Kamis, April 25, 2024

Pemilu 2019, Tidak Adil?

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.

Belakangan, publik digegerkan dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 21-22 Mei 2019 lalu. Namun, penulis tidak bermaksud untuk menjelaskan kronologis “kehebohan” sebagai dampak dari Pilpres itu, mencari kambing hitam atas kerusuhan, ataupun larut dalam kegaduhan yang melibatkan dua kubu yang saling bertarung.

Penulis hanya ingin memberikan sebuah pemahaman bahwa pemilihan umum, pada titik dasarnya, pasti akan menimbulkan kegaduhan dan perasaan ketidakadilan. Hal ini karena penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun di negeri ini, merupakan bentuk dari demokrasi agregatif yang sifatnya utilitarian. Dengan berpijak pada cara pandang ini, maka pemilihan umum akan selalu menyingkirkan suara-suara minoritas, yaitu pihak yang kalah.

Pemilu adalah bentuk utilitarianisme

Untuk memulai bagian ini, penulis akan menjelaskan secara singkat prinsip dasar dari utilitarianisme. Bagi mazhab utilitarianisme, tindakan-tindakan adalah benar jika sebanding dengan kecenderungan mereka untuk mencapai kebahagiaan (happiness), dan tindakan-tindakan lain disebut salah jika memiliki kecenderungan untuk menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan.

Pada dasarnya, kebahagiaan itu haruslah dirasakan oleh setiap individu, tetapi jika tidak mungkin dicapai, maka perlu diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest number of people). Maka dari itu, dalam pandangan seorang utilitarian, sesuatu itu bisa dianggap adil dan benar, jika memiliki kemanfaatan yang besar dan dapat dirasakan oleh sebanyak-banyaknya individu.

Beralih pada soal demokrasi. Sebenarnya, demokrasi bukanlah satu kata yang dapat didefinisikan dan dimaknai secara simpel dan parsial, seperti yang kebanyakan orang pahami. Demokrasi sangatlah rumit, dan para ahli telah berdebat panjang untuk menjelaskan apa itu demokrasi, dan bagaimana mempraktikkan demokrasi yang sesungguhnya.

Pada mulanya, persoalan yang muncul dalam masyarakat liberal tradisional adalah bagaimana membangun kebersamaan (coexistence) secara damai di antara orang-orang dengan konsep tentang kebaikan yang berbeda-beda.

Maka dari sini, muncul satu pandangan, bahwa perlu adanya agregasi atas kepentingan-kepentingan tersebut dalam satu wadah yang disepakati bersama. Wadah inilah yang pada akhirnya kita kenal dengan pemilihan umum.

Beberapa ahli menamakan bentuk demokrasi yang didasarkan atas opini publik yang diperoleh melalui pemungutan suara, survei, referendum, jajak pendapat, atau bentuk-bentuk lain yang serupa dengannya, dengan sebutan demokrasi agregatif. Penentuan keputusan melalui demokrasi agregatif dengan mengandalkan suara terbanyak adalah turunan dari filsafat utilitarianisme.

Berkaca dari pemaparan sebelumnya, pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan pada April lalu, penulis anggap sebagai bentuk dari utilitarianisme dan demokrasi agregatif.

Setiap capres/cawapres, baik pasangan Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi menawarkan kepada publik mengenai konsepsi kebahagiaan yang akan mereka dapatkan jika memilih salah satu di antara dua pasangan tersebut.

Jokowi-Ma’ruf hadir dengan menawarkan visi Indonesia Maju dengan program-program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Kartu Sembako Murah, dan Kartu Pra-kerja.

Ditambah, pasangan ini juga memberikan jaminan atas program pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang merata dari Sabang sampai Merauke. Sementara itu, pasangan Prabowo-Sandi menawarkan visi Indonesia Menang dengan menawarkan Rumah Siap Kerja bagi rakyat usia produktif, program bantuan sosial yang terintegrasi langsung dengan satu kartu, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), sekaligus kedaulatan negara di sektor pangan, energi, dan pertahanan.

Pasangan ini pun memberi jaminan bahwa uang negara tidak akan “bocor” lagi ke luar negeri. Inilah contoh-contoh perwujudan kebahagiaan yang pasangan calon sodorkan kepada rakyat, dan rakyatlah yang akan menentukan.

Seiring waktu berjalan, KPU mengumumkan hasil pemungutan suara yang menyatakan keunggulan Jokowi-Ma’ruf atas Prabowo-Sandi dengan persentase 55,50% berbanding 44,50%.

Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan, menurut utilitarianisme, mayoritas rakyat Indonesia lebih bahagia dan cenderung dapat mencapai kebahagiaan, jika Jokowi-Ma’ruf yang menjadi pemimpin bangsa.

Hal ini benar adanya, karena dalam pemilu, setiap orang/individu mendapatkan kebebasan untuk memilih yang paling menguntungkan baginya. Dan setiap individu pasti ingin mendapat kebahagiaan dan menghindari kesusahan.

Upaya itu ditunjukkan dengan memilih pasangan calon yang ia anggap paling memiliki kecenderungan dalam memenuhi unsur kebahagiaan tersebut. Faktanya, sekali lagi, mayoritas rakyat memilih Jokowi-Ma’ruf. Sementara, suara-suara yang memilih Prabowo-Sandi dihilangkan dan dianggap tidak ada, karena mereka bukan bagian dari mayoritas dan konsepsi kebahagiaan Prabowo-Sandi tidak didukung oleh mayoritas rakyat.

Dalam konteks pemilihan umum, suara yang terbilang besar, namun bukan merupakan suara terbanyak, tidak bisa diakomodasi sedikitpun. Kalah tetaplah kalah, bahkan jika selisihnya hanya 0,1%.

Dari sinilah, muncul perasaan ketidakadilan. Mengingat pada dasarnya, kritik atas utilitarianisme juga berangkat dari ketidakmampuannya untuk mengakomodasi suara minoritas.

Jika kebaikan dan kebenaran diukur dari manfaat paling besar untuk jumlah individu paling banyak, maka hak dan kebebasan individu yang berjumlah kecil terancam. Atas nama kepentingan yang lebih besar dan untuk kemanfaatan individu yang lebih banyak, suara dari kelompok masyarakat minoritas dihilangkan dan dianggap tidak bernilai sama sekali.

Sekarang kita buktikan melalui sebuah pertanyaan, “apa fungsi dari kertas suara yang tercoblos di gambar pasangan 02?” Tentu jawabannya, tidak ada. Inilah kelemahan dari demokrasi agregatif dan paham utilitarianisme dalam mengelola pluralitas yang ada di masyarakat yang tercermin pada pelaksanaan pemilihan umum.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, penulis menilai, pemilihan umum bukanlah akhir dari upaya akomodasi kepentingan maupun akhir dari jalan menuju kebahagiaan, karena dalam tataran yang filosofispun, masih ada ketidakadilan di dalamnya.

Ketidakadilan ini bukan soal mobilisasi aparat, penggelembungan suara, atau manipulasi hasil rekapitulasi. Melainkan, adanya suara rakyat yang hilang dengan diputuskannya hasil pemilu, yakni suara-suara dari mereka yang kalah dan bukan mayoritas.

Maka dari itu, perlu langkah lebih lanjut setelah pemilihan umum dari seluruh pihak untuk dapat mengelola pluralitas nilai, keberagaman pemikiran, dan antagonisme yang dimiliki oleh setiap individu, agar dapat disalurkan secara baik dan mampu menciptakan kondisi ideal.

Para ahli telah menawarkan konsep-konsep mereka, mulai dari demokrasi deliberatif, demokrasi partisipatoris, demokrasi radikal, dan sebagainya, untuk dapat menampung kepentingan dari setiap individu. Namun, bukan saatnya bagi penulis untuk menjelaskan hal itu pula. Lagi-lagi, penulis hanya ingin menekankan, bahwa pemilihan umum pada dasarnya memang tidak akan bisa sepenuhnya adil, sehingga perlu opsi lain untuk mewujudkannya.

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.