Pasca pecahnya era orde baru 1998 tentu terjadi berbagai perubahan terutama demokratisasi di ranah ekonomi dan politik sehingga menciptakan kemajuan yang dapat dikritisi bersama.
Namun ada yang masih sama, atau setidaknya berubah tapi tidak signifikan yaitu kondisi pelayanan publik kita yang masih tertinggal daripada negara lain. Rilis hasil riset Ombudsman akhir tahun 2017 menunjukkan fakta bahwa sebagian besar instansi pelayanan publik di Indonesia memiliki rapor merah, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Selain itu KLB yang menimpa saudara kita di Papua juga menunjukkan masih buruknya pelayanan publik. Kita harus sepakat bahwa negara tidak boleh lagi alpa dengan baru hadir ketika terjadi permasalahan (Stiglitz, 2015). Ketika pelayanan publik masih buruk maka jelas menunjukkan negara gagal untuk hadir bagi rakyatnya.
Sementara itu negara lain sudah mampu meratakan pelayanan pendidikan sehingga tidak ada ketimpangan antar sekolah seperti di Finlandia, pelayanan pendidikan tinggi bebas biaya seperti di Slovakia, atau pun pelayanan publik berbasis teknologi informasi seperti di Estonia.
Negara maju seperti Inggris bahkan sudah berpikir ke depan untuk benar-benar mengurus well-being manusia yang terkikis karena gaya hidup manusia modern dengan membentuk Kementerian yang mengurusi manusia kesepian (Ministry of Loneliness). Lalu posisi kita di mana? Kalau tak tertinggal apalagi! Sebal memang, padahal kita juga memiliki anggaran pendidikan 20% dari APBN sayangnya sebagian besar habis untuk gaji pegawai.
Dunia sudah sangat cepat berubah, layanan publik dari negara tak mampu bersaing dengan sektor bisnis. Bahkan meregulasinya pun susah payah seperti kasus transportasi online yang belum selesai dengan maraknya demo, bahkan silih berganti kota di Indonesia terjadi penolakan oleh golongan masyarakat tertentu.
Padahal, pelayanan publik zaman now alias masa kini tentu harus mengikuti perubahan, sayangnya lebih sering pelayanan publik kita yang dilindas oleh perubahan akibatnya masyarakat semakin merugi. Perizinan bisnis saja masih lama, bahkan di sisi lain terjadi pengekangan kebebasan akademis dengan perizinan yang otoriter, untung masih ditunda dengan berbagai kecaman pakar zaman now tentunya.
Ide Besar Politik
Ide-ide menyegarkan dari parlemen untuk pelayanan publik yang visioner masih sangat minimalis, tentu bersama dengan eksekutif dan tekanan stakholder seharusnya ide besar dapat terjadi. Kita pernah ingat perjuangan bagaimana seluruh elemen membuka keran dana desa melalui UU desa dan jaminan kesehatan universal melalui UU JKN.
Meskipun kini masih banyak terdapat lubang implementasi akan tetapi momen tersebut masih berkesan untuk diperbincangkan bagaimana menginisiasi hal-hal baru di tengah politik kita yang masih karut marut.
Visi tersebut juga dapat menjadi spirit untuk melakukan hal yang sama pada pondasi pelayanan publik kita agar menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, ingat kita memiliki UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang sudah seharusnya diperbarui.
Ingat pada masa awal kebangkitan negara-negara Nordik, eks perdana manteri Swedia (1946-1969), Tage Erlander, mengungkapkan bahwa “tugas politisi adalah membangun lantai dansa, di mana orang-orang dapat menggerakan kehidupan mereka”. Kita semua masih butuh politik meskipun hari-hari ini seringkali mereka menyebalkan misalnya usul pidana bagi pengkritik anggota DPR.
Tak Hanya Dunia Digital
Bermacam-macam tools baru selalu hadir di era yang berbeda, dan selalu menimbulkan dua sisi dampak yang berbeda. Dalam era disrupsi saat ini teknologi informasi menjadi idola dengan kemampuan luar biasa di luar kemampuan manusia modern saat ini. Triliunan dana di sektor bisnis digunakan untuk pengembangan teknologi seperti yang dilakukan google ketika melakukan investasi kepada go-jek baru-baru ini.
Sejatinya hal tersebut juga terjadi di sektor publik kita, ya memang pemerintahan kita pernah menginisasi hal baru dalam program bertajuk e-ktp dengan dana triliunan pula, sayangnya korupsi yang membuat e-ktp kita hanya sebuah plastik tanpa chip seperti yang dijanjikan sebelumnya. Integrasi data kependudukan masih jauh panggang dari api karena korupsi, justru semakin mempersulit pelayanan publik ratusan juta penduduk Indonesia.
Perbandingan tersebut membuktikan bahwa mantra disrupsi teknologi bukanlah resep tunggal. Selalu tetap ada lubang yang justru menyakiti orang banyak, dan bukan lagi berbicara menang kalah tapi keadilan yang diabaikan. Sepakat dengan Moises Naim (2013) menyebutnya Teribble Simplifiers alias penyederhanaan bermasalah karena bukan satu-satunya jalan menuju kesejahteraan.
Selain itu kita pernah memiliki cerita menarik tentang berbagai inovasi lokal tanpa hadirnya teknologi informasi, misalnya di daerah tertinggal dengan angka kematian ibu dan bayi yang tinggi ternyata solusi justru didapat melalui kemitraan bidan dengan dukun bayi, yaitu ketika ada kasus maka dukun bayi yang lebih mengenal masyarakat harus mengantarkan ibu hamil atau yang akan melahirkan kepada bidan.
Dukun bayi tentu mendapatkan kompensasi atas usahanya tersebut sehingga tak mematikan profesinya. Hal tersebut yang tidak terjadi sekarang antar persaingan layanan kepada publik dapat saling membunuh seharusnya dapat dipikirkan solusi bersama yang tidak membuat winners takes all dan zero sum game.
Demokratisasi Pelayanan Publik
Pelayanan publik zaman now harus demokratis setidaknya berusaha memuat aspirasi dengan konsensus bersama, bukan keputusan sepihak dari pemerintah. Sejarah di Indonesia menunjukkan upaya menempatkan warga secara adil di hadapan mesin birokrasi memang pernah terjadi.
Ketika itu dilakukan inisiasi Citizen Charter oleh PSKK UGM di tiga Kota berbeda di Indonesia yaitu Yogyakarta, Semarang dan Blitar. Piagam pelayanan tersebut disusun berdasarkan kesepakatan antara warga dengan birokrasi dalam menentukan standar pelayanan publik seperti syarat, waktu dan biaya. Hasilnya cukup sukses dan menjadi good practices di Indonesia, banyak institusi lain mencoba melakukan replikasi.
Pada akhirnya praktik baik tersebut dicoba diadopsi dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik dengan istilah maklumat pelayanan, sayangnya hal tersebut benar-benar berbeda dengan substansi citizen charter, justru substansi keterlibatan warga pada awal desain pelayanan publik menjadi kabur karena diambil alih secara sepihak oleh pemerintah.
Selain itu adanya standar pelayanan publik (SPP) dan standar pelayanan minimal (SPM) memang membantu pelaksanaan pelayanan publik namun kenyataan kinerja masih jauh karena hanya ada lomba administrasi bukan substansi.
Keduanya memaksakan publik untuk tahu pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah bukan melibatkan publik untuk bersama-sama memperbaiki pelayanan publik. Herbert Simon dalam the Science of Artificial (1996) menunjukkan manusia melakukan hal yang artifak dengan fungsi intelektualnya.
Sehingga seharusnya ada perbaikan terus-menerus dengan berbagai cara, maka pelayanan publik kita harus segera diperbaiki dengan memperbaiki elemen dasarnya seperti regulasi yang seharusnya lebih demokratis. Pelayanan publik zaman now harus dikritik dan dimajukan dalam suasana yang demokratis bukan sebaliknya.