Kamis, April 25, 2024

Pendidikan Profetik: Belajar Sambil Puasa

Amri Ikhsan
Amri Ikhsan
Saya seorang guru yang hobbi menulis

Situasi pendidikan kita hari ini menyimpan banyak persoalan yang perlu diselesaikan. Di balik semangat perubahan abad 21, wajah pendidikan Indonesia saat ini berada dalam keadaan gawat darurat.

Sering ditemukan, tidak sedikit peserta didik kita menjadi pengguna narkoba dan miras, terlibat tawuran, pergaulan bebas, gemar berpesta dan menonton film porno, dan sebagainya. Padahal, mereka adalah remaja harapan bangsa yang seharusnya belajar menjadi pemimpin masa depan, bukan merusak diri dan menjadi calon generasi yang hilang.

Beberapa kasus yang menunjukkan ‘kelakuan’ siswa: dicoret pipinya dengan tinta, murid aniaya gurunya hingga meninggal, menantang berkelahi kepala sekolah, aksi melecehkan guru perempuan, bocah SD pukuli dan umpat monyet pada gurunya, merokok dan mengangkat kakinya di sebelah guru, siswi berpose menantang kelahi guru (brilio.net).

Situasi ini harus mulai diakhiri dengan menjadikan momen puasa ramadan dengan mengedepan pendidikan profetik. Inti pendidikan tidak hanya menumbuhkan siswa cerdas, hebat tapi juga berakhlak mulia, terampil bekerja professional, talaten berkomunikasi santun dengan semua pihak dan tidak terjebak ‘berpikir pendek’ dalam menuntut ilmu.

Misi utama kependidikan Nabi adalah pembentukan karakter yang bermula dari penanaman tauhid kepada Allah yang Maha Esa, kemudian dibarengi dengan pembentukan karakter positif lainnya sebagai basis untuk membangun pribadi yang kuat baik secara akidah maupun mental untuk menghadapi dinamika kehidupan sosial (Askar). Dalam konteks ini, urusan nabi adalah otoritas Allah SAW, tapi kita bisa mengarahkan ucapan, prilaku mendekati sifat sifat Nabi.

Dalam konteks pembelajaran, maka seorang guru tidak hanya sibuk mempersiapkan rencana pembelajaran, materi serta strategi dan evaluasi pembelajaran, tetapi juga harus mampu menjadi teladan yang baik bagi peserta didik, baik dalam berpikir, bertindak dan berkomunikasi.

Guru harus mampu menjadi fasilitator yang baik dalam komunikasi santun.
Dalam konteks pendidikan, nabi memiliki tugas pertama adalah memahami Al-Qur‟an berarti nabi harus menguasai ilmu (ilahiyah) yang akan menjadi materi dan dijelaskan kepada peserta didik, menyampaikan materi (ajaran) tersebut kepada umat (peserta didik), melakukan kontrol dan evaluasi dan jika terjadi penyelewengan dilakukan pendisiplinan diri agar tujuan pendidikan (ajaran) dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Terakhir, nabi memberikan contoh dan model ideal personal dan sosial lewat pribadi nabi yang menjadi rasul dan manusia biasa (Kontowijoyo). Agar tugas-tugas kenabian tercapai, setiap nabi diberikan sifat-sifat mulia yaitu: pertama, jujur (al-sidq), selalu membuktikan bahwa apa yang ia ucapkan adalah untuk dilaksanakan atau diwujudkan dalam perbuatan yang nyata.

Orang yang jujur tidak sekedar berbicara, berwacana tanpa adanya bukti yang nyata. Jika seseorang hanya pandai berbicara, tetapi tidak mampu membuktikan ucapannya dalam tindakan nyata, maka orang tersebut belum dapat dikatakan jujur. Orang yang tidak jujur sangat di benci oleh Allah SWT.

Kedua, komunikatif (al-tablig), selalu menyampaikan ajaran dan kebenaran, membangun komunikasi yang baik, mampu berinteraksi secara positif, mampu membangun jaringan, baik pada skala organisasi, skala nasional atau bisa jadi pada skala internasional dan berkemampuan merealisasikan pesan atau misi tertentu yang akan dilakukannya dengan pendekatan tertentu yang penuh dengan strategi dan taktis demi mencapai tujuan.

Ketiga, amanah (Dapat dipercaya): konsekuen, konsisten (istiqamah), sepenuh hati, bersungguh-sungguh, penuh loyalitas dan dedikasi, mengamalkan tugas dan pekerjaan yang disandangnya, bahkan mengembangkan produktivitas dan kinerjanya, mengembangkan dan memperbaiki kinerja dirinya dari hari ke hari secara berkesinambungan.

Keempat, fathonah (Cerdas): memiliki keagungan jiwa, kekokohan keyakinan, dan ketegaran batin, sehingga ia akan sukses memimpin organisasinya, bersikap bijak dan menjunjung tinggi kebajikan, mampu mengubah suatu Situasi yang rumit menjadi mudah, sesuatu keadaan yang kritis menjadi normal kembali dan selalu bersikap dan berupaya secara proaktif dan antisipatif (Samni Muchlas).

Nabi SAW berhasil menjalankan kurikulum berkarakter bukan karena sistem pendidikan modern, berteknologi tinggi, hebat, ilmiah, melainkan karena kepribadian dan keteladanannya dalam mendidik. Beliau mendidik siswanya dengan cinta sepenuh hati, kata dan perbuatan nyata terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan profetik yang diteladankan Nabi SAW merupakan model pendidikan paling jitu yang tetap relevan untuk di zaman kekinian. Pendidikan profetik dibangun berlandaskan nilai-nilai ketuhanan (akidah tauhid yang benar), nilai-nilai kemanusiaan (simpati, peduli, menghargai perbedaan, menghormati kebinekaan), dan nilai-nilai akhlak mulia (jujur, amanah, sabar, baik hati, ikhlas berbagi) (Wahab).

Pendidikan profetik yang diteladankan Nabi SAW bukan terletak pada laporan administrasi, kehadiran maksimal dan penilaian atasan yang kadang kadang membatasi dan menghambat tumbuhnya kreativitas, tapi terletak pada figur teladan sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam mewujudkan proses pembelajaran bermutu.

Pendidikan profetik tidak mementingkan finger print, PKG untuk menilai kinerja, lebel sekolah unggul, sekolah berakreditasi, sistem pendidikan ini terintegrasi dan terkoneksi dengan muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah langsung) sekaligus taqarrub ila Allah (pendekatan diri kepada Allah).

Hal yang menjadi dasar penerapan pendidikan profetik yang harus diperhatikan para stakeholder pendidikan, pertama, humanisasi, pendidikan semestinya berorientasi pada proses memanusiakan manusia.

Menempatkan peserta didik sebagai subjek pendidikan bukan sebagai objek. Artinya, pendidikan tidak mencetak peserta didik sebagai robot pekerja. Di samping itu, pendidikan juga resisten terhadap bentuk bentuk dehumanisasi.

Kedua, liberasi, proses pembebasan manusia dari cengkraman kebodohan dan dari segala bentuk penindasan. Bahwa, pendidikan semestinya adalah upaya sistematis untuk meretas ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi di masyarakat. Olehnya itu, peserta didik dilatih berfikir secara kritis supaya sadar akan persoalan di sekitarnya dan kreatif merumuskan jalan keluar.

Ketiga. Transendensi berarti, pendidikan sebagai locus atau sarana yang menjembatani peserta didik dengan tuhannya. Sebab, sisi transendental dalam pendidikan itulah yang menjadi tenaga masyarakat modern untuk “melawan” arus kapitalisme dan neoliberalisme. Nilai transendensi juga berupaya menanamkan moralitas dan budi pekerti kepada peserta didik (Kontowijoyo).

Belajar sambil puasa atau puasa sambil belajar, ini Cuma istilah. Yang penting pembelajarannya berbasis profetik, agar pahala amal ibadah berlipat ganda, aamiin!

Amri Ikhsan
Amri Ikhsan
Saya seorang guru yang hobbi menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.