Hingga saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang yang secara spesifik mengatur pemindahan narapidana ke negara asal. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa pemulangan Mary Jane dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama hukum internasional yang dikenal sebagai mutual legal assistance (MLA)
Pemulangan Mary Jane dapat membuka jalan bagi pemindahan narapidana lain dan berpotensi mempengaruhi kebijakan hukuman mati di Indonesia
Beberapa pihak berharap langkah ini bisa menjadi pendorong untuk menghapuskan hukuman mati di masa depan, dan beberapa pakar hukum mengkritik pemulangan ini karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Mereka menekankan bahwa kejahatan yang dilakukan terjadi di wilayah hukum Indonesia dan seharusnya diatur oleh hukum Indonesia
Keputusan pemerintah Indonesia untuk memulangkan Mary Jane Veloso, terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, ke negaranya adalah langkah yang penuh makna dan kompleks. Dalam konteks hubungan bilateral, langkah ini mencerminkan komitmen Indonesia terhadap diplomasi dan kemanusiaan, meskipun Mary Jane telah terbukti bersalah berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Menjalani hukuman seumur hidup di Filipina, sebuah langkah yang dianggap lebih manusiawi
Mary Jane Veloso ditangkap pada tahun 2010 karena membawa 2,6 kilogram heroin dan dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Sleman pada tahun yang sama. Namun, kisahnya lebih dari sekadar kasus hukum; ia adalah simbol dari perjuangan melawan kemiskinan dan perdagangan manusia. Sejak awal, banyak yang berpendapat bahwa Mary Jane adalah korban dari situasi yang lebih besar—sebuah sistem yang memaksa individu terjebak dalam pilihan sulit akibat keterbatasan ekonomi.
Pemerintah Filipina, di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos Jr., telah berusaha keras untuk membebaskan Mary Jane. Dalam pernyataannya, Marcos menyebutkan bahwa pemulangan ini adalah hasil dari “perjalanan panjang dan sulit” yang melibatkan negosiasi selama lebih dari satu dekade. Ia juga menekankan pentingnya hubungan baik antara kedua negara dalam mencapai kesepakatan ini. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam sistem hukum dan kebijakan masing-masing negara, ada ruang untuk kerjasama yang saling menguntungkan.
Langkah yang dianggap lebih manusiawi
Dari sudut pandang hukum, pemulangan Mary Jane ke Filipina bukan berarti pengabaian terhadap hukum Indonesia. Sebaliknya, ini adalah pengakuan akan perubahan dalam kebijakan hukuman mati di Filipina, di mana pemerintah telah menghentikan penerapan hukuman mati untuk kasus narkoba. Dengan demikian, Mary Jane akan menjalani hukuman seumur hidup di Filipina, sebuah langkah yang dianggap lebih manusiawi dan sesuai dengan perkembangan norma hukum internasional.
Namun, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan. Apakah Mary Jane mendapatkan perlakuan yang adil selama proses hukum di Indonesia? Banyak pihak berpendapat bahwa sistem peradilan harus lebih peka terhadap konteks sosial-ekonomi terdakwa. Kasus Mary Jane mengingatkan kita bahwa setiap individu memiliki latar belakang dan cerita yang unik—seringkali terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Dalam konteks yang lebih luas, pemulangan Mary Jane bisa dilihat sebagai momentum bagi Indonesia untuk merefleksikan kembali kebijakan hukuman mati secara keseluruhan. Pemulangan Mary Jane tidak hanya merupakan langkah diplomatik antara Indonesia dan Filipina tetapi juga menandai titik balik dalam kebijakan hukum terkait hukuman mati di Indonesia. Meskipun ada tantangan dan kritik terkait dasar hukum pemulangan tersebut, langkah ini dapat memicu diskusi lebih lanjut mengenai reformasi sistem peradilan pidana dan perlindungan hak asasi manusia bagi narapidana.