Sabtu, April 27, 2024

Saatnya Memperdebatkan RKUHP dengan Adil

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.

Diskusi tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), baik soal substansi ataupun proses politiknya, masih terus berlanjut. Kabarnya DPR akan segera mengajukan pengesahannya kepada Presiden Joko Widodo. Keputusan penundaan yang sempat diambil oleh Presiden adalah tepat, agar selama masa penundaan itu ada diskusi yang mendalam, proporsional, dan substansial terkait hal-hal apa saja yang memang perlu diperhatikan terkait penyusunan draf final RKUHP.

Yang jelas, ada dua kubu saat ini: mereka yang jelas-jelas menolak draf RKUHP sekarang untuk disahkan dan mereka yang merasa RKUHP sudah bisa disahkan. Perdebatan antara dua kubu ini, tidak bisa dibantah, memiliki bobotnya masing-masing. Namun, perdebatan yang ada kelihatan cenderung emosional. 

Kita tahu bahwa tidak sedikit yang menolak RKUHP tanpa memahami original intent, filosofi, dan maksud perlunya Indonesia memiliki KUHP buatan sendiri. Tetapi, mereka yang mendukung RKUHP juga kelihatan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dan karenanya mendorong agar RKUHP segera disahkan saja.

Tulisan Muhammad Fatahillah Akbar, “Menuju Keadilan RKUHP” (Koran Sindo, 12 Oktober 2019) adalah satu yang mendukung RKUHP. Fatahillah mengajukan beberapa argumentasi soal mengapa RKUHP perlu dibela. Untuk argumentasinya, ada beberapa catatan. Pertama, penekanannya soal misi pembentukan RKUHP: dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, adaptasi dan harmonisasi. 

Misi yang tertuang dalam penjelasan umum RKUHP itu perlu didukung. Misi itu memang pas agar penyusunan RKUHP tidak lagi bernuansa kolonial-tradisional, melainkan menjawab perkembangan yang sesuai dengan situasi bangsa. Yang menjadi soal bukan misinya, tetapi bagaimana misi itu seharusnya direalisasikan? Bisakah misi itu dicapai dengan pendekatan penyusunan rekodifikasi seperti RKUHP sekarang?

Seperti diketahui, tim perumus menyampaikan bahwa RKUHP disusun menggunakan paradigma rekodifikasi (bukan dekodifikasi atau revisi). Menurut Prof J.E. Sahetapy, perkembangan zaman membuat kodifikasi sudah ketinggalan zaman (2013). 

Dari kacamata kriminologi, kejahatan selalu berkembang secepat perkembangan zaman itu sendiri, sementara hukum (pidana) tidak. Seperti dikutip Fatahillah, het recht hink achter de feiten aan (hukum ketinggalan dari waktu, apalagi hukum pidana), justru logis dikatakan, kodifikasi bukan pilihan yang tepat untuk pembaharuan hukum pidana. Secara mutatis mutandis, rekodifikasi bukan pilihan yang tepat.

Implikasi negatif dengan digunakannya rekodifikasi adalah adanya bab tentang Tindak Pidana Khusus di Buku II RKUHP. Kemudian muncul perdebatan soal mengapa tindak pidana seperti korupsi, narkotika, termasuk terorisme, harus masuk kembali ke RKUHP. Tulisan Fatahillah tidak menjawab ini, padahal itulah akar soalnya di masyarakat. 

Dimasukannya tindak pidana khusus seperti korupsi, narkotika, dan terorisme, meskipun sebagai core crime, sulit dimengerti. Bukankah dengan begitu penerapan prinsip core crime dalam RKUHP hanya akan meniadakan “kekhususan” dari tindak pidana yang sebelumnya memang telah diatur sebagai tindak pidana khusus dalam sebuah afzonderlijke straf wetten

Alternatif dari sistem rekodifikasi adalah seperti apa yang sudah berkembang di banyak negara (bahkan di Belanda sejak tahun 60-an), yaitu berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali: pengaturan suatu tindak pidana (apalagi yang khusus seperti korupsi, narkotika dan terorisme) dirasa akan lebih efektif justru jika berada di luar KUHP melalui sebuah peraturan perundang-undangan sendiri. KUHP hanya mengatur prinsip, asas dan dasar pemidanaan atas tindak-tindak pidana itu sebagaimana diatur dalam buku I KUHP.

Penolakan masyarakat yang masif agar tindak pidana khusus jangan diatur di RKUHP perlu dipertimbangkan. Kalau paradigma rekodifikasi mau tetap dipakai, dalam Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Prof Satochid Kartanegara menyebutkan, dua syarat sebuah usaha kodifikasi dapat dilaksanakan, yaitu pengetahuan hukum yang memadai untuk mengaturnya dan dukungan dari masyarakat. Syarat kedua ini jelas tidak terpenuhi. Jadi, apakah rekodifikasi mau tetap dipertahankan?

Kedua, penekanan Fatahillah soal keadilan restoratif yang ingin dibawa RKUHP. Bahwa betul keadilan restoratif harus menjadi semangat utama dalam konteks pemidanaan di RKUHP, tetapi membahas keadilan restoratif hanya soal pemidanaan berarti mengerdilkan makna tujuan dari keadilan restoratif itu sendiri. 

Selain bagaimana pelaku diperlakukan secara hukum yang adil, menghargai hak-hak dasar, tidak berat sebelah dan sewenang-wenang serta proposional, keadilan restoratif juga harus mempertimbangkan dampak-dampaknya pada kehidupan masyarakat, termasuk perlindungan dan pemulihan hak-hak korban, jaminan hak-hak individual dan keseimbangannya dengan hak-hak hidup bersama sebagai masyarakat. Soal yang disebut terakhir itu, luput dibahas Fatahillah.

Maka, perlu dibahas ranah substansial yang terkait dengan pengaturan dalam RKUHP dengan karakternya, sebagai hukum publik (van Hamel: het strafrecht zich tot publiek recht). Pertanyaan paling mendasar adalah apakah legitimasi negara untuk menegakkan hukum publik ke dalam ranah-ranah pribadi dan sangat pribadi?

Disebutkan oleh Prof Barda Nawawi, juga tim perumus, bahwa RKUHP mendorong asas keseimbangan monodualistik yang menyeimbangkan antara kepentingan umum/publik dengan kepentingan individu/perorangan (2005: 12). Pendapat ini tepat apalagi di negara multikultur dan komunalistik seperti Indonesia ini. Hanya kalau hukum pidana memaksakan diri masuk ke ranah paling pribadi warga negaranya, justru akan berimplikasi pada kepentingan individu yang dilanggar.

Sifat publik/umum dari hukum pidana mensyaratkan bahwa memang yang ingin dilindungi dari pemberlakukan hukum pidana adalah kepentingan umum. Hukum pidana mencegah agar tidak ada lagi lex talionis (mata ganti mata) di antara individu. Dalam hal dirugikan atas suatu kejahatan, negara perlu hadir lewat alat-alatnya (Andi Hamzah, 2008: 5). Penekanannya, kejahatan itu menimbulkan akibat bagi orang lain (satu atau lebih). Jadi, yang perlu diatur adalah kejahatan yang bersifat individual yang memiliki implikasi terhadap kepentingan umum/publik.

Perlu dicatat bahwa pembedaan hukum publik dan privat awalnya tidak ada. Perkembangan zaman dan kesadaran manusia membuat kehadiran negara dalam rangka ketertiban bersama menjadi penting. Jadi, kalau sekarang negara, lewat RKUHP, ingin masuk ke dalam ranah-ranah privat, sebenarnya RKUHP bukan bergerak maju tetapi berbalik arah dan mundur ke belakang. Pasal perzinahan, misalnya soal kohabitasi, yang multitafsir dan dipaksakan, rentan pada terjadinya kekacauan di masyarakat.

Perdebatan lain yang juga perlu dibahas dengan adil adalah soal pengaturan living law (meski diterjemahkan hanya sebagai hukum adat, padahal living law dalam arti sebenarnya bukan hanya hukum adat). Pengaturan ini terlalu dipaksakan. Alih-alih menghargai eksistensi hukum adat yang berlaku di Indonesia, pengaturan living law di RKUHP malah akan mengerdilkan eksistensi hukum adat. 

Dalam Fundamental Principles of the Sociology of Law, Eugen Erlich menegaskan bahwa hukum adat termasuk kebiasaan etis. Masyarakat tidak menganggapnya semata sebagai hukum, tetapi menghidupinya sebagai sebuah penghargaan bersama dalam kelompok (2001: 449). Itulah kenapa hukum adat tidak bisa serta merta dikualifikasi sebagai bagian dari norma hukum mengingat sifat dan karakternya yang berbeda dengan, misalnya hukum pidana atau hukum perdata.

Lagi pula, dalam sejarah KUHP, seperti ditulis Prof Satochid Kartanegara, Belanda juga ingin mencoba melakukan kodifikasi hukum adat, tetapi gagal karena masyarakat adat sendiri menolak.

Tiga hal di atas perlu mendapat perhatian dalam perdebatan RKUHP dalam masa penundaan ini demi efektivitas penegakan KUHP itu sendiri. Karenanya, perlu bagi kita semua untuk memberikan diskursus dalam perdebatan RKUHP dengan lebih adil. Bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa. Kita semua bertanggung jawab atas pembaharuan sistem hukum pidana kita.

Bacaan terkait

Mencari Hukum Rasa Indonesia (Bagian 1)

Polemik Delik Kesusilaan dalam RKUHP

RKUHP: Dari Rasa Kolonial Kembali ke Zaman Batu

RKUHP Mengancam Privasi Hingga Demokrasi

Zina, Urusan Rumit yang Nikmat?

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.