Berbagai cara orang untuk merebut kuasa sebagai seorang pemimpin. Kepemimpinan lalu dijadikan wacana tawar-menawar (bargaining situation) antara yang akan memimpin dan yang akan dipimpin. Iklan pun merangsek ke setiap jengkal kehidupan demi memikat daya tarik massa. Pemasaran pemimpin semacam ini tidak lagi dianggap mengeksploitir kedaulatan massa, toh mereka nantinya akan mendapatkan fasilitas atas jasa dukungan mereka.
Celakanya, ada iklan calon pemimpin yang memperalat simbol agama sebagai komoditas. Terlepas apapun latar keberagamaannya, yang terpenting adalah bagaimana menggalang opini massa sebagai modal utama guna menggolkan tujuan terselubungnya.
Kepemimpinannya sangat bergantung pada iklan semata, bukan pada bakat dan keahlian. Justru bagi sebagian calon pemimpin, paham aji mumpung merupakan keniscayaan. Dalam benak mereka, mumpung masyarakat masih mengukur kualitas ketokohan seseorang tergantung pasar periklanan.
Petakanya lagi, ketika iklan yang mengumbar simbol agama menyalahi esensi ajaran agama. Lihat misalnya, belakangan jagad maya diriuhkan oleh video seorang bacapres yang menampilkan iklan adzan dalam tayangan sebuah televisi swasta dengan mempraktikkan ritual wudhu.
Dalam video itu sang bacapres mengenakan baju koko putih lengan panjang, melakukan wudhu tanpa menggulung lengan baju. Iklan lainnya yang tak kalah aneh ialah sebuah unggahan video yang menayangkan iklan seorang petinggi negara yang melakukan tayamum dalam kereta dengan mengusap kedua lutut hingga ke bawah kakinya.
Dalam praktik ritual keagamaan, ajaran pokok menjadi hal yang sudah pakem. Tak perlu ditambah maupun dikurangi. Alih-alih menaikkan rating ketokohan para calon pemimpin saat menampilkan simbol agama secara serampangan, justru semakin memperjelas kebodohan mereka di mata publik.
Setelah berhasil naik ke tampuk kekuasaan, gaya pemimpin yang suka mempermainkan masyarakat dengan simbol keagamaan biasanya sikap semau gue. Setelah mempengaruhi pandangan publik dengan iklan kesalihan semu, pikirannya hanya dipenuhi siasat bagaimana mewujudkan ambisi pribadi dan golongannya untuk menikmati kekuasaan.
Pemimpin-pemimpin yang lahir dari dunia peiklanan umumnya tidak lagi memiliki kesungguhan untuk menepati janji-janjinya kepada para pendukungnya. Amukan massa yang mengakibatkan kerusuhan sosial dipandang sebelah mata.
Sementara reputasi kepemimpinannya terus melambung ke puncak sebab “kesalahan ketik” sejarah, bukan berdasar wawasan dan bakat ketokohannya. Pemimpin semacam ini boleh dikata sebagai pemimpin sialan. Kepemimpinannya bahkan acap mengintervensi kepentingan publik dengan urusan pribadi hingga menggiring harapan masyarakat ke jurang malapetaka.
Kelak, jika pemimpin model iklan hilang jabatannya, maka lenyap pula sosok kepemimpinannya. Bersiap-siaplah pemimpin semacam ini untuk segera dilupakan sejarah. Bahkan rakyat akan mencapnya sebagai penghianat bangsa yang pandai beriklan di hadapan media, sedang kebijakan dan kelakuannya melaknati kepentingan bersama.
Presiden di Amerika, misalnya. Di antara pemimpin negara adidaya itu, hanya segelintir saja yang betul-betul dikenang rakyatnya seperti George Washington, Abraham Lincoln, Thomas Jefferson, Woodrow Wilson dan Franklin D. Roosevelt. Di Indonesia ada presiden kharismatik Soekarno.
Sejak awal Bung Karno, demikian akrab dipanggil, sudah memikirkan permasalahan bangsa bukan ketika menjadi presiden. Belasan tahun sebelumnya Bung Karno telah berpidato di mana-mana, menulis banyak hal tentang kebangsaan serta membincang nasib rakyat dan kepentingan umum.
Dalam konteks pemikiran, banyak pula pemimpin yang menjadi panutan masyarakatnya. Ambil contoh, Jose Rizal yang dianggap sebagai tokoh sentral di Filipina. Dia dihormati bukan karena kekayaannya, bukan semata kekuasaannya dalam pemerintahan, bukan deretan gelar yang disandangnya, melainkan lantaran keikhlasan, keahlian, dan keseriusannya dalam memperjuangkan cita-cita rakyat Filipina. Inilah sifat pemimpin dengan jiwa ketokohan yang sejati. Demikian pula Mahatma Gandhi dari India, Mohamad Ali Jinnah dari Pakistan dan pemimpin-pemimpin lain di Asia, sifat ketokohan mereka telah menjadi sandaran masyarakatnya masing-masing demi mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang luhur.
Sebaliknya, pemimpin-pemimpin yang dikarbit oleh iklan akan dianggap pemimpin sementara waktu saja. Sifat-sifat ketokohannya berbias subjektif karena cuma mengandalkan iklan media. Walaupun akhirnya menjadi presiden, anggota dewan, bupati, camat atau lurah, namun ia tanpa memiliki sifat ketokohan yang murni. Saat lepas dari jabatannya, saat itu pula lepas dari ingatan. Media massa tak mau lagi membicarakan, masyarakat pun segera menghapusnya dari memori kehidupan.
Andai seorang pemimpin model iklan itu dilantik untuk memangku sebuah jabatan, media massa pun sibuk meliput kebijaksanaan semunya. Padahal keberhasilannya dalam mengemban amanat sama sekali belum teruji. Ilusi kepemimpinannya terbangun sebatas citra periklanan. Misi-misi terselubungnya sengaja tidak ditonjolkan. Tak pelak, kendati beberapa tahun menikmati kekuasaannya, tidak secuil pun gagasan yang dapat dimanfaatkan apalagi untuk dikenang.
Di Amerika saja sudah banyak pemimpin-pemimpin model iklan yang memuncaki tangga ke kekuasaan, lantas ia mengorbitkan pemimpin-pemimpin “catutan” di sekelilingnya. Jika di kemudian hari dia tidak terpilih kembali atau lengser, niscaya pengaruhnya dan pemimpin-pemimpin di bawahnya akan ikut tergusur.
Persoalannya, apakah jelang Pemilu 2024 mendatang, masyarakat Indonesia memungkinkan untuk mengurangi kuantitas pemimpin-pemimpin model iklan di negeri ini? Tampaknya, tenggelam timbulnya tipe seorang pemimpin ditentukan oleh tipe suatu masyarakat dalam memilih pimpinannya.
Sejarah kepemimpinan, di manapun, senyatanya dapat dilihat sebagai suatu pertarungan antara pemimpin bergaya iklan dan pemimpin bermodal keahlian. Bila pemimpin-pemimpin model iklan menguasai suatu negara, itu karena masyarakatnya sendiri kurang berupaya untuk mewaspadai kemunculan pemimpin-pemimpin dadakan atau tidak betul-betul sadar tentang jenis pemimpin model apa yang senyatanya dibutuhkan bangsa ini.