Sabtu, April 20, 2024

Pemerkosaan dalam Perkawinan (Marital Rape)

Rama Yulianto
Rama Yulianto
Menghidupkan kalimat adalah hobi saya

Pelecehan dan Kekerasan seksual merupakan pelampiasan nafsu birahi oleh seorang pria terhadap sang korban yang biasanya perempuan, kekerasan seksual yang selanjutnya disebut pemerkosaan merupakan pemaksaan terjadinya hubungan seksual terhadap perempuan tanpa adanya persetujuan atau tanpa disadari sang korban tadi. Memang hal yang sangat tabu untuk dibahas, terlebih jika membahasnya di sidang pengadilan, yang mengharuskan sang korban menjelaskan sedetail mungkin atas kejadian yang menimpa dirinya. Penderitaan korban tidak selesai sesaat setelah kejadian seks yang mengharuskan dirinya melayani predator tersebut, tetapi derita psikologis traumatik akan terus menghantui sepanjang hidupnya. Sering kali perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual ini, akan lebih tertutup kepada laki-laki yang akan menjadi pasangan hidupnya kelak, akibat ‘pernah’ merasakan kejamnya laki-laki yang berani melampiaskan hawa nafsu kepadanya, terlebih lagi masyarakat Indonesia yang tetap memberlakukan stigmatisasi dalam melihat seseorang. Hal inilah derita yang tidak diterima oleh sang predator seks.

Korban pemerkosaan pun tidak hanya wanita dewasa, mulai usia belia hingga lansia tercatat pernah pasrah dan larut untuk ‘menyumbangkan’ tubuhnya kepada predator seks, selain kekerasan seksual yang cenderung mengharuskan sang korban menyerahkan ‘tubuhnya’ kepada pelaku, acap kali terjadi pelecehan seksual kepada perempuan, sebagai contoh catcalling, digoda dengan kata-kata tak senonoh, dicolek, dan dipandang seolah-olah menelanjangi, memang tindakan tersebut termasuk ke tindakan pelecehan, akan tetapi masih sering dilakukan oleh pria-pria berhidung belang, dan hal yang dapat dilakukan seorang korban, dalam konteks ini wanita adalah sebatas dongkol, marah, dan terhina, wanita cenderung lebih memiliih untuk tidak menghiraukannya daripada harus menerima hal yang ‘lebih’ daripada itu, contohnya perilaku pemerkosaan. Pemerkosaan pun ada banyak jenisnya, diantaranya

  • Sadictic Rape (Pemerkosaan Sadis)
  • Anger Rape (Pemerkosaan sebagai pelampiasan emosi)
  • Domination Rape (Pemerkosaan sebagai ajak menunjukkan kekuasaan)
  • Seductive Rape (Pemerkosaan karena adanya dorongan situasi merangsang dari kedua belah pihak)
  • Exploitation Rape (Pemerkosaan karena diperoleh keuntungan)
  • Marital Rape (Pemerkosaan dalam perkawinan yang sah)

Ada beberapa jenis pemerkosaan, dimana yang melatarbelakangi pelaku untuk melakukan hal keji itu berbeda-beda motifnya. Hal yang menuai pro – kontra adalah di nomor 6 yaitu Marital Rape. Pertanyaannya, mengapa sudah melangsungkan perkawinan yang sah tetapi masih disalahkan untuk melakukan persetubuhan? Pasangan (Istri) juga tidak akan menununtut suami karena kewajiban istri adalah melayani suami. Itulah beberapa perspektif sejumlah masyarakat atas adanya pernyataan ‘Marital Rape’. Untuk melindungi wanita, di RKUHP sudah tertera tepatnya pada Pasal 479 ayat 1 dan 2 akan diancam pidana selama 12 tahun kepada tiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang tanpa persetujuannya, meskipun dalam konteks perkawinan yang sah. Kembali lagi, sejatinya pemerkosaan adalah perilaku pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan tanpa adanya persetujuan atau tanpa disadari sang korban, meskipun seorang istri. Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RKUHP) tepatnya pada Pasal 479 ini sejatinya menyempurnakan Pasal 285 KUHP, karena di aturan yang terdahulu mengklasifikasikan seseorang dikatakan melakukan tindak pidana apabila melakukan hubungan seksual secara paksa di luar perkawinan, dan zaman yang sudah berkembang ini perlu adanya pembaharuan sistem aturan yang berlaku di Indonesia, salah satunya peraturan tentang perlindungan Hak Asasi Manusia. Sejatinya, aturan soal sanksi pelaku perkosaan dalam rumah tangga sudah termaktub dalam Pasal 8 huruf (a). UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan adanya RKUHP menyempurnakan aturan ini.

Adanya penjelasan di atas tadi, maka dinilai masih perlu penambahan literasi dan sosialisasi kepada khalayak masyarakat, bahwa RKUHP khususnya Pasal 479 ini adalah penyempurnaan, ibarat menutup celah yang ada di sistem aturan pendahulunya yaitu KUHP, yang terpenting adalah bahwa tidak semua pemaksaan dianggap kekerasan. Ketika ada ketimpangan relasi, menimbulkan kesakitan, dan tidak manusiawi, barulah aturan ini berlaku. Hal ini juga bukan persoalan tentang pasal pemerkosaan istri saja, tetapi mengatur soal ‘statutory rape‘ yang juga mencakup penipuan terhadap status perkawinan (involuntarily), sekaligus melindungi wanita di Indonesia terhadap kekerasan yang seringkali terjadi di dalam Rumah Tangga.

Rama Yulianto
Rama Yulianto
Menghidupkan kalimat adalah hobi saya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.