Pada september tahun lalu Administrasi Pers dan Publikasi Nasional China (NPPA) menerbitkan aturan untuk melarang anak-anak dibawah 18 tahun untuk bermain game online lebih dari 3 jame per minggu. Aturan ini mengatakan bahwa anak yang berusia di bawah 18 tahun hanya boleh bermain game online selama satu jam sehari antara jam 8 malam dan jam 9 malam pada akhir jum’at, akhir pekan dan hari libur resmi.
Ini artinya pemerintah melarang sepenuhnya anak-anak bermain game online pada hari-hari sekolah. Kesuksesan kebijakan ini terletak pada publisher game online sendiri. Para publisher ini dikenakan aturan untuk membatasi kemampuan anak-anak mengakses game di luar jam yang ditentukan. Selain itu, perusahaan juga wajib mensyaratkan untuk menggunakan nama asli pemain ketika hendak mendaftar. Ini untuk mengatisipasi para pemain memalsukan indentitas mereka untuk menghindari kebijakan ini.
Jenis-jenis kebijakan seperti ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pembatasan anak dibawah umur untuk mengonsumsi alkohol, rokok maupun kondom, merupakan kebijakan yang sudah efektif berlaku di sebagian besar negara. Berbagai kebijakan itu diterapkan untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif yang muncul dari produk tersebut. game online sendiri yang memiliki dampak negatif terutama bagi anak juga juga harus dibatasi. Mengapa demikian? Karena anak-anak belum bisa berfikir secara matang dan masih butuh pendampingan dari orang tua atau wali mereka.
Berkembangnya industri game online yang sangat pesat tak dipungkiri memberikan dampak positif dan negatif. Di satu sisi, terbit sebuah industri baru yang berdampak besar bagi ekonomi, apalagi dengan adanya pandemi, perkembangan industri game online semakin meroket.
Dilansir dari Statista pada tahun 2020, pasar game online global menghasilkan pendapatan sekitar 21,1 miliar dolar AS, yang berarti rekor pertumbuhan 21,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini tak hanya memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi namun juga semakin mendorong inovasi teknologi baru dibidang tersebut.
Namun, industri game yang berkembang pesat itu diiringi pula dengan besarnya pasar game online. Dikutip dari Bisnis.com (14/3/2022), Ricky Setiawan, CEO GGWP.id mengatakan Indonesia memiliki 44,2 juta pemain game e-sport. Jumlah pemain tersebut berada di rentan usia 13–24 tahun dan jumlahnya sangat besar mengingat indonesia merupakan peringkat ke-4 setelah Korea Selatan dengan pemain game online terbanyak di dunia.
Jumlah pemain yang sangat besar tersebut seakan tidak digubris oleh pemerintah Indonesia. Seperti yang telah disebutkan diatas China telah memberlakukan pembatasan kepada pemain game online usia dibawah 16 tahun dan Korea Selatan sendiri telah memberlakukan kebijakan “Cinderella Law” atau kebijakan pembatasan pemain game online yang sejenis itu selama sepuluh tahun. Namun, Sejak artikel ini ditulis Indonesia sama sekali belum memiliki aturan untuk membatasi pemain game online tersebut.
Aturan seperti ini sangat penting mengingat banyak dampak negatif yang ditimbulkan ketika anak berlebihan bermain game online. Dampak buruk seperti berkurangnya aktifitas sosial dan waktu untuk keluarga kerap dialami anak yang kecanduan bermain. Hal ini juga bisa merambah pada bidang pendidikan anak.
Ketika waktu anak belajar digunakan untuk bermain game, ini akan berdampak pada menurunnya nilai akademik , berkurangnya minat membaca, kurang berolahraga hingga berakibat buruk bagi kesehatan fisik anak. Studi lain juga menunjukan bermain game online yang terlalu banyak bisa mendorong perilaku kekerasan, anti sosial dan bermalas-malasan kepada anak.
Belum lagi sistem Microtransaction yang membuat anak untuk menghabiskan banyak uang untuk membeli barang di game online. Microtransaction merupakan fitur yang ada dalam game online untuk mendapatkan kemampuan dan barang lebih sehingga memudahkan mereka dalam bermain. Fitur ini dapat diperoleh pemain dengan cara membeli menggunakan uang di dunia nyata. Fitur seperti ini menjadi permasalahan ketika kita melihat fakta bahwa banyak anak-anak Indonesia yang bermain game online.
Anak-anak yang terlalu banyak bermain game online tidak ragu untuk menghabiskan uang pada game online yang mereka mainkan. Hal ini disebabkan karena perkembangan anak yang belum sempurna. Anak-anak cenderung tidak bisa berpikir rasional sehingga ketika mereka kecanduan game online mereka tidak bisa mengontrol peneluaran mereka dan hal ini diperparah jika uang yang digunakan bukan uang mereka sendiri melainkan uang orang tua mereka. Kasus seperti ini sering terjadi di Indonesia dan akan terjadi lagi jika pemerintah dan masyarakat tidak sadar bahwa permasalahan game online sudah sangat besar dan mengakar.
Sudah tidak bisa disangkal bahwa bermain game secara berlebihan berdampak buruk bagi anak. Namun, sampai sekarang para pembuat kebijakan sama sekali belum mempunyai wacana untuk melakukan sesuatu guna mencegah hal tersebut terjadi. Langkah pertama untuk menyelesaikan masalah adalah mengakui terlebih dahulu masalah tersebut benar-benar ada. Di sini ancaman game online benar-benar sudah ada di depan mata. Tinggal kita sebagai warga mendorong pemerintah untuk segera membuat aturan. Jangan sampai kita hanya bisa melihat para publisher game bersenang ria menyihir anak muda hingga terlena.
Garvin, Jenfier. 2019. “Micro Transaction dalam Online Game : Apakah Memicu Perliku Belanja Online Yang Bermasalah?”Psyche: Jurnal Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung Vol.1 No.2, 44.