Rabu, April 24, 2024

Pengesahan RKUHP sebagai Suatu Kemerdekaan

A. Fahrur Rozi
A. Fahrur Rozi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jalan panjang pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus bergulir. Pemerintah, legislasi dan stakeholder berada dalam lingkaran setan yang tidak berkesudahan. Hingga kini, RKUHP hanya menjadi fantasi yuridis semata, angan konstitusional bagi warga yang mendambakan kemerdekaan secara utuh, yang esensi dan hakiki (das sollen).

Mengapa demikian?

RKUHP bukan produk yang baru. Sudah belasan tahun produk RKUHP hanya menjadi tumpukan kitab peraturan yang terbengkalai tanpa status legalitas keabsahan. Berputar dalam area pengesahan-tuntutan. Sudah tidak terhitung regenerasi eksekusi-legislasi yang diwariskan dengan kitab perundang-undangan itu. Usang dan tanpa kepastian.

Pernahkah kepikiran carut marut produk RKUHP sampai belasan tahun bahasannya? Pernahkan terlintas ada benturan perang individu yang melampaui cita-cita kolektivisme orang banyak?

Maka perlu mengambil kaidah fiqhiyyah, mala yudraku kulluhu la yutraku julluhu (apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggal hal terpenting). Dalil ini bisa dijadikan pijakan untuk memberikan legalitas kebsahan terhadap RKUHP. Karena tuntutan terhadap pengesahan RKUHP didorong oleh entitas paradoksal di 14 pasal, dimana pasal itu merupakan kualifikasi rumusan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) (Pribowo, 2022: 07). Dari itu kita melihat ikhtiar penting nan mulia dari rumusan RKUHP itu, yakni usaha merdeka secara substansial.

Bagaimana tidak, sejak deklarasi kemerdekaan beberapa tahun lamanya, di masa itu pula kita tidak memiliki pegangan (handbook) sendiri dalam perundang-undangan pidana. Bayang-bayang kolonialisme dalam bentuk Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie terus menjadi acuan berhukum kita saat ini.

Dalam rentang masa itu, Indonesia sebenarnya secara substansial tidak merdeka dari hegemoni dan doktrinasi yurisdiksi Barat. Indonesia kehilangan muara konstitusinya sebagai acuan dalam bernegara dan berbangsa. Kita hanya mengusir penjajah, tapi tidak dengan peninggalannya. Barang tentu, ini yang menjadi dalang carut marut legislasi dalam negara konstitusional.

Untuk itu, pengesahan terhadap RKUHP yang sudah berumur dalam bahasannya adalah bentuk merdeka dan melepaskan diri dari berbagai kungkungan hegemoni. Keinginan Mahfudh MD Juli lalu patut kita sambut baik, bahwa RKUHP harus disahkan sebelum momentum “17 Agustusan” sebagai hadiah buah kemerdekaan.

Kemerdekaan harus diartikulasikan secara konkret dan mengakar. Merdeka substansial adalah terlepas dari bayang-bayang dominasi, mandiri, dan mampu berdiri dengan kaki sendiri. Di semua lini, termasuk konstitusi.

A. Fahrur Rozi
A. Fahrur Rozi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.