Pada akhir tahun 2019 dunia mengalami guncangan dengan pemberitaan Covid 19 yang pertama kali muncul di kota Wuhan China. Pandemi ini telah menelan ribuan jiwa dalam jangka waktu yang cepat. Hal ini menjadi perhatian oleh banyak negara termasuk di Indonesia.
Pemerintah kemudian melakukan kebijakan social distancing. Kebijakan ini diberlakukan agar masyarakat di Indonesia masih tetap beraktivitas dalam mencari nafkah. Namun karena terjadi lonjakan pada jumlah masyarakat yang terpapar virus Covid 19 sehingga diberlakukan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarkat (PPKM) pada tanggal 3 Juli sampai 20 Juli 2021 yang pada akhirnya berdampak di segala bidang kehidupan masyarakat terutama bidang ekonomi.
Kebijakan penanganan virus ini jauh sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Pemerintah kolonial Belanda pada abad ke 19 dalam menekan wabah penyakit yang terjadi di kawasan Hindia Belanda.
Wabah Flu Spanyol
Virus Covid 19 yang menjadi pandemi di seluruh dunia memiliki kemiripan dengan pandemi flu Spanyol atau influenza yang menurut sejarawan Ravando Lie terjadi dalam dua gelombang yakni gelombang pertama pada Juli – September 1918 dan kedua pada akhir November – Desember 1918.
Penyebab Flu Spanyol
Menurut Buku Perang Melawan Influenza karya Ravando Lie, virus flu Spanyol berasal dari Spanyol yang diakibatkan oleh gas beracun Perang Dunia I yang terbawa oleh udara dan air. Penyebarannya bermula dari Sumatra lalu ke Jawa, Borneo dan pada gelombang kedua menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Virus ini menyebar dibawa oleh para kuli, pedagang dan penumpang dari Singapura atau Penang melalui jalur laut mengingat kurang ketatnya peraturan di pelabuhan.
Dampak Flu Spanyol
Wabah flu Spanyol mengakibatkan lumpuhnya berbagai bidang kehidupan seperti kantor berita, kantor pemerintahan, kantor pelayanan publik yang tutup karena karyawan sakit. Selain itu, wabah flu Spanyol mengakibatkan kriminalitas meningkat terutama pencurian yang didorong oleh sulitnya kebutuhan ekonomi akibat adanya penerapan isolasi dan sosial distancing di beberapa daerah.
Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya petugas keamanan seperti polisi yang terjangkit oleh virus ini sehingga membuat kehidupan sosial masyarakat pada saat itu semakin kacau dan tindak kriminalitas semakin merajalela dimana-mana akibat kurangnya personil keamanan.
Surabaya sebagai Episentrum Wabah Flu Spanyol
Surabaya menjadi daerah dengan jumlah mortalitas terbanyak. Hal ini dipengaruhi oleh letak dan geografis Surabaya yang menjadi pintu gerbang pertama bagi para pendatang dari luar daerah melalui pelabuhan karena pengawasannya yang kurang ketat dan pendatang tidak diwajibkan membawa surat kesehatan atau dicek kesehatan.
Menurut koran Pewarta Soerabaia korban meninggal di Surabaya bisa mencapai 75 orang per hari. Pada gelombang kedua angka kematian bertambah yang didasarkan oleh Kolonial Verslag dalam buku Ravando Lie yaitu 416.000 jiwa pada bulan November 1918.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda menangani Flu Spanyol
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menekan lonjakan korban flu Spanyol memiliki kemiripan dengan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat menangani virus Covid 19. Kebijakan yang dilakukan pemerintah kolonial seperti mengerahkan Dinas Kesehatan Rakyat untuk, melakukan penelitian laboratoriun guna menemukan obat yang dapat memberantas influenza yang kemudian dibagikan kepada masyarakat; memberikan instruksi pembagian masker di wilayah yang terjangkit; propaganda kesehatan melalui jalur birokrasi (dilakukan oleh unit administratif seperti asisten wedana dan wedana) dan jalur kesenian (membuat buku pedoman penyakit influenza dalam bahasa dan tulisan jawa berupa percakapan tokoh wayang Punakawan); membentuk Komisi Influenza
Perumusan dan pengesahan undang-undang influenza salah satunya berisi pembatasan transportasi perkapalan
Kebijakan ini pun tidak serta merta mendapat persetujuan dari berbagai pihak. Bahkan setelah pemerintah Hindia Belanda mengesahkan Influenza Ordonnantie pada tanggal 20 Oktober 1920 yang mengatur tentang keluar-masuknya kapal di pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda, kaum pengusaha perkapalan yang tidak menerima peraturan tersebut dikarenakan berakibat pada pendapatan perusahaan kapal maupun distribusi bahan bahan baik makanan, perdagangan yang terhambat akibat kebijakan tersebut. Hal ini pun tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada saat pandemi Covid 19, banyak pelaku usaha yang mengeluhkan kebijakan PPKM karena membuat usaha mereka menjadi lumpuh dan tidak berjalan.
Wabah Pes
Kebijakan covid 19 seperti isolasi juga memiliki kemiripan dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah Kolonial saat menghadapi pagebluk pes di beberapa daerah. Wabah pes atau sampar merupakan penyakit yang disebabkan oleh tikus. Pes muncul di Hindia Belanda pada tahun 1905 di Deli, Sumut yang ditandai dengan meninggalnya dua kuli beras secara misterius. Setelah dilakukan penelitian, para dokter memperingatkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk berhati-hati dikarenakan penyakit tersebut telah mewabah di Asia akhir abad 19 tepatnya di Cina, Myanmar dan Jazirah Arab. Namun pemerintah Hindia Belanda menyelepekan masalah tersebut dan tetap memutuskan untuk mengimpor beras dari Myanmar pada saat Jawa mengalami defisit beras.
Wabah ini bermula setelah beras yang disimpan di Malang yang bersuhu dingin menjadi sarang bakteri penyebab pes yaitu Yersina Pestis menyebar ke tikus lokal setelah itu tikus lokal menyerang pemukiman penduduk dengan membawa penyakit.
Jumlah Korban Pes
Menurut Sejarawan Syefri Luwis penduduk Malang yang meninggal akibat pes tahun 1911 berjumlah 2.100 jiwa, tahun 1912 berjumlah 2.000 jiwa, tahun 1913-1916 berturut turut jumlah korban 11.384 jiwa, 15.751 jiwa, 1.638 jiwa dan 595 jiwa sampai tahun 1916 penyakit ini membunuh 80% penduduk Malang. Pada tahun 1910 – 1939 di Jawa Timur korban pes berjumlah 39 ribu jiwa, di Jawa Tengah 76 ribu jiwa, Jogja 4.355 jiwa dan di Jawa Barat 70 ribu jiwa.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda menangani Wabah Pes
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda kala itu memiliki kemiripan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yakni menerapkan lockdown dan mengisolasi kota Malang yang didasarkan pada Staatblad 110 tentang peraturan karantina kesehatan; mengerahkan pasukan militer untuk melakukan penguncian wilayah terisolasi; sosialisasi penyakit melalui poster dan pengumuman; membasmi dan membakar sarang sarang tikus serta mengimbau warga untuk mengganti dinding rumah dengan dinding tembok; penyemprotan disinfektan dari air kapur dan formalin; pada tahun 1914 membentuk Dinas Pemberantasan Pes atau Dienst der Pestbestrijding; mengirimkan para dokter School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dan mantri pes ke wilayah terdampak pes.
Usaha dan upaya terus dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan bantuan para dokter Jawa salah satunya Dr. Ciptomangunkusumo yang menangani pasien pes hanya dengan alat kelengkapan yang seadanya saja. Berkat upaya Pemerintah Hindia Belanda dan peran dokter Jawa membuat wabah pes semakin mereda pada tahun 1916.
Apabila kita baca lebih seksama bahwa kebijakan pemerintah Kolonial memiliki banyak kemiripan dengan pemerintah Indonesia dalam menangani Covid 19 seperti lockdown, mengisolasi kota, membentuk lembaga yang khusus menangani Covid, menjaga kebersihan dan kesehatan sekitar lingkungan rumah seperti penyemprotan disinfektan pada saat masuk rumah.
Adanya wabah penyakit di masa kolonial Belanda memberikan pertimbangan dan kebijaksanaan bagi pemerintah Indonesia saat ini dalam memberikan kebijakan untuk menekan wabah penyakit yang terjadi di masa sekarang atau yang akan datang agar kejadian yang merugikan bisa lebih diminimalisir.