Berbicara mengenai tokoh pemikiran politik Islam di Indonesia, maka Muhammad Natsir adalah tokoh yang tidak bisa dikesampingkan. Pemikiran sekaligus perannya bagi republik sedemikian besar dan berpengaruh. Ia adalah seorang ulama, sekaligus politisi ulung yang senantiasa memperjuangkan dakwah Islam dalam segala sektor yang digelutinya, baik secara struktural maupun kultural.
Natsir memiliki pandangan bahwa Islam bukan hanya mengatur hal-hal yang bersifat ritual peribadatan, melainkan lebih luas dari pada itu, yaitu menyangkut kaidah-kaidah kehidupan, batasan-batasan sosial, mengatur ranah muamalah, sekaligus tata kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, untuk menjalankan dan memastikan bahwa semua kaidah, batasan, dan norma-norma Islam yang komprehensif tersebut dapat terwujud dalam kehidupan, maka dibutuhkan peran negara sebagai pengatur di dalamnya. Sebagaimana telah disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada kaum muslimin, “Sesungguhnya Allah memegang dengan kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh Al-Qur’an itu”.
Dalam pandangan Natsir, keberadaan pemimpin yang mampu memimpin, mengayomi, dan melindungi rakyat sekaligus menjaga keberlangsungan agama adalah hal mutlak. Pelaksanaan dan penerapan ajaran agama tidak mungkin terwujud, kecuali adanya kepemimpinan yang didukung dengan aturan-aturan negara yang terwarnai oleh falsafah dasar agama. Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara.
Tidak berbeda jauh dengan para pemikir klasik Islam, Natsir menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan secara integral. Agama dan negara saling berkaitan dan berhubungan, bahkan saling membutuhkan. Agama, dalam hal ini Islam, dapat hidup, berkembang, dan terinternalisasi dalam kehidupan sosial dan kenegaraan apabila dilindungi oleh negara.
Begitu pula negara membutuhkan agama dalam perkara membangun landasan norma, moral dan etika pada setiap aturan, lembaga, sekaligus rakyatnya. Corak pemikiran Islam jelas berpengaruh dalam setiap perkataan dan pergerakan Moh. Natsir. Baginya, tujuan akhir dari perjuangan dakwah adalah penerapan ajaran Islam oleh setiap individu dan masyarakat sehingga membentuk tatanan madani yang diridhoi oleh Allah SWT, sementara peran negara adalah sebagai alat untuk memastikan terwujudnya keadaan masyarakat madani tersebut.
Berbicara tentang demokrasi, Moh. Natsir mengakui hal itu adalah suatu yang baik, tetapi menurutnya, sistem kenegaraan yang dibangun atas dasar Islam tidak menyerahkan semua urusan yang bersifat publik dan menyangkut hajat hidp orang banyak pada putusan-putusan musyawarah dewan perwakilan (parlemen).
Menurut Natsir, setiap aturan yang telah disebutkan, diterangkan, dan dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Quran tidak perlu lagi dimusyawarahkan, baik itu keterangan yang berupa perintah ataupun larangan. Hal yang perlu dimusyawarahkan adalah bentuk pelaksanaan dan tata cara untuk menjalankan prinsip, kaidah dan asas-asas yang telah ditentukan tersebut.
Sementara dalam pandangannya yang lain, Moh. Natsir menyatakan bahwa Islam tidak mengenal sistem teokrasi. Sistem ini beranggapan bahwa terdapat satu bentuk kepemimpinan hierarkis sebagai wakil tuhan di dunia.
Pandangan Moh. Natsir tentang demokrasi dan teokrasi sangat mirip dengan tokoh-tokoh pembaharu dan revivalis yang ada di Timur Tengah masa itu. Hal ini terjadi karena mungkin Natsir terpengaruh dan terinspirasi oleh ide pembaruan dari pemikiran-pemikiran mereka.
Bahasan yang cukup menarik dari pemikiran Islam Moh. Natsir adalah ketika menelaah pendapatnya mengenai Pancasila. Pada prinsipnya, ketika berada di masa sebelum kemerdekaan, Moh. Natsir sangat menggebu-gebu dalam menggulirkan wacana Islam sebagai dasar dari negara merdeka kelak.
Hal ini dapat dilihat dari beragam artikel yang sering ditulisnya, dan dicetak oleh media semasa 1930-1940-an. Setelah kemerdekaan dan akhirnya muncul Pancasila, Moh. Natsir tidak memberikan pandangan yang negatif terhadapnya.
Pancasila tetap dapat diterima selama ditafsirkan sesuai ajaran Islam dan tidak bertentangan darinya. Selain itu, Pancasila memiliki nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan persaudaraan, prinsip musyawarah, dan keadilan sosial yang semuanya telah termuat pula dalam ajaran Islam.
Meski begitu, Natsir tetap menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara lebih dominan sekuler karena tidak mengakui wahyu agama sebagai sumbernya. Termasuk pula, ia mengkritisi pandangan dan penafsiran Ir. Soekarno tentang hubungan Islam dan negara, sekaligus Pancasila yang mengarah pada pemikiran sekuler.
Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan Moh. Natsir yang mencoba menafsirkan Pancasila dengan ajaran Islam sebagai landasan berpikirnya. Perjuangan Moh. Natsir melawan kalangan nasionalis-sekuler yang cukup bersejarah terjadi pada masa Konstituante, yaitu saat kalangan ulama dan politisi yang tergabung dalam partai-partai Islam berusaha memperjuangkan dasar negara Islam melalui sidang yang berjalan alot dan tidak berkesudahan, hingga akhirnya diputus dengan ditetapkannya Dekrit Presiden 1959 oleh Ir. Soekarno.
Selepas Orde Lama, pemikiran Natsir yang berpihak pada Islam tidak berubah. Namun perjuangannya tidak lagi melalui jalur politik praktis maupun Parlemen seperti masa sebelumnya, melainkan melalui cara-cara dakwah kultural. Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan dakwah Islam dan mempertahankan aqidah Islam masyarakat melalui berbagai bentuk pelatihan, pembinaan, dan penerbitan buku-buku Islam.