Jumat, Mei 3, 2024

Pendidikan Nirkekerasan di Media Sosial

Nur Azis Hidayatulloh
Nur Azis Hidayatulloh
Mahasiswa dan Tinggal di Yogyakarta

Kondisi paling viral dan kerap menjadi buah bibir di kalangan akademik yang berkecimpung di ranah pedagogik dasar negara menengah selama satu abad terakhir tak terlepas dari pewacanaan hilangnya nilai dan norma dalam wajah dunia maya kita.

Persoalan pendidikan nilai pada individu, saat ini yang dianggap dekaden itu ditekankan sebagai tema sentral di gelanggang populer dan ilmiah. Percakapan publik kita di media massa, seminar dan jurnal seakan-akan tak luput dari percakapan pendidikan nilai, baik memproblematikannya secara teoretis maupun praktis.

Pendidikan nilai diproyeksikan sebagai antitesis sekaligus solusi praktis mengatasi banalitas perilaku manusia modern saat ini. Kerangka ini selalu diproduksikan terus menerus oleh para pengkaji dan pengkonstruksi peminat pendidikan dari tingkat yang kecil, daerah hingga yang lebih luas yakni pemerintah pusat.

Viral-nya konten kekerasan, yang selama ini sering muncul di berbagai media sosial, menjadi sebuah gambaran baru tentang pentingnya perihal kehati-hatian dalam share konten. Melihat dari pengalaman yang selama ini terjadi, banyak konten yang secara cepat menyebarkan berbagai konten yang berisi kekerasan, dalam bentuk fisik maupun verbal dihadapan khalayak umum. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwa  isi konten tersebut banyak menjadi pemicu dalam aksi percontohan yang bisa saja terjadi di lain pihak.

Kita ambil saja, salah satu konten viral aksi kekerasan yang menghentakkan jagat publik kita belum lama ini. Video perihal brutalitas manusia membunuh dengan secara sadis hanya karena sebuah kebencian dalam viralitas dukungan. Korban nahas itu bernama Hariangga Sirla, kebringasan kekerasan yang secara manusiawi tidak bisa ditolerir. Berbeda dukungan tidak menjadikan alasan untuk melakukan pembunuhan kejam, sama sekali tak menunjukan wajah bangsa kita sebagai bangsa ketimuran.

Belum lama juga kasus viralnya aksi kekerasan kembali terulang. Senin (10/12), seorang mahasiswa tewas dianiaya karena dituduh melakukan aksi pencurian di tempat Ibadah. Video aksi kekerasan tersebut viral, hingga mengakibatkan tewasnya mahasiswa itupun sontak tersebar dengan cepat. Kondisi ini membuat prihatin semua pihak, selain aksi main hakim sendiri, kejadian tersebut terjadi ditempat Ibadah yang notabene menjadi tempat paling suci dan disucikan.

Secara cepat, video kekerasan tersebutpun tersebar ke publik. Semua bisa mengunduh dan melihat aksi kekerasan tersebut tanpa suatu hal yang bisa terikat. Media sosial, sebagai media tanpa editor yang tidak mempunyai etika dalam melakukan penyaringan konten dari isi yang tersebar membuat setiap konten bisa secara cepat ditelusuri dan dicari.

Hal ini menjadi keprihatinan kita bersama, peran dari warganet kita masih belum teredukasi dengan baik. Ketika mengetahui konten yang berbahaya, terkhusus yang terdapat konten kekerasan malah terus disebarkan ke saluran informasi lainya.

Dampak yang dirugikan dalam hal ini, salah satunya anak-anak dan remaja. Mereka yang masih secara polos mengkonsumsi konten media yang berisi aksi kekerasan, akan meniru dan menjadikan sebagai pembiasaan, terkhusus terkait perihal membagikan sebuah konten yang berisi kekerasan didalamnya.

Literasi Digital 

Teknologi dan Informasi sudah menggelayuti ranah jagat publik kita, perkembangnya memunculkan sebuah habituasi baru dalam budaya siber. Segala informasi berpindah tangan dengan cepat, tanpa suatu kondisi dalam proses penyaringan secara cepat informasi itu dikonsumsi oleh kalangan publik. Media sosial, berubah menjadi platform arus utama dalam proses pencarian dan bertemunya antara pencari informasi dan penikmat informasi.

Dalam proses persebaran konten, dalam media sosial tidak mengenal istilah “kurator” atau “editor” yang sering digunakan dalam etika penyebaran informasi seperti di media mainstream. Hal ini yang menjadi sebuah kondisi problema belakangan ini. Publik kita tidak seimbang antara kecepatan datangnya informasi, dengan menemukan ketepatan informasi tersebut. Sehingga, kemudian yang terjadi segala informasi diambil tanpa suatu proses penempatan asas mencari kebenarannya.

Padahal merujuk Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan bahwa hasil survei mereka pada tahun 2016 bahwa media sosial online menempati urutan pertama jenis konten yang biasa diakses pengguna internet dengan presentase 97,4%. Lebih lanjut, Hasil riset online diselenggarakan oleh  ComScore menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara keempat yang paling banyak menggunakan facebook di dunia. Tak hanya itu, mereka memberikan julukan “Twitter Nation” kepada Indonesia sebagai  negara yang paling kecanduan twitter di dunia.

Perihal hukum memproduksi dan menyebarkan konten yang dilarang, sebenarnya sudah terdapat seperangkat aturan untuk mengontrol penggunaan medsos, salah satunya yaitu UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE). Akan tetapi aturan tersebut masih dianggap sebagian orang belum efektif karena terdapat beberapa pasal yang sering disebut sebagai pasal karet karena pasal tersebut rawan disalahgunakan.

Disini peran publik yang lebih dikenal dengan warganet, mempunyai peran andil yang cukup besar. Kondisi terkini perihal semakin mudahnya setiap individu menyebarkan konten kekerasan. Bahwa konten kekerasan ditakutkan menjadi sebuah perilaku yang menjadi habit pada anak-anak dan remaja. Perlu langkah secara tepat dan berkelanjutan, agar perilaku ini tidak menjadi momok menakutkan bagi bangsa kita kedepannya.

Pendidikan, yang selama ini menjadi institusi pembentuk nilai pribadi, lingkup tersebut tak bisa berlangsung lagi. Melihat dunia sudah berubah drastis, nilai dan norma sudah menjelma sedemikian rupa. Membaur dan menyatu dalam setiap kondisi di teknologi yang semakin kompleks perkembanganya. Media sosial menjadi arus utama dalam percepatan informasi tersebar. Asas ketelitian dan penyaringan (filter) menjadi perilaku dini yang penting untuk mencegah konten kekerasan masuk dalam genggaman anak-anak atau remaja.

Erich Fromm dalam sebuah bukunya yang terkenal The Anatomy of Human Destructiveness (1973), membedakan apa yang disebut agresi lunak dan agresi jahat. Agresi lunak adalah sebuah desakan untuk melawan atau melarikan diri ketika kelangsungan kehidupan hayatinya terancam.

Agresi lunak defensif ini bagi manusia biasanya dimaksudkan untuk mempertahankan hidup spesies atau individu, bersifat adaptif biologis, dan hanya muncul jika memang ada ancaman. Sementara itu, yang disebut agresi jahat, umumnya tidak memiliki tujuan dan muncul hanya karena dorongan nafsu belaka. Agresi jahat yang berkembang di kepala manusia, termasuk di kalangan warganet dapat dikurangi bila di sekitar lingkungan kita yang menguntungkan dan memfasilitasi kreativitas dalam hidup.

Literasi digital paling mendesak untuk segera dikampanyekan, pembiaran terhadap penyebaran konten kekerasan sama saja membiarkan pendidikan kita, terkhusus anak-anak tergerus nilai yang selama ini mereka dapatkan. Malasnya kita dalam pelaporan konten, sama saja merelakan kebringasan manusia yang tak memiliki hati nurani memenuhi ruang publik bangsa kita.

Nur Azis Hidayatulloh
Nur Azis Hidayatulloh
Mahasiswa dan Tinggal di Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.