Bencana alam yang disebabkan oleh faktor cuaca, iklim dan geologis seperti hujan, kekeringan, atau gempa bumi kerap tidak bisa dicegah. Tindakan terbaik yang bisa diupayakan adalah meminimalkan risiko yang mungkin terjadi.
Meminimalkan risiko berarti mengurangi sebisa mungkin obyek, baik manusia, infrastruktur, sistem sosial, ekonomi dan lain-lain yang mungkin terpapar. Selain itu meningkatkan kemampuan subyek untuk bisa beradaptasi dan menurunkan faktor lain penyebab kerentanan.
Bencana tidak mengenal batas administrasi. Setiap jenis bencana juga memiliki karakteristik alamiah yang berbeda. Sebab itu, usaha untuk meminimalkan risiko sebagai bagian dari upaya penanggulangan bencana bersifat lintas wilayah administratif.
Undang-Undang No. 24/2017 tentang penanggulangan bencana mendefinisikan pendekatan dan lingkup penanggulangan bencana sebagai satu proses yang dinamis dan berkelanjutan.
Dimulai sejak fase sebelum, saat terjadi dan setelah terjadinya bencana. Dari sini, jelas bahwa penanggulangan bencana lebih dari sekedar upaya tanggap darurat. Sebab itu, penanggulangan bencana berbasis kawasan bentang alam, lintas administratif dan berorientasi jangka panjang semestinya dioptimalkan.
Dari sisi kebijakan nasional, penanggulangan bencana khususnya koordinasi penanggulangan bencana didukung oleh sejumlah legislasi. Diantaranya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan –mengatur hubungan antara pemerintah daerah dengan lembaga lain, termasuk dalam urusan penanggulangan bencana; UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana-mengatur juga wewenang lembaga dalam penanggulangan bencana dan mengatur pelaksanaan koordinasi.
Selain itu terdapat kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah hingga Peraturan Menteri yang mengatur pembagian tugas hingga pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Contoh upaya penanggulangan bencana lintas administratif yang bisa disodorkan salah satunya adalah kejadian erupsi Gunung Merapi (2006 dan 2010). Muntahan lahar panas Merapi berdampak pada lebih dari satu Kabupaten. Yakni Boyolali, Sleman, Magelang dan Klaten.
Koordinasi tanggap darurat, proses pemulihan dan rehabilitasi dan antisipasi kejadian yang sama dimasa depan, berlangsung dan melibatkan kementerian, pemerintah daerah hingga desa dan pihak diluar pemerintah. Hanya saja, dalam kasus ini, koordinasi dipicu dan terkondisikan oleh kejadian bencana skala besar yang memakan korban. Masih minim sampel praktek baik pada fase kesiap-siapan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana lintas administratif di daerah memiliki tantangan. Terutama pada fase kesiap-siapan yang mensyaratkan adanya kerja sama antar kepala daerah secara lebih permanen dan mengikat.
Pada fase ini, perlu dilakukan pengkajian mendalam atas risiko bersama yang dihadapi dan menyusun rencana tindak bersama. Penataan dan penyelenggaraan pembangunan daerah saat ini masih difokuskan pada batas wilayah administrasi masing-masing.
Beberapa inisiatif penyelenggaraan bersama urusan pemerintah daerah lintas administrasi yang pernah ada seperti urusan transportasi dan manajemen wilayah tangkapan air lebih sering bersifat ad-hoc.
Selain itu terbentur kepentingan yang berbeda dari masing-masing wilayah. Potensi skala dampak bencana yang diterima oleh masing-masing wilayah terang saja berbeda. Demikian pula kontribusi yang mungkin diberikan sebagai tindakan pengurangan risiko akan berbeda. Karena itu membutuhkan kerelaan masing-masing untuk memobilisasi sumber daya dan menerapkan prinsip-prinsip pengurangan risiko yang saling berkait antar wilayah.
Pada tingkatan yang lebih kecil, kerjasama antar desa untuk penanggulangan bencana sangat mungkin untuk dilakukan. Undang-undang Desa No. 6/2014 menyerahkan kewenangan pembangunan kawasan perdesaan kepada pemerintah daerah melalui Satuan Kerja Pemerintah Daerah.
Sementara, Pembangunan kawasan perdesaan yang berskala lokal diserahkan melalui kerja sama antar desa dserahkan kepada pemerintah desa melalui kelembagaan Badan Kerja Sama Antar Desa yang diatur melalui peraturan bersama Kepala Desa.
Selama ini, orientasi kerja sama antar desa lebih didorong pada usaha mengungkit produktivitas ekonomi kawasan. Padahal, penanggulangan bencana antar desa merupakan upaya antisipatif yang penting.
Sebab jika tidak dilakukan akan berpotensi menimbulkan risiko ekonomi yang lebih besar. Sebaliknya, usaha ekonomi antar desa yang dibangun dengan mempertimbangkan aspek risiko bencana didalamnya akan memungkinkan kawasan tersebut menjadi lebih tangguh.
Pokok penyelenggaraan penanggulangan bencana lintas administratif terletak pada hadirnya fasilitasi kepala daerah pada tingkat yang lebih tinggi. Keterlibatan semacam ini memungkinkan berlangsungnya koordinasi dan kerjasama penanggulangan bencana secara efektif. Di luar itu, kita lagi-lagi harus kembali berharap pada komitmen dan keinginan politik –mudah dilafalkan namun butuh pembuktian wujudnya.