Secara etimologi kata new berasal dari bahasa inggris yang berarti baru, sedangkan kata media berasal dari bahasa latin yang memiliki arti sebagai perantara sebuah informasi dengan penerima informasi.
Media baru secara sederhana adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet secara khususnya. Istilah New Media baru muncul pada akhir abad 20 an yang dipakai untuk menyebut sebuah media baru yang menggabungkan media-media konvensional dengan Internet.
Istilah media baru sudah diperkenalkan sejak tahun 1969 oleh Marshall McLuhan yang menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam memperkenalkan istilah tersebut. Menurut McLuhan, New Media merupakan perkembangan teknologi komunikasi yang berperan dalam memperluas jangkauan komunikasi manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa istilah New Media tidak terpaku pada suatu teknologi yang spesifik.
McLuhan juga menyatakan terkait media baru bahwa teknologi komunikasi yang baru dapat menghasilkan efek budaya yang luas, sulit diprediksi, mengganggu, dan mengubah dinamika hubungan manusia. Dan tak dapat dipungkiri lagi New Media membawa dampak bagi kehidupan sosial masyarakat, baik itu positif maupun dampak negatif.
Melihat data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan penetrasi pengguna internet di Indonesia pada tahun 2018 telah mencapai angka 143,26 juta jiwa, atau setara dengan 54,7% populasi Indonesia. Dari angka tersebut, 79% diantaranya merupakan pengguna aktif yang mengakses internet setiap hari.
Rata-rata pemakaian internet per hari di Indonesia mencapai 8 jam 36 menit, dan 2 jam 52 menit diantaranya digunakan untuk mengakses konten. Online video merupakan konten yang paling banyak diakses dengan angka pengguna mencapai 98%, sedangkan streaming dan online gaming menempati urutan kedua dan ketiga dengan jumlah pengakses masing-masing 50% dan 46%.
Angka yang luar biasa ini akan terus bertambah, karena arus globalisasi New Media yang menyeret masyarakat Indonesia tidak akan bisa dibendung sama sekali, dan hal ini akan berimplikasi pada otoritas keagamaan (religious authority) dan juga simbol agama.
Secara tradisional, Otoritas Keagamaan Tradisional (traditional religious authority) merujuk pada mereka yang belajar di pondok pesantren, universitas islam terkemuka atau mengikuti majelis taklim secara ketat, dengan latar belakang seperti itu mereka memiliki kapasitas untuk menyampaikan pesan keagamaan dan diakui oleh jamaahnya. Mereka adalah para ulama’, kiai, mursyid dan guru-guru agama.
Kaum otoritas keagamaan tradisional juga kebanyakan mendorong dan merespon positif wacana islam moderat, sama halnya dengan wacana islam nusantara yang meleburkan islam dengan budaya nusantara, mereka juga mendukung ideologi pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta tegas menolak berdirinya khilafah melalui kaki tangan HTI. Mereka juga menjunjung tinggi toleransi, ham, dan pro dengan kewargaan.
Karena penyebaran islam tidak bisa dipisahkan dengan media, sebab media adalah salah satu alat untuk menyebarkan islam, maka dalam otoritas keagamaan tradisional pun mereka menggunakan media dalam pembelajaran ilmu agama, medianya pun konvensional seperti ngaji bandongan atau sorogan menggunakan kitab-kitab kuning dengan metode kontekstual substantif, bukan sekedar tekstual dari qur’an dan hadits saja.
Namun kini otoritas keagamaan mengalami pergeseran (diseminasi), yaitu umat memperoleh otoritas baru yang tampak impersonal, berbasis utama pada jejaring informasi (internet). Setiap orang bisa secara mudah mengakses pengetahuan menurut selera dan kebutuhan masing-masing.
Selain faktor memudarnya otoritas tradisional, faktor intervensi era disrupsi juga mempengaruhi, maka otoritas keagamaan bergeser pada otoritas keagamaan baru (new religious authority) melalui media impersonal, seperti website, blog, instagram, youtube dan sejenisnya. Jika kita mau mengingat sebentar, kemungkinan beberapa dari kita pernah mendapat broadcast baik dari whatsapp atau telegram yang berisi iklan flashdisk 16 sampai 32 GB yang berisi murottal al-qur’an dan yang menakjubkan adalah juga berisi kitab-kitab dari ulama salafi wahabi yang sudah dibuat mode ebook.
Saat ini setiap orang bisa belajar melalui media-media tersebut, dan New Media yang paling populer dan diminati untuk belajar ialah, youtube dan instagram, sarana penyebarannya pun cukup mudah, dengan potongan potongan video dari orang-orang yang berbicara agama, yang keilmuannya belum bisa dipertanggungjawabkan kemudian ditambah bumbu editan sedikit dengan kine master maka konten New Media siap diunggah dalam content communities atau jejaring sosial. Karena kreativitas orang-orang ini, maka layak disebut sebagai religious entrepreneur.
Produk mereka adalah konten-konten islami, dan outputnya adalah menciptakan otoritas-otoritas keagamaan baru lagi, maka otoritas keagamaan baru ini bisa dibilang cukup luas dan labil. Fenomena selebgram yang berbicara mengenai islam cukup kontroversial dan menimbulkan berbagai polemik, dimana seorang dokter yang tidak pernah menempuh pendidikan islam baik formal maupun nonformal, tiba-tiba berdakwah layaknya seorang ulama ataupun kyai yang sudah lama belajar ilmu keagamaan. Begitu juga, mantan preman yang tiba-tiba bertaubat dengan jawabannya mendapat hidayah oleh allah, kemudian berani menyalahkan otoritas islam lainnya.
Karena itu generasi muslim sekarang tampak cukup menguasai ilmu keislaman meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah Islam atau pesantren. Mereka belajar Islam tanpa dimentori oleh ulama atau kyai. Artinya generasi muslim sekarang mempelajari Islam dari sumber-sumber baru yang berbeda dengan sumber pengetahuan tradisional sebelumnya. Maka, adanya perbedaan inilah yang menciptakan gap diantara traditional religious authority dan new religious authority.
Sebagai studi kasus momen-momen penyelenggaraan pilkada di DKI Jakarta 2017 yang kemudian disusul Pilpres 2019, merupakan momen kritis yang mempertarungkan antara aktor politik yang mempermainkan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik elektoral mereka.
Dan sebagai penutup tulisan ini, otoritas poltik dan keagamaan baru cenderung melebur, intervensi New Media begitu kuat dan fenomena banyaknya ulama dari otoritas keagamaan baru cenderung mengharamkan non-muslim menjadi seorang gubernur, dan calon presiden sesuai dengan ijtima’ ulama’, karena ada calon gubernur tersebut dinilai telah menistakan agama–dari otoritas islam baru–melalui sebuah potongan video yang telah digoreng dengan New Media, dan calon presiden dinilai harus membawa dan memperjuangkan simbol-simbol islami.
Lantas jika persoalan ini dibangun melalui pendekatan epistimologis, maka rakyat seharusnya paham fenomena seperti ini bermuatan idealis ataukah oportunis?