024

Penghentian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif

Adhar La Bonaparete
Adhar La Bonaparete
Lawyer, Ketua Pusat Bantuan Hukum LPW NTB, Lawyer di A.R.Sambo Law Office, Relawan LPW NTB.

Kisah haru hadir dari seorang Tersangka MA yang terjerat kasus 362 (Pencurian). Ia mencuri kendaraan (satu unit sepeda motor) milik pedagang sayuran untuk persiapan istrinya melahirkan. Atas nama keadilan, Jaksa menghadirkan para pihak (korban dan pelaku). Para pihak tsb di damaikan dan Jaksa menginstruksikan untuk menghentikan Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice. (Status FB Dae Al Prakasa)

Dalam menanggapi tulisan rekan saya sesama advokat dalam status FB nya dan menandai beberapa orang termasuk saya. Status tersebut membuat hati para pembaca sedih akan kisahnya, tapi saya  lebih melihat langkah bapak Jaksa yang responsif menerapkan restoratif Justice dalam menegakkan hukum pidana. Menjadi pertanyaan apakah yang dilakukan Jaksa tersebut salah atau hukum dikesampingkan demi kemanusiaan? Tentu saya akan mencoba menjawab dalam perspektif hukum.

Penegakan hukum sangat erat kaitannya menegakan norma hukum yang berbentuk undang-undang, sejauh ini proses penegakan pidana tidak terlepas dengan Kitab-Kitab Undang-undang Acara pidana atau disingkat KUHAP. Berdasarkan KUHAP setiap kejahatan atau tindak pidana yang sudah memenuhi unsur tindak pidana kemudian berkas perkara nya  dilimpahkan kejaksaan sampai dengan tahap 2 (dua) atau yang dikenal dengan T-21 tidak ada lagi upaya untuk perdamaian dan penghentian perkara berdasarkan alasan di luar hukum.

Akibat legalistik penuntutan oleh kejaksaan, maka banyak pelaku tindak pidana yang dijatuhi hukuman pidana yang berakibat pada penjatuhan pidana dan menjadi narapidana. Dampaknya, Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) menjadi penuh, yang melahirkan masalah kompleks, sehingga tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana modern bukan balas dendam tetapi memperbaiki penjahat agar keluar menjadi orang yang baik.

Jaksa sebagai penuntut umum sebagai pengendali jalan Perkara pidana yang menilai layak atau tidak dinaikkan dalam proses persidangan terhadap tersangka atau terdakwa, harus berpikir secara responsif dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan yaitu “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.

Bahwa berdasarkan Pasal 14 KUHAP sebagai hukum acara pidana memberikan kewenangan kejaksaan sebagai penuntut umum dan dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan ada kewenangan diskresi dalam Pasal 34A “Untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan/atau pentut umum dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya dapat bertindak menurut peniliannya dengan memperhatikan kententuan peraturan perundang-undangan kode etik.”

Dalam mengaplikasikan kewenangan tersebut Kejaksaan Agung membuat terobosan hukum dengan lahir  Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, dengan pendekatan konsep restoratif justice merupakan sebuah terobosan hukum sangat memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Sejauh ini restorative justice sudah sering diterapkan pada setiap daerah di Indonesia dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, dan pada intinya tetap melalui pendekatan penyelesaian secara kekeluargaan dengan keterlibatan semua pihak. Meskipun dalam hukum positif di Indonesia konsep restorative justice baru terdapat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak.

Dalam konsep restorative justice bertujuan menekankan keadilan pada pemulihan keadaan, pelaku diberi kesempatan mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab dan korban pun diberi kesempatan untuk menyampaikan tuntutannya sesuai dengan hati nuraninya.

Hal demikian dijamin dalam konstitusi yang dijabarkan dalam Pasal 28 huruf e ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke dua yaitu ayat 2 menyatakan yaitu “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”  dan ayat 3 menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Konstitusi memberikan ruang dalam menerapkan restorative justice dalam sistem peradilan pidana, karena setiap orang untuk menyatakan pikiran sesuai hati nurani dan berkumpul untuk memusyawarahkan. Artinya dalam penegakan hukum pidana diberikan korban atau pelaku untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi tanpa ada tekanan.

Artinya, dalam konsep restorative justice memberikan kebebasan untuk menyelesaikan permasalahan hukum pidana dengan cara berkumpul mempertemukan korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah, untuk melakukan musyawarah untuk mencapai kata mufakat atau yang dikenal dalam hukum pidana dengan mediasi penal dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak tanpa mencederai nilai kepastian hukum.

Terobosan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan untuk mewujudkan keadilan dengan pendekatan restorative jusitice dalam ranah penuntutan, di mana saat ini Kejaksaan Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dalam Perja tersebut Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan keadilan; kepentingan umum; proporsionalitas; pidana sebagai jalan terakhir; dan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Kebijakan Kejaksaan Agung dalam menerbitkan Perja Nomor 15 Tahun 2020 memberikan terobosan hukum dalam penyelesaian sengketa yang lebih menitikberatkan win-win solution dan menghindari gesekan yang terjadi di masyarakat.

Setelah lahir Perja Nomor 15 Tahun 2020 lebih efektif dan mempunyai manfaat yang lebih besar baik untuk negara maupun masyarakat, dari pada melakukan penindakan-penindakan setiap perkara terutama kejahatan-kejahatan terhadap harta benda, harkat dan martabat seseorang, dan tindak pidana lalu lintas.

Hal ini berbanding terbalik dengan penegakan hukum berorientasi pada penegakan hukum secara positivis legalitis yang lebih menekan kepada kepastian hukum dari pada kemanfaatan dan keadilan karena hukum sebagaimana yang dikemukan oleh Sajipto Rahardjo bahwa penegakan hukum harus berhati nurani, karena hukum bukan untuk hukum melainkan hukum untuk manusia.

Keberadaan Perja Nomor 15 Tahun 2020 mengikuti perkembangan zaman dalam pemberantasan tindak pidana melalui pendekatan keadilan restoratif justice, dan tidak semata-mata  legalitis positivis yang berorientsi menghukum, akan tetapi melakukan penghentian perkara pidana terhadap hal-hal bersifat tidak terlalu berat seperti tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis), tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari  dua juta lima ratus ribu rupiah.

Dengan pendekatan restoratif justice tersebut konflik dimasyarakat tidak berlanjut sebagai aksi balas dendam pada pelaku oleh korban atau keluarga korban. Hal ini akan menekan angka kejahatan berlanjut, karena sudah terjadi perdamain antara pelaku dan korban. Pelaku bertanggung jawab dan dibebankan untuk memulihkan keadaan dengan mengganti kerugian bagi korban atau pun masyarkat yang kena dampaknya, asalkan tidak pada kejahatan yang berat yang tidak bisa ditolerin dalam undang-undang seperti pembunuhan atau kekersan seksual.

Hadirnya Perja Nomor 15 tahun 2020 sebagai kebijakan hukum dalam ranah penegakan hukum formil yang mengarah ke nilai keadilan dan kemanfaatan hukum untuk masyarakat, hukum untuk masyarakat bukan untuk hukum dalam konteks undang-undang.

Adhar La Bonaparete
Adhar La Bonaparete
Lawyer, Ketua Pusat Bantuan Hukum LPW NTB, Lawyer di A.R.Sambo Law Office, Relawan LPW NTB.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.