Selasa, Oktober 8, 2024

Pekerja Perempuan, Jerat, dan Harap

Fitri Ika Pradyasti
Fitri Ika Pradyasti
Mahasiswi S1 Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya.

Bagi perempuan, diskriminasi terasa hingga hal yang paling remeh. Penggunaan kata wanita, misalnya, diartikan sebagai manusia yang mengabdi setia pada suami (Jupriono, 1997). Berdasarkan etimologi rakyat Jawa, wanita bahkan dianggap singkatan dari frasa wani ditata, artinya berani atau bersedia diatur. Padahal, ada kata yang bermakna lebih manusiawi: perempuan. Berasal dari kata empu yang berarti tuan.

Sempat ada masa di mana perempuan mustahil mengenyam pendidikan tinggi. Mereka dipingit, dijodohkan, bahkan setelah menikah harus rela untuk dimadu. Atas berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan inilah Raden Ajeng Kartini berjuang. Nama Dewi Sartika pun tidak luput dari catatan. Seperti Kartini, kesenjangan hak dalam menerima pendidikan menggugahnya untuk membangun sekolah khusus perempuan.

Andaikan pergerakan-pergerakan itu tak pernah lahir, belum tentu Megawati Soekarnoputri dapat menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia pada tahun 2001 silam. Tak ada yang menjamin Sri Mulyani diperbolehkan dua kali menjabat sebagai Menteri Keuangan. Lebih ekstrem lagi, bisa jadi perempuan tidak diperbolehkan bekerja sama sekali.

Meskipun demikian, sepak terjang pekerja perempuan di negeri ini tak luput dari luka. Tidak sedikit perempuan yang dipenjara di rumah, tidak diperbolehkan bekerja walau mereka ingin. Alasannya tidak jauh-jauh dari kewajiban ‘dapur, sumur, kasur’ yang harus mereka tunaikan sebagai istri.

Jerat Diskriminasi 

Sayangnya, walaupun hak untuk bekerja berhasil didapat oleh sebagian perempuan, eksistensinya di dunia kerja tak luput dari diskriminasi. Hal yang paling nyata namun seolah tak kasat mata adalah perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, pada Februari 2017, upah pekerja perempuan rata-rata lebih rendah 23% dari laki-laki. Bahkan di sektor pertanian mencapai 41% lebih rendah.

Perempuan juga mengalami marginalisasi dalam penempatan posisi kerja. Pabrik-pabrik di Indonesia mayoritas menempatkan perempuan pada posisi buruh, sedangkan laki-laki dihadiahi posisi mandor. Perusahaan pun cenderung menempatkan pekerja perempuan sebagai tenaga administrasi, jabatan yang notabene tak strategis karena sukar untuk merangkak naik.

Kematian Marsinah akibat memperjuangkan hak pekerja perempuan pada tahun 1993 silam mestinya mampu menjadi pengingat agar diskriminasi tak lagi terjadi. Sayangnya, berbagai macam bentuk perampasan hak perempuan masih mewarnai dunia kerja. Mulai dari pemotongan gaji hingga pemecatan telah dilakukan perusahaan sebagai kompensasi dari cuti hamil dan melahirkan.

Pekerja perempuan bahkan kerap mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Pemerkosaan merebak di sudut-sudut kantor dan pabrik. Ironisnya, tindakan asusila itu tidak jarang dilakukan oleh atasan si korban. Jelas sudah, pekerja perempuan di Indonesia tidak saja dirampas haknya sebagai pekerja, namun dilukai harga dirinya sebagai manusia merdeka.

Tak dapat dipungkiri bahwa budaya patriarki dalam dunia kerja bak racun tanpa penawar. Pemikiran bahwa laki-laki menempati posisi sentral dalam keluarga telah memicu diskriminasi-diskriminasi tak perlu. Bukan pencari nafkah utama keluarga merupakan rasionalisasi perusahaan atas penetapan upah lebih rendah bagi pekerja perempuan. Belum lagi spekulasi bahwa perempuan lebih emosional dan tidak berwibawa benar-benar digunakan sebagai pertimbangan untuk menolaknya menempati posisi lebih tinggi. Pemerkosaan pun bisa dikatakan sebagai buah pemikiran patriarki: bahwa perempuan merupakan makhluk inferior, tidak berharga, dan laki-laki punya kuasa serta kendali terhadapnya.

Meski patriarki mendominasi, pemikiran tersebut bukan satu-satunya alasan dari langgengnya tindakan diskriminasi di dunia kerja kita. Pemikiran perusahaan yang kelewat oportunis agaknya juga menjadi dorongan tersendiri. Mereka mengamini penambahan jam kerja tanpa peningkatan upah. Mereka juga rela-rela saja memecat karyawatinya yang sedang hamil. Segala hal sah atas nama profit dan penekanan ongkos produksi.

Permasalahan ini acap kali luput dari sorotan masyarakat. Disadari, namun tak dianggap berarti. Kehadirannya dimaklumi dan dilanggengkan. Padahal, kesenjangan kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan menjadi bukti yang tak bisa ditampik. Dengan intensitas dan kualitas yang sama, hasil kerja perempuan tidak dihargai setinggi laki-laki.

Diskriminasi juga membatasi ruang gerak perempuan. Mereka terpaksa gigit jari menelan mimpi hanya karena terlahir sebagai perempuan, di saat laki-laki bebas mengaktualisasikan diri dalam berkarir. Belum lagi trauma mendalam bagi korban-korban pelecehan seksual di tempat kerja. Mimpi buruk itu tak mungkin hilang dalam semalam.

Secercah Harap

Agar diskriminasi terhadap perempuan tidak terus tumbuh di dunia kerja, diperlukan upaya dari berbagai pihak untuk mengikisnya. Dimulai dari elemen terdekat dengan pekerja: perusahaan. Mereka seyogyanya tidak mempertimbangkan alasan emosional, sensitif, atau tidak berwibawa ketika menilai pekerja perempuan. Sebab prasangka tersebut dengan mudah dipatahkan dengan berbagai survei yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki kemampuan memimpin lebih unggul, bertindak adil, dan lain-lain.

Pun demikian dengan penetapan upah, sudah seharusnya Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menjadi pedoman, bukan diferensiasi jenis kelamin. Keamanan lingkungan kerja bagi perempuan juga perlu diperhatikan. Antara lain dengan cara menetapkan alur pengaduan pelecehan seksual yang terstruktur untuk memberi perlindungan pada korban.

Terakhir, pemenuhan hak-hak pekerja perempuan merupakan kewajiban perusahaan. Cuti hamil dan melahirkan serta pemberian upah lembur merupakan beberapa hak pekerja yang kerap menjadi polemik. Lagipula tak ada perusahaan yang bangkrut hanya karena memenuhi hak pekerjanya.

Peran serta pemerintah tidak kalah penting. Tanpanya pemberangusan tindakan diskriminatif tidak akan tercapai secara maksimal. Pencegahan dapat dilakukan dengan konisisten terhadap produk hukum yang telah dibuat. Begitu pula ketika diskriminasi kembali menjangkit. Tindakan inkonsititusional wajib diganjar sanksi. Tak ada ampun bagi segala bentuk diskriminasi.

Segala upaya ini tidak akan sempurna tanpa ruh yang membuatnya hidup: keberanian pekerja perempuan. Spiritnya menentang opresi, geliatnya dalam mencari posisi, serta keinginannya yang sederhana untuk diperlakukan selayaknya manusia. Demi melunturkan diskriminasi di dunia kerja Indonesia, semangat mereka untuk berjuang dan melawan teramat dirindu.

Fitri Ika Pradyasti
Fitri Ika Pradyasti
Mahasiswi S1 Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.