“Dijadikannnya akun Instagram sebagai alat bukti dinilai tidak tepat sebab yang diatur dalam UU ITE adalah informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang mana dalam kasus ini adalah uanggahan. Pada kasus-kasus sebelumnya seperti Vanessa Angel dimana akun media sosial Vanessa Angel disita namun dalam putusan akhir tidak dijadikan alat bukti.”
UU No 19 tahun 2016 jo UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE sering dinobatkan oleh rakyat Indonesia sebagai salah satu hukum yang kontroversial. Kali ini, kasus yang beredar luas di media sosial adalah penangkapan dr Richard Lee yang dijerat dengan UU ITE tepatnya illegal access atau akses illegal. Kasus ini sendiri merupakan lanjutan dari kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh artis Kartika Putri setelah Kartika Putri tidak terima dengan review yang diberikan dr Lee terhadap produk kecantikan yang dipromosikan Kartika Putri.
Dari kasus pencemaran nama baik tersebut, akun Instagram pribadi dr Lee ditetapkan sebagai barang bukti dimana artinya tidak boleh diakses kembali. Namun, dr Lee beberapa hari sebelum ditangkap atas akses illegal, telah mengakses akun Instagram tersebut. Hal tersebut menyebabkan dr Lee ditangkap atas pelanggaran Pasal 30 ayat (3) UU ITE yang mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja mengakses computer atau sistem elektronik dengan melanggar atau menjebol sistem pengamanan dapat dipidana penjara 8 tahun dan/atau denda maksimal 800 juta rupiah.
Penangkapan tersebut mengundang perdebatan dari internet netizen atau netizen Indonesia yang sebagian besar melihat bahwa sejak awal kasus pencemaran nama baik, dr Lee seharusnya tidak bersalah. Segala upaya untuk membebaskan dr Lee pun dilancarkan oleh para netizen salah satunya merupakan petisi di laman Change.org yang menerima 257 ribu tanda tangan. Kasus ini juga menghidupkan kembali pertanyaan masyarakat apakah UU ITE pantas untuk menjadi hukum dalam jenis kasus yang dialami dr Lee tersebut.
Menyangkut kasus ini, terdapat suatu hal penting yang perlu diingat yaitu alat bukti akun Instagram yang diakses. Sudah seharusnya bagi tim cybercrime untuk menutup akses terhadap akun tersebut secara sepenuhnya. Jika benar akun yang dijadikan barang bukti dapat diubah kata sandi nya maka terdapat potensi bukti tersebut tidak otentik. Perlu dibuktikan juga jika pengaksesan akun Instagram tersebut menyebabkan kekosongan hukum terhadap kasus awal sebab kasus pencemaran tersebut dibawa melalui dua jalur yang berbeda dengan hasil yang berbeda.
Pada jalur perdata dr Lee memenangkan gugatan dan pada jalur pidana sebaliknya. Jika dikaitkan dengan Pasal 30 ayat (3) UU ITE, dapat dipertimbangkan pula bahwa penyitaan akun Instagram ini kurang tepat sebab yang menjadi barang bukti hanya beberapa unggahan saja. Disisi lain, pengaksesan akun tersebut dapat dikategorikan sebagai akses illegal sebab tidak ada permohonan atau izin pinjam akun kepada pihak kepolisian terhadap akun yang sudah disita tersebut. Dijadikannya akun Instagram sebagai alat bukti juga menimbulkan perdebatan sebab yang diatur dalam UU ITE adalah informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang mana dalam kasus ini adalah unggahan.
Akun media sosial sebagai alat bukti juga dapat dinilai kurang tepat dari yang bisa dilihat pada kasus-kasus sebelumnya seperti kasus Vanessa Angel dimana akun media sosial Vanessa Angel disita namun dalam putusan akhir tidak dijadikan alat bukti. Selain perdebatan apakah akun media sosial dapat dijadikan bukti dalam kasus ini, persoalan apakah dr Lee bersalah menjadi suatu topik diskusi sendiri.
Sebagian besar masyarakat menilai bahwa unggahan review tersebut hanya sebuah video edukasi terhadap kosmetik berbahaya dan bukan merupakan niat jahat dr Lee untuk merugikan pihak-pihak tertentu. Perlu diingat juga bahwa UU ITE awalnya merupakan undang-undang yang mengutamakan keamanan masyarakat dalam keamanan data dan transaksi e-commerce, namun praktiknya UU ITE lebih sering digunakan dalam kasus pencemaran nama baik yang hanya secara langsung diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 27.
Penggunaan pasal tersebut sering juga dinilai tidak efektif karena deinisi pencemaran nama baik masih dianggap terlalu luas. Dalam kasus-kasus yang ditemui mayoritas laporan terkait pencemaran nama baik hanya didasari “sakit hati” saja. Melihat banyaknya masyarakat yang terjerat pasal tersebut, ruang lingkup pencemaran nama baik dapat dipersempit dengan menambahkan akibat dari pencemaran tersebut sebagai contoh kekerasan.
Secara garis besar, banyak substansi dari UU ITE yang perlu diubah terutama pasal yang mengatur pencemaran nama baik. Sebab Indonesia merupakan negara demokrasi dimana masyarakat memiliki hak atas kebebasan berpendapat namun terkadang UU ITE menjadi penghalang pemenuhan hak tersebut. Penetapan akun media sosial sebagai alat bukti juga perlu diatur secara eksplisit sebab dengan keadaan saat ini, masih banyak ruang ambiguitas yang memberi kesempatan bagi hilangnya otentisitas alat bukti.
Lebih lagi, dengan substansi UU ITE yang mengutamakan dokumen dan transaksi elektronik, langkah selanjutnya yang dapat diambil adalah pembaharuan terhadap aturan dalam Pasal 27 dan 28 UU ITE tersebut agar diatur lebih detail lagi.
Referensi Tulisan:– UU No.19 Tahun 2016 jo UU No.11 Tahun 2008 Tentang ITE.- Isma, N.L. and Koyimatun, A., 2014. Kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik pada dokumen elektronik serta hasil cetaknya dalam pembuktian tindak pidana. Jurnal Penelitian Hukum Gadjah Mada, 1(2), pp.109-116.- Majalah Konstitusi No.29-2009 Tentang Putusan MK: Ancaman Pidana “Cybercrime” dalam UU ITE adalah Konstitusional.- Prof. Sajipto Rahardjo, Hukum Progresif.