Wacana tentang pemikiran politik dalam Islam yang berkaitan dengan sistem khilafah dapat ditelesuri semenjang Nabi Muhammad wafat, dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa wacana politik dalam Islam merupakan fenomena paling awal dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum.
Hal ini dapat dipahami bahwa seorang pemimpin sebagai pengganti Nabi merupakan sesuatu yang terlebih dahulu dibutuhkan untuk meneruskan misi yang sebelumnya telah dibangun oleh Nabi. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Madinah pada saat itu lebih disibukkan dengan masalah kepemimpinan sebagai pengganti Nabi.
Hubungan politik dan agama dalam Islam sangat bersifat integral, hal ini berkaitan dengan penegasan atas himbauan umat Islam untuk merealisir ketetapan Allah yang terkandung dalam kitab suci. Al-Qur’an sebagai kitab suci mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial manusia, di dalamnya terkandung prinsip-psinsip ajaran yang berkaitan dengan keadilan, persaudaraan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain.
Dengan itu maka secara garis besar Al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu yang absah dalam menentukan nilai ideal dan menentukan sebuah tujuan bernegara, betapapun tidak ada sebuah ketetapan yang pasti tentang pembentukan suatu negara Islam dalam Al-Qur’an.
Di era modern, perjuangan melawan dominasi kolonial, dan konflik antara beberapa elite muslim, masing-masing membawa dirinya sebagai sebuah varian padangan kesejarahan kultur politik muslim, yang telah menyokong pembentukan masyarakat muslim modern.
Pada sebagian terbesar negara muslim, hasil dari perjuangan tersebut adalah struktur masyarakat bersendi tiga. Ketiga sendi tersebut meliputi rezim negara sekuler, sebuah badan yang secara bersamaan dapat dibedakan dari asosiasi keagamaan non-politik muslim, dan gerakan perlawanan yang menghendaki rekonstruksi sebuah negara muslim dan masyarakat muslim yang integrated (terpadu).
Tetapi kemudian, trend yang paling terlihat dari sebagian besar daerah muslim adalah konsolidasi negara nasional yang memusat di bawah arahan kalangan intelegensia politik dan sebuah pelegitimasian yang sesuai dengan term-term sekuler.
Sementara itu, sejumlah aspirasi gerakan-gerakan muslim membangkitkan cita-ideal Islam terhadap sistem kekhalifahan, tetapi dalam banyak hal gerakan ini merupakan sebuah adaptasi baru konsep-konsep Islam terhadap kondisi modern. Sebenarnya, gerakan-gerakan Islam baru tersebut membawa sedikit kandungan teks suci, hukum, teologi, atau mistisisme tradisional.
Meskipun gerakan-gerakan tersebut berasal dari kecenderungan-kecenderungan reformasi terdahulu, namun gerakan tersebut dipimpin oleh pada da’i seperti Hasan al-Banna yang pemimpin Ikhwan al-Muslimin, al-Maududi, atau Jama’at-islami, yang mana mereka sendiri bukan ulama atau sufi.
Gerakan kebangkitan ini mencoba menyalurkan keyakinan dan solidaritas agama ke dalam wilayah politik, Islam dianggap sebagai basis keagamaan yang universal dan menyeluruh dalam menyikasi segala realitas sosial, khususnya yang berkaitan dengan pemerintahan dan politik.
Bisa jadi penggabungan antara agama dan negara merupakan cita-cita ideal Islam klasik, tetapi baru ada era modern inilah keduanya menjadi tampak jelas secara aktual terpadukan. Dengan demikian, pada tahapan ini, umat Islam ingin membangkitkan kembali tradisi yang menyatukan agama dan politik, yang kemudian terejawantahkan dalam komitmen politik keagamaan.
Umat Islam pada umumnya mengembangkan suatu jenis religiusitas secara langsung dalam menghadapi kondisi politik dan realitas sosial terkini yang tak jarang begitu menggusarkan. Jika institusi negara misalnya tidak sejalan dengan nilai-nilai ideal Al-Qur’an, jika pemimpin politik kejam dan eksploitatif, atau jika komunitas muslim dihinakan oleh musuh-musuh yang jelas tidak religius, orang Islam biasanya dapat merasakan bahwa imam mereka dalam tujuan tertinggi kehidupan sedang terancam.
Dengan demikian, politik adalah arena tempat kaum muslim mengalami Tuhan dan yang memampukan yang Ilahi untuk berfungsi secara efektif di dunia. Oleh karena itu, cobaan dan bencana dalam sejarah umat Islam, pembantaian politik, perang sipil, invasi, serta jatuh-bangunnya dinasti yang berkuasa, tidak pernah terpisah dari pencarian batin agama, tetapi merupakan esensi visi Islam.
Hal ini menjadi wajar jika kemudian watak dari masyarakat Islam ingin membangun sebuah tatanan kenegaraan yang berbasis kepada Islam, betapapun hal ini menemukan kesulitan-kesulitannya di era modern sekarang.
Sebenarnya, konsep negara dalam Islam merupakan sesuatu yang berada dalam wilayah ijtihadiyyah, dan ini sangat bersifat umum, karena Al-Qur’an sendiri mengandung nilai-nilai umum tetapi sangat kongkrit dalam memahami realitas sepanjang zaman.
Sehingga suatu bentuk teoritisasi politik untuk membentuk negara Islam bukan dirumuskan dalam kategorisasi struktur sistem negara Islam, tetapi terletak pada sub-struktur dan tujuan-tujuannya. Karena memang struktur negara merupakan wilayah ijtihad yang bisa berubah-ubah, sedangkan sub-struktur dan tujuan-tujuannya menyangkut prinsip-psinsip yang bersifat Islami.
Al-Qur’an sendiri hanya mengandung nilai-nilai universal menganai aktifitas sosial dan politik umat manusia. Misalnya, Al-Qur’an mengandung ajaran tentang keadilan, persaudaraan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain. Dengan demikian, selama negara berpegang pada prinsip ajaran tersebut, maka pembentukan negara Islam dalam arti yang formal dan ideologis menjadi tidak perlu atau tidak dibutuhkan.
Menurut Ali Abd ar-Raziq, sebagaimana dikutip oleh An-Naim, Raziq menyatakan bahwa tidak ada otoritas Islam untuk konsep khilafah dalam pengertian historis, Islam sebenarnya tidak memiliki komponen sistem politik yang sistematis, nabi misalnya adalah seorang pemimpin agama dan spiritual, bukan pemimpin politik.
Meski kenyataannya pada saat itu Muhammad bertindak sebagai pemangku otoritas hukum sekaligus pemimpin politik, tetapi hal ini terjadi atas keterdesakan-keterdesakan nabi dalam merumuskan kebijakan yang luas bagi keberlangsungan hidup umat Islam secara keseluruhan. Sehingga, jika dilihat dari tolak ukur modern, banyak rumusan-rumusan syariah yang tidak memadai dan mengandung kelemahan yang serius dalam arti pembentukan sebuah sistem negara Islam.
Terlepas dari institusi-institusi sosial, Islam tetap bertahan di dalam jantung dan pikiran setiap individu muslim sebagai komponen utama bagi identitas personal dan politik. Menjadi seorang muslim bukan sekedar menjadikan Islam terlibat dalam urusan kenegaraan, bukan sekedar menjadi anggota perguruan ulama, dan bukan pula sekedar menjadi anggota thariqat sufi, melainkan yang lebih penting adalah menjadikan Islam sebagai moralitas individu, keyakinan, dan menjadikan Islam sebagai identitas sosial dan personal.
Bibliografi
Abdullah Ahmed An-Naim. Dekonstruksi Syariah. Terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany. Yogyakarta: LKiS, 2011.
Ira. M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Karen Armstrong. Islam; Short History. London: Phoenix Press, 2001.