Jumat, April 26, 2024

Pemuda, Dana Desa dan Urbanisasi

bima aditiawan
bima aditiawan
little person with big heart, and full of hesitation

Aldi dan Yanto, dua pemuda desa, memperhatikan spanduk yang berjudul Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tahun 2017 yang terpasang di pojok gang lingkungan rumahnya. Spanduk dengan warna-warni mencolok tersebut diketik dengan ukuran huruf yang terlalu kecil, sehingga warga perlu memperhatikan dengan penuh seksama untuk dapat melihat data alokasi Dana Desa di Desa tersebut. Beberapa warga tampak berhenti sejenak untuk mendongakkan wajah dengan penasaran, beberapa yang lainnya tampak cuek dan tak mau tahu.

Dengan nada agak mencibir, Aldi berseru kepada Yanto tentang alokasi dana bagi Karang Taruna yang hanya sebesar 2,5 juta rupiah. Alokasi dana tersebut amat sangat sedikit dibandingkan dengan program revitalisasi lapangan tenis yang mencapai angka 90 juta rupiah. Dana 2,5 juta bagi Karang Taruna tersebut juga perlu dipertanyakan keberadaannya, karena sudah beberapa tahun belakangan Karang Taruna tidak lagi aktif dan berkegiatan.

Walau begitu, mereka berdua tidak ambil pusing dengan alokasi Dana Desa yang rancu disana-sini. Bagi mereka, kerancuan program desa memang hanya perlu dibicarakan di bilik remang angkringan. Mempertanyakan segalanya langsung kepada aparat pemerintahan Desa hanya akan membuat hidup menjadi runyam dan tak nyaman, karena sebaiknya dan utamanya kehidupan di desa itu memang “seharusnya” ayem tentram dan bersahaja.

Desa Ditinggalkan

“Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat menguburkan orangtuan mereka? Mengapa mereka kabur dari dari desa tempat mereka disunat? Mengapa mereka lebih menyukai kesejukan pohon yang tumbuh di sana daripada naungan hutan kita?”.  Max Havelaar – Multatuli

Aldi dan Yanto adalah beberapa pemuda yang masih bertahan di desa. Aldi adalah seorang mahasiswa yang sedang berusaha menyelesaikan studinya, sedangkan Yanto terus bergumul dengan usahanya di bidang perbaikan komputer. Sudah belasan teman-teman mereka telah pergi ke kota untuk mencari pekerjaan disana. Dari yang baru lulus SMK hingga sarjana. Pergantian tahun di desa menjadi pertanda akan berkurangnya warga usia muda yang akan tinggal dan menetap disana.

Sialnya, banyak pula orangtua yang menganggap bahwa pergi ke kota untuk bekerja adalah tahap awal dalam tangga kesuksesan. Kota dimana kapital berkumpul, menjadi tumpuan harapan bagi para pemuda dari berbagai daerah. Dengan berbekal kemampuan atau yang hanya punya keberanian, saling bertemu dan bersinggungan dalam pergulatan mencari pekerjaan.

Data yang dilansir Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta menyebutkan, semenjak Lebaran 2017, pendatang baru di Jakarta mencapai 70.752 orang. Dibandingkan pendatang saat Lebaran 2016, tahun ini jumlahnya naik 2,89% atau 68.763 orang. Data tersebut menunjukkan bahwa kota masih menjadi pilihan yang sexy dan aman bagi warga desa, baik yang sarjana hingga tidak memiliki ijazah, untuk mencari pekerjaan. Prospek kerja yang luas serta iming-iming gaji yang besar menjadi pendorong para pemuda desa untuk pindah ke kota.

Ditinggalkannya desa oleh kaum mudanya, menjadi sebuah indikator awal akan tibanya masa kejumudan, mulai dari lembaga-lembaganya, masyarakatnya, hingga gerak sosial-kulturalnya. Berpindahnya sarjana-sarjana desa ke kota adalah bukti bahwa desa masih terkesan tertinggal, dan bukan sebuah inkubator yang menarik untuk mengembangkan setiap mimpi para pemudanya.

Akses Pemuda pada Dana Desa

Saya menduga, tingkat literasi politik pada pemuda mempengaruhi kepedulian pada program Dana Desa itu sendiri. Walau sudah peduli pun, tidak mudah bagi para pemuda untuk mendapatkan bantuan dari program Dana Desa. Setidaknya, perlu akses kepada program Dana Desa melalui perangkat-perangkat Desa, mulai dari kepala Rumah Tangga (RT) hingga Kepala Desa itu sendiri. Kebijakan yang terlalu birokratif tersebut tidak disukai oleh para pemuda, terutama generasi milineal, yang membuat mereka menjadi apatis sehingga serapan anggaran kepada pemuda pun menjadi kecil.

Apakah Dana Desa bisa dialihfungsikan menjadi dana kredit makro bagi para wira usahawan di desa? Angka kapital yang besar dalam gelontoran Dana Desa perlu dialokasikan sebagai dana lunak yang dapat meningkatkan kemandirian serta kesejahteraan para wirausahawan. Jika, Dana Desa hanya terpaku pada kegiatan pembangunan fisik semata, maka desa tersebut tidak akan pernah mandiri. Sejatinya sebuah program bantuan merupakan alas dari kemandirian yang membawa ke tujuan, bukan tujuan itu sendiri.

Salah satu yang mendapatkan dana dari program Dana Desa adalah Karang Taruna. Menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Sosial No. 77 tahun 2010karang taruna adalah lembaga kemasyarakatan yang merupakan wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas adat sederajat dan terutama bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial, yang secara fungsional dibina dan dikembangkan oleh Departemen Sosial. Karang Taruna sebagai lembaga kemasyarakatan yang diakui, selain mempunyai hak untuk mendapatkan dana segar dari desa, juga dapat memposisikan diri menjadi lembaga pemeriksa juga teman setara untuk mengolah sumber daya desa melalui program-program dari Dana Desa tersebut.

Kegiatan Karang Taruna, yang menjadi kiblat bagi kelompok pemuda dalam ranah yang lebih kecil lagi (olahraga, keagamaan, pemuda RT) juga perlu direvitalisasi, seiring dengan perkembangan jamannya. Tidak lagi berkutat pada memperkuat “kerukunan dan kenyamanan” di lingkungan sekitar, sebaiknya Karang Taruna juga dapat menyuarakan nilai-nilai yang lebih politis dan bersifat universal. Karang Taruna dapat menuarakan gagasan-gagasannya pada program pemberdayaan, sosial kemasyarakatan dan juga program-program lainnya. Hal ini dapat terwujud jika sebelumnya akses terhadap literasi politik pemuda terbuka. Dengan adanya jaringan internet yang murah dan cepat, maka program literasi ini dapat segera terwujud.

Menurut penelitian yang dilakukan Setara Institut di Jakarta dan Bandung menyimpulkan bahwa 41 persen remaja SMA menghabiskan waktu selama lima jam per hari dalam menggunakan jaringan internet. Lebih dari 90 persen remaja menggunaknnya untuk mengakses aplikasi media sosial. Data ini memberi gambaran bahwa keterkaitan anak usia muda pada jaringan internet terutama media sosial, yang tak dipungkiri akan berdampak pula pada kehidupan sosial mereka, sangat besar. Media sosial menjadi kehidupan kedua mereka, tempat pelarian dan pelampiasan.

Dengan keberlimpahan akses serta didukung keterbukaan informasi, pemuda dituntut lebih aktif dalam mengkonsumsi data serta dapat mencernanya dengan baik sehingga menghasilkan bentuk kegiatan yang mempunyai daya bagi masyarakat sekitar. Peran perangkat desa dapat beralih fungsi menjadi pendamping bagi kelompok muda untuk dapat menyalurkan bakat dan minat yang menghasilkan sehingga membuat mereka menjadi mandiri. Dengan adanya minat untuk menjadi mandiri di desa sendiri serta ingin menjadi maju bersama dengan warga lain, membuat kaum muda lebih trengginas dan bersemangat dalam mengelola bakat serta rasa ingin tahu dan terus belajar.

Jadi, masihkah perlu kaum muda pergi ke kota?

bima aditiawan
bima aditiawan
little person with big heart, and full of hesitation
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.